Selasa, 30 Juni 2015

Akhir Bermakna Awal, NulisRandom2015 dalam Rasa

Tigapuluh hari sudah dilalui, tak penuh, awal yang terlambat,  berita yang melambat. Kawan menuturkan,  diriku ikut menebarkan, satu demi satu kata berangkai,  kalimat menetapkan,  dan makna diungkapkan.  

Siapakah kan tahu bila kalimat itu bernyawa?
Siapakah kan tahu bila rasa itu menghidupkan makna?
Siapa pulalah yang kan tahu bila jiwa itu menetapkan rasa? 

Tigapuluh malam, jelang pukul duapuluh tiga. 
Kalimat berangkai meluncur bahagia,  rasa ditasbihkan, godapun ditepikan.
Berkaram mata di penghujung malam, kantuk dilemparkan, matapun dinyalakan, instuisi dan rasa kian ditarikan. 

Berkata rasa pada sepuluh jari:
"Tarikan nyanyian indah malam ini".

Berkata pula rasa pada sepasang mata :
"Tundalah sedetik saja dirimu memejam, ketajamanmu kubutuhkan".

Dan berkata pula rasa pada alfa dan tetha :
"Hamburkanlah jejak yang kau simpan sepanjang perjalanan,  aku rindu semua itu".

Akhirnya berkata pula rasa pada karya :
"Malam ini telah kau akhiri banyak kata berjiwa di sepanjang Juni.  Akhir yang berarti awal, keyakinan yang berarti kelanjutan, dan narasi yang berarti memori, ilusi dan imajinasi".

Terima kasih atas persahabatan rasa di sepanjang Juni, bersama #NulisRandom2015
*****

Senin, 29 Juni 2015

Mawar Pengharum Mimpi

"Cheiza.....
Ingatkah kau tentang wanita yang kuceritakan dulu? Oh tentu saja kau tak ingat,  karena tumpukan surat itu masih disini,  tak kukirimkan padamu karena tak tahu dimana alamatmu kini. Sejak dirimu pindah ke Tanjongpandan, lalu kuliah ke Borneo,  tak lagi sedikipun kudengar ceritamu. Ibumu tak pernah sudi menerima kedatanganku, apalagi sekedar memberikan alamatmu padaku.  Semula kupikir ibumu tak menyukaiku, namun setelah kupikir lebih lama, mungkin ibumu tak mau konsentrasi belajarmu teralihkan dengan surat-suratku yang datang setiap minggu.

Tak apalah, hari ini, tigapuluh tujuh minggu, kembali kutuliskan surat untukmu,  sekedar bercerita, mencurahkan apa yang kurasakan semenjak kepergianmu dari kampung ini. Lembaran surat yang suatu saat menjadi jejak pasti, bagaimana perasaanku sejak dirimu pergi.


Cheiza....
Minggu lalu, wanita yang mirip sepertimu singgah ke kampung kita, menemuiku, namun hanya untuk bertanya.  Ia ternyata bernama Mawar, merah merekah bunga setaman, warnanya kiaskan semangat cinta berbunga rasa.  Ia sahabat pena Indah, sejak Sekolah Dasar katanya. 

Sore itu, sempat kutatap wajahnya, teduh. Sulit kubedakan keteduhan itu dibandingkan denganmu,  namun gelombang rasaku yang selama ini sesak menyiksa, tenang saat menatapnya. Ketenangan yang sama kurasakan saat membayangkanmu, apalagi melihatmu.

Cheiza.....
Tadi pagi, di Tanjongpandan, diriku bertemu dengannya, di Simpang Lima Tugu Satam. Ia hanya menoleh sebentar, menyapaku, lalu menghilang di ujung jalan. Ingin kukejar ia, namun tak tahu harus berakhir dimana. Diriku limbung, hampa,  asa mengosong, dan jiwapun menggosong. 

Entah, mengapa kurasakan hal ini. Adakah rasa cintaku kini telah berpaling?  Adakah kesendirianku dambakan keharumanmu menjadi sebabnya?  Ataukah memang diriku sudah tak kuat menahan rasa? Tak kuyakini jawabanku.

Cheiza.....
Malam ini, purnama belum datang,  masih bulan kesebelas. Cerah langit barat, Venus dan Mars-pun berjalan berdampingan di Juni ini. Venus,  wanita alam semesta, dan mars, lelaki penjelajah jagat raya, kini telah berjalan mendampingi sang venus. Bulan telah merestuinya, dan bintang telah menggembirakannya, bersorak girang. 

Ada rasa iri yang luar biasa menyaksikan mereka berdua, Venus dan Mars telah tampakkan diri menjadi pasangan abadi di jagat raya, bahkan bumi kian cemburu menyaksikannya. Ingin diajaknya sang rembulan, namun puisinya kini tak lagi tautkan rasa, kosong,  tak bernyawa.

Cheiza....
Adakah Venus dan Mars kau saksikan di tepian Mahakam malam ini? Tidakkah dirimu iri melihat mereka berdua? Venus hanya untuk Mars, bukan untuk bumi, karena bumi adalah tempat pertautan cinta mereka.

Adakah kau ingat padaku, Affan Nur Aditya, matahari pemberi makna? 
Adakah kini kecemburuan dirimu atas Rose Amalia Putri, mawar penebar makna di kala kurindu dirimu? ".

****
Dua lembar, kertas itu kembali dilipat Affan, lipatan yang ketigapuluh tujuh. Hampir setahun Cheiza pergi, kali ini kerinduannya kian di ujung ubun-ubun, rebah! 

Ia kian kalah, menuju pertarungan rasa,  karena Cheiza memenuhi bentuk nyatanya. Kini ia telah bermetamorfosis menjadi wanita pengharum makna, Rose Amalia Putri, kelembutan di makna hati, wanginya menebar dalam kerinduan diri, jadikan Affan kian terhempas, bukan dalam cinta buta, namun dalam gejolak mimpi tak berujung nyali.  Ia kian tak berani menatap Mawar, wanita pengharum mimpi.

Minggu, 28 Juni 2015

Menulis, Ini Tentang Berbagi Rasa Menaklukkanmu

Sabtu pagi :

"Kudengar dirimu sekarang kembali rutin menulis di blogmu, beberapa kawan menceritakannya padaku.  Aku baru tahu pagi ini, namun belum sempat membukanya, maklum baru pulang dari hutan. Jaga hutan sekarang kian berat, bukan hanya illegal logging, namun ancaman pembakaran," ujar seorang teman.

"Betul, selama Juni kuputuskan untuk menggairahkan kembali semangat menulisku, sekalian menantang diri apakah mampu meninggalkan zona nyaman selama ini : hanya menulis di kala mood sedang baik, hanya bersyair di kala hati sedang letih, dan hanya menarikan rasa di kala degup jantung tak lagi sama," jawabku. 

***
Sabtu siang :

"Pak, sudah kubaca beberapa tulisannya di blog, inspiratif,  rangkaian kata yang nyaris sulit diprediksi, unpredictable.  Repetisi yang membuatku kian penasaran, bukan hanya tentang isinya, namun juga tentang gejolak rasa saat Bapak menuliskannya," seorang rekan kerja menuturkan dengan wajah serius,  nyata.

Kujawab,"Jangan kau tanya gejolak rasa saat kutuliskan rangkaian kata itu, karena setiap kali menulis diriku sendiri tak pernah tahu ke arah mana jari ini bergerak, ke logika mana otak ini akan menarikan katanya,  dan ke ujung mana hati ini akan menghidupkan rangkaian kata-katanya. Semua bergerak, sesuai dengan apa yang diinginkannya".

****

Sabtu sore :

"Dulu aku pernah melakoni beberapa waktu sepertimu, menulis cerita pendek,  membuat novel, dan menulis blog. Tak sampai setahun,  padam total. Sebagian besar karyaku, utamanya di blog diambil orang lain, dicopy-paste, dilupakannya tombol edit. Flash disk sahabat sempurna mengambil folder novel yang baru selesai ditulis. Flash disk kupatahkan, persahabatanpun patah hingga kini, tiga tahun!," ujar sahabat yang lain,  wanita berambut panjang, cantik, manis, ekspresif!

"Dulu akupun pernah patah arang, bahkan banyak tulisan di blog yang ku-delete, lebur jadi debu. Tiga tahun jatuh, tak mampu bangun,  hingga di awal Juni, hari ketiga, kursor diarahkan Tuhan ke tweet seorang sahabat, #NulisRandom2015".

"Tak khawatir karyamu diambil orang? Copy,  paste, no edit? Aku nggak mau, " ucapnya tak kalah ekspresif dibandingkan sebelumnya. 

"Ada juga sih, namun mulai mampu kutaklukkan rasaku yang bergayut dalam selama tiga tahun ini.  Hanya orang yang tak bermoral yang begitu, namun di dunia ini tentu lebih banyak orang baik dibandingkan dengan orang yang tak santun. 

Lagipula, Tuhan telah mengaruniakan ketajaman pikiran,  olah rasa, dan keteguhan jiwa pada kita, hingga sebagian rangkaian kalimat kita menjadi bernyawa.  Mengapa kita harus menguburkan semuanya hanya karena kekhawatiran atas kemungkinan diambil, dibajak, atau malah di-publish dan diakui sebagai karya kata dan karya rasa mereka?".

****

Sabtu malam :

Satu tulisan kembali meluncur, jelang pergantian malam,  taklukkan mata yang mulai terpejam. Buka, sholat magrib, mengaji,  sholat isya, lalu tarawih sendiri di rumah, cukup melelahkan,  namun tak mampu kalahkan keinginan untuk menjawab tantangan diri.

Berbagilah, maka Tuhan akan memeluk rasamu. 
Menulislah, maka abstrakmu mewujudkan bentuk nyatanya.
Maka berbahagialah.....
Karena dirimu telah menuju keabadian.

Sabtu, 27 Juni 2015

Bapak, Kami adalah Dirimu

"Bapak.....
Empat tahun kini, duapuluh tujuh Juni Duaribu Sebelas, selepas subuh, kala mentari mulai menanjak, dirimu kembali menghadap Allah,  memenuhi kegembiraan yang telah lama dinantikan : bertemu dengan kedua orang tua, kakek dan nenek bagi kami. 

Empat tahun waktu yang singkat,  namun terasa sangat panjang bagi kami.  Tujuh hari pertama,  panjangnya luar biasa, lebih dari duapuluh empat jam terasa,  karena sepenuhnya kami lebih banyak berdiam diri tenggelam dalam rasa masing-masing. 

Semula kukira, empat puluh hari selanjutnya akan memendek segera, normal seperti biasa, namun ternyata masih memanjang seperti sebelumnya,  kami masih tetap banyak merenung mengenang dirimu.

Tahun pertamapun demikian, tahun kedua, juga tahun ketiga, dan kini tahun keempat, kian perlahan memasuki tahun kelima. Pendek bagi banyak orang, namun panjang bagi kami. 

Hidup memang harus kembali berjalan seperti sediakala, normal apa adanya, begitulah yang Bapak katakan setahun sebelum kepergianmu, hari terakhir saat dirimu mengucapkan salam di tempat kami, untuk kemudian melangkah tertatih kembali ke Belitong,  tanah yang dicintai. 

Bila sudah melangkah dan menginjak tanah,  jangan menoleh ke belakang lagi Pak, agar kenangan ini tak memberatkan dirimu untuk berangkat,  begitulah yang kuucapkan pagi itu, Duapuluh enam Juni Duaribu Sepuluh. Entah darimana awalnya, kalimat itu meluncur sempurna,  seolah Tuhan telah membisikkan padaku bahwa pagi ini adalah hari terakhir Bapak menapak di tempatku,  rumah peneduh bagi banyak jiwa yang mencintainya.

Pak, terlalu banyak yang kuingat tentang dirimu. Maka izinkan diriku mengingatnya malam ini. Agar doa-doa kami kian tulus, agar sholat kami kian khusuk, dan agar perjalanan kami kian berkah. 

Mengenangmu, bukan berarti kami ingin hidup di masa lalu, namun kami ingin semakin menghargai sisa hidup kami, memilih jalan penerang kami,  menikmati sisa hidup dengan banyak arti, dan membagikan sisa waktu yang ada untuk banyak menggembirakan negeri.

Pak.....
Setahun jelang kepergianmu, hampir setiap hari kita selalu bercerita.  Pukul enam lewat empat puluh lima menit, headset dipasang, mesin dihidupkan,  pembicaraanpun dimulai. Banyak yang kita bicarakan, namun satu hal yang kian menguatkan : Bapak adalah El-Kalami, lelaki yang menuliskan banyak gejolak rasa atas saksi kehidupan yang dimaknai. 

Pak....
Tigabelas Juni Duaribu Sebelas, dirimu izin untuk pamit meninggalkan kampung, menuntaskan sakit yang kian menua. Hanya tujuh hari, dirimu pamit pada tanah Belitong,  menjejak sakit ke Metropolitan,  menunggu sayatan pisau bedah di sepertigapuluhtiga bagian tubuh. 

Saat itulah diriku mengatakan, bila Bapak mau berangkat, berangkatlah dengan tenang, bila Bapak ingin pulang, pegang ucapan anakmu ini, Bapak akan pulang ke Belitong.  
Pagi yang sangat berat bagiku,  setelah duapuluh enam jam bertarung tenaga, rasa,  juga jiwa di sepanjang lintas Sumatera.

Pak....
Saat azan zhuhur berkumandang,  ingatkah dirimu bahwa saat itu sholat zhuhur khusuk Bapak laksanakan,  tempat tidur terasa bergetar, airmata menetes sempurna kala doa lirih yang dipanjatkanmu dengan mata nyaris terpejam. Khusnul Khotimah,  itulah doa lirih yang kudengar dari bibirmu. 

Zhuhur yang kemudian menjadi zhuhur terakhir bagimu, karena ashar tak mampu lagi dituntaskan dengan kekhidmatan, ICU menunggu,  roda tempat tidurpun menari sempurna, paramedis bersigap nyata. 

Pada akhirnya, seminggu saja pertarungan itu mencapai wujudnya,  matahari pagi menjadi saksinya,  sakratul maut itu begitu nyata.

Aku gembira karena bisa kembali pulang ke kampung, berkumpul dengan bapak, umak, abang, dan adik-adik yang telah lama menungguku, begitulah ucapmu dalam mimpiku. Terima kasih.

Pak....
Empat tahun diriku menapak diri, menguatkan langkah hati, menebar pelangi untuk banyak cucumu yang sangat kau cintai. Izinkan diriku bercerita apa yang terjadi, juga yang kami rasa sepeninggal dirimu.

Kini, hampir semua rambut anak-anakmu sudah memutih sempurna, giginyapun lepas sempurna,  menyisakan gusi yang kian lebam karena tak dialiri darah dengan sempurna. Kami juga sudah mengemasi diri menunggu jemputanmu.

Kini, hampir semua cucumu telah memindahkan pita toga, menjadi sarjana, kebanggaan dan kebahagiaan yang tiada terkira, begitulah yang dirimu ucapkan saat melihatku bertoga, apalagi bila melihat cucumu.

Kini, umak sudah menjejak tanah suci, belum berhaji, hanya umroh karena usia lanjutnya tak menguatkannya untuk menjalani haji. Mimpimu untuk memberangkatkan umak ke tanah suci, sudah kami tunaikan.

Pak....
Diriku tahu, Bapak tak berharap kami bercerita tentang Ipoleksosbudhankam. Namun bila boleh bercerita, kian hari kehidupan ini kian berat, semua kian mahal, dan kejujuran kian menjadi langka. Tapi Bapak tak usah khawatir, kami semua baik-baik saja, karena bukankah Bapak pernah mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan? Maka kami selalu berpikir bahwa kehidupan ini mudah adanya, semua tetap murah, dan ilmu tetap murah, karena semuanya masih dapat dibayar dengan keringat. 

Pak.....
Malam ini, Ramadhan yang indah. Langit terang benderang, bintang kerlip menantang, dan angin telah memeluk awan. Hanya ketenangan, karena malam kian temaram, dan suara orang yang mengaji di mesjidpun sudah menghilang, mereka semua ke peraduan.

Hanya diriku diam disini mengingat dirimu, mengenangmu dengan kebanggaan.  Terima kasih telah menemani, membimbingku, dan menjadi sahabat seumur hidupku. Dirimu semula memang tiada, lalu ada,  dan akhirnya kembali tiada. Namun bagiku, dirimu selalu ada di dalam pikiranku, selalu ada di dalam hatiku, selalu ada di dalam gerakku, dan selalu ada dalam jiwaku. 

Karena....
Dirimu adalah diriku, pikiranmu adalah pikiranku, gerakmu adalah gerakku, dan jiwamu adalah jiwaku. Engkau menuturkan, diriku menuliskan. El-Kalami dengan segenap rasa.

Semoga Bapak selalu mendapat kemudahan dan kelapangan di alam barzakh,  saat dihisab di Padang Mahsyar, melewati Shirothal Muataqiem, dan menghadap Allah Maha Pemilik Segala Kehidupan, amien. 

Empat tahun lalu dirimu mendahului, beberapa waktu mendatang kami mendatangimu dengan kegembiraan, karena kerinduan berbalas tuntas dengan pertemuan.
Semoga......Amien........" 

Jumat, 26 Juni 2015

Empati : Cermin Rasa Menguak Nurani

Bintang, lelaki kecil yang pernah kutuliskan beberapa hari lalu,  sore ini kembali kulihat ia mengitari tempat kursus Bahasa Inggris itu. Bila minggu lalu, ia duduk di anak tangga ke sebelas, kini menyambangi beberapa pengendara yang lewat di dekatnya,  bukan karena anak tangga itu terlarang untuknya,  namun karena tak ada siapapun yang melewatinya,  kursus tutup hingga akhir bulan ini.

Kulihat, beberapa pengendara menyodorkan uang sepuluh ribuan, tak menuntut kembali,  sebungkus penganan berpindah tangan,  dua ribu jadikan amal tiada berhitung : tangan kanan memberi,  tangan kiri berusaha tidak tahu, ikhlas.

Namun bukan keikhlasan itu yang ingin kutuliskan, bukan karena tak menarik, namun karena ikhlas sudah terlalu sering berulang diujarkan layaknya repetisi yang kian membathin.

Pada suatu waktu yang berbeda, seorang lelaki di jelang senja, berjalan tertatih menembus senja. Bungkuk tubuhnya,  diseret kakinya,  tongkat rotan kian tak mampu menopang rapuhnya tulang. Sebuah tas plastik menggantung di ujung tongkatnya, beberapa ikat kangkung isinya, tak lebih dari tujuh ikat, empat belas ribu rupiah.

Seorang Bapak, hampir setengah abad, mendekatinya, menjulurkan tangan, menyalami dan mengatakan, "Ini untuk kakek".

Selembar uang duapuluh ribuan berpindah tangan,  namun kakek kemudian berkata," Jangan kau tolak sedekahku juga."
Tujuh ikat kangkung berpindah tangan,  tak mampu ditolak lelaki nyaris setengah abad.

Pada minggu yang sama, seorang wanita muda menghampiri lelaki menapak usia kepala empat, ia tersenyum, sang lelaki itu ikut senyum saat menerima ucapan salam dari wanita muda nan cantik jelita, tiada terbilangkan, nalurinya bergerak sempurna.

"Maaf pak, saya karyawan baru,  di telepon HRD sabtu kemaren, senin mulai bergabung di Perusahaan ini," ucapnya. 

Lelaki itu tersenyum, ramah,  dan bersikap terbuka.  Dilupakannya sesaat jabatan yang ia punya, pandangannya nyaris tak lepas dari wanita itu.
"Dirimu terlalu muda untuk bergulat dengan gejolak dunia, selayaknya wanita seusiamu bernyanyi ceria menapak cita-cita".

****

Tiga cerita, banyak makna, namun satu kesamaan : Perjuangan menjejak kehidupan tak mengenal usia. Tak peduli apakah kita masih bocah mengais cemong di wajah, baru menapak remaja, menjelang dewasa, persiapan masa tua, atau lansia menapak tua renta. Bila kita masih bernafas berarti kita masih terus harus berjuang menapak kehidupan, apapun keadaanya.

Namun apa maknanya?
Lelaki di dalam mobil, ia yang menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan pada Bintang,  siapa pernah menduga dulunya seluruh masa kecilnya dihabiskan untuk menuntun sepeda di sepanjang kampung, berjualan kue apam rendang, ketan panggang, putu mayang,  juga bingka ketan dan goreng pisang. Empatinya telah menuntunnya untuk terus membeli dagangan Bintang,  apapun isinya dan berapapun harganya. Bintang baginya seperti melihat dirinya sendiri di ribuan hari yang lalu, serpihan cerita ysng tertinggal dan kini berwujud kembali. 

Adapun lelaki yang menyodorkan uang duapuluh ribuan pada sang kakek, di ribuan hari yang lalu bukanlah penjual kangkung keliling. Namun melihat sang kakek, ia seolah melihat sosok ayahnya di ribuan hari, saat ia masih hidup. 

Sayang, kala itu, dirinya bukanlah apa-apa, hanya orang biasa dengan segala keterbatasan yang ada. Tak dimilikinya rezeki berlimpah,  hari-hari dilewatinya dengan bertarung rasa, kemiskinan membuatnya tak mampu berbuat banyak untuk sang Ayah tercinta hingga menutup usia.

Keadaan yang disesalinya, mengapa tak ia paksakan diri melepaskan jerat rasa dengan memaksakan diri berbuat untuk ayahnya, meski hanya dengan sekarung beras dan sebungkus telur ayam atau seikat ikan asin. Keadaan yang disesalinya hingga kini, menunggu lapang rezeki, nyatanya tak kunjung datang jua.

Akan halnya Pimpinan Perusahaan yang berjumpa di hari pertama wanita muda itu bekerja di tempatnya,  panjang kenangan yang ia rasa. Dulu iapun masih muda saat membanting tulang melepaskan jeratan lapar menyiksa, hausnya otak menuntut dipuaskan, dan panjangnya imajinasi yang ia buaikan harus dituntaskan. Namun ia adalah laki-laki, jelas berbeda dengan wanita. Ototnya sekuat besi, tulangnya sekokoh baja, dan syarafnya menyebarkan impuls secepat sambaran kilat menembus raga bumi. 

Wanita semuda itu, harusnya masih bercengkrama di separuh kota, menikmati terangnya sinar lampu di malam berbintang,  mengulurkan lembaran demi lembaran kertas bergores cita-cita.  Bukan disini, menjalani separuh jalan dengan sejumlah target kerja separuh sempurna, tidak pernah turun, selalu menanjak sempurna,  layaknya mengejar bola yang mengapung di sungai deras hingga ke samudera. Tiada pernah berakhir! 

Ketiga lelaki tadi, menebar empati di separuh hari. Ada banyak bagian dirinya yang terseok dan merepresentasikan yang ia alami, mungkin dulu, namun juga hingga kini, layaknya mengumpulkan serpihan demi serpihan kehidupan yang belum berbingkai nyata. 

Empati yang menabur dalam jauh ke hati,  menggeluti nurani, bahkan mengulitinya hingga kadang tetes airmata kian tak mampu disembunyikannya. 

"Tak ada yang kejam dalam hidup ini, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam menjalaninya,  dan tak ada yang tak bisa ditaburkan demi wujud mimpi diri. Satunya raga dengan pikiran, satunya pikiran dengan rasa, dan satunya rasa dengan impian,  ketiga hal inilah yang akan memastikan kita terus mengasah empati menggelora nurani".

Kamis, 25 Juni 2015

Cantik : Anugrah atau Musibah?

Soraya Renata, begitulah seorang sahabat menamakan tokohnya,  seorang wanita cantik berdarah Manado,  rambut sebahu, putih kulitnya,  tajam bola matanya, alis nan lentik memenuhi keindahan di wajahnya,  meski ia tidak semampai, namun cantik luar biasa.

Bayu, lelaki yang menjadi peristirahatan terakhir bagi Soraya, Ata panggilannya. Tidaklah terlalu tampan, namun perhatian tulus telah meluluhlantakkan nalar Ata. 

Aji, pemuda yang penuh perhatian,  namun kecemburuannya yang dalam pada akhirnya memporakporandakan hubungannya dengan Ata. Satu permintaan terakhir pada Ata, agar mereka bisa tetap berhubungan meski hanya sebagai teman,  hanya mimpi siang bagi Aji. Ketampanan tak berarti bila berhadapan dengan ketulusan, kecemburuan tak berarti bila berhadapan dengan kepercayaan,  dan cinta atas dasar rasa menguasai tak berarti bila berhadapan dengan cinta dilandasi ikhlas tak  bertepi, karena cantik bukankah keabadian makna, namun hanya keindahan mata.

Begitulah, sahabat Rachmi Zen meramunya hingga menjadi cerita yang menarik. Sederhana, namun tetap menggelorakan rasa untuk berimajinasi tentang sosok Ata,  wanita sempurna dan menarik rasa. 

***

Azizah, Putri Melayu, wanita cantik nan santun berpadu.  Rambutnya ikal bergelombang, matanya teduh, kulitnya kuning langsat, wanita biasa dengan segala kelebihan tuturan. 

Amanuddin, lelaki biasa namun layaknya Bujang Melayu kebanyakan, pandai berpantun, juga bersyair. Dendang Melayu ia kuasai, bergambus ria ia perankan,  dan Dul Muluk baginya adalah panggung kehidupan dengan banyak rona kebijaksanaan, karenanya tak kan berpantang langkah disurutkan untuk melestarikan adat Melayu, juga demi meraih cinta Azizah. Puluhan tangkai mawar merah telah diberikan olehnya untuk Azizah, namun belum satu balasanpun ia dapatkan. Puisi rasa tak juga mampu berbalas, meski hanya sepatah kata.

Faiz, lelaki keturunan bangsawan, pintar dan cerdas, Negeri Melaka ia menuntut ilmu, Negeri Sembilan melengkapi,  dan keindahan sungai Indragiri yang menemani separuh hidupnya bersama Azizah, wanita segala jiwa. Dipertemukan secara misterius saat banjir bah melanda, penebangan hutan di hulu sungai telah meluluhlantakkan semua harta dan jiwa, kepiluan yang akhirnya diakhiri dengan hadirnya cinta antara mereka. Sungguh rencana Tuhan tiada pernah disangka.

***

Marlena, Dayang Melayu Belitong cantik luar biasa. Tak pintar orangnya,  sedikit bengal, pemberontak, dan berganti teman lelaki beberapa kali, laris manis. Hampir gagal masuk SMA Negeri, namun merampas lembar jawaban Sabari telah menyelamatkannya, sembilan koma enam nilai tes Bahasa Indonesia, rerata nilai minimal terlewati, enam koma lima. 

Sabari, Bujang Belitong ahli berpuisi.  Alam terkembang menjadi puisi, tuturan dipantaskan dengan puisi, dan mimpi kehidupan kian berwarna, bergejolak, dan merah darah dengan berpuisi.  Ia lelaki penyabar, belasan tahun memimpikan Marlena, sejak saat tes seleksi masuk SMA Negeri. Jiwanya luluh lantak,  hingga tahun kedelapan ditinggalkan Marlena menjelajah nasib di Sumatera, akalnya tinggal secuil saja. Tinggal dijentikkan jari, akalnya akan tenggelam ke Sungai Lenggang Gantong. 

Setengah cerita, belum kutuntaskan. Namun tiga lelaki telah menjadi jejak duka pernikahan Marlena. Agen Vespa di Pangkalpinang, Pegawai Negeri berpangkat di Bengkulu,  dan Gitaris terkenal di Medan. Hidup terseok di setengah Sumatera setelahnya,  kecantikannya kian tak mampu menaklukkan duka kehidupan.  Berpindah kota, berpindah profesi, namun belum berpindah nasib. Kecantikan hanya seperti kabut yang belum tuntaskan duka, gagal,  meski kata Sabari tak satupun mimpi yang dapat dibandingkan atas wanita bernama Marlena.

Andrea Hirata menuturkannya dengan penuh imajinasi rasa dalam novel "Ayah", dan diriku kian larut dalam pertanyaan membuncah : Cantik,  anugrah atau musibah? 

***

Tadi sore, seorang sahabat bercerita tentang pertemuannya dengan seorang wanita. Muda, cantik,  kulitnya halus dan putih, rambutnya sebahu, wanginya memecah makna, dan nafasnya menghilangkan logika.
"Cheiza Alfinia? Ia seperti sosok wanita yang pernah kubaca di salah satu blog," ujarnya menggoda.

Tak melihat reaksi sempurna dariku, ia  berkata,"Maafkan kali ini diriku mulai mabuk pada wanita itu".

Hanya kerlingan,  selanjutnya diriku tak bereaksi kecuali membayangkan sosok Cheiza,  si kembang merak penghapus duka, tokoh imajinatif dengan segala kesempurnaan tak terucapkan.

"Adakah Cheiza Alfinia itu nyata? Ahhhhh.....diriku juga mulai gila, imajinasi yang kian menapak sempurna,  tarikan rasa tiada berujung, dan kerinduan yang kian tak terhempaskan".

Lantas, apakah jawaban atas pertanyaanku selama ini : Cinta,  anugrah atau musibah?

Belum mampu kusingkapkan kepadatan rasa atas jawabnya,  belum pula mampu kutuntaskan kepastian atas maknanya,  karena kepenatan ini kian terasa,  lelah berimajinasi tentang senyumannya.

Pelan, halaman muka novel itu kubuka :
"CANTIK....KARENA KITA BEGITU ISTIMEWA"
---Rachmi Zen---


Rabu, 24 Juni 2015

Mawar Rasa

Tiada yang mampu memalingkan pandang
Dari kemagisan sebuah rasa
Yang selalu disapa dengan cinta
Itu adalah rahasia alam
Yang tak kan terpecahkan oleh aneka rumus
Hanya hati yang bicara
Tersiksa oleh perasaan asing yang bergelora
Menuntut pelepasan
Pahit atau manis, hanya soal pilihan
Mustahil mengharapkan kebijakan
Pada jiwa yang diperintah cinta

(Indah Hanaco, Rasa Magis Bernama cinta).

***

Affan, diam, hening,  menunduk. Kais demi kais kaki, pasir berhambur, kerikil menumpuk, cipratan air dari kerikil yang dilemparkan ke tengah danau itu, riak membulat, pelan menghilang,  tak sampai ke tepian. 

Ia renungkan matahari, sore ini merah sempurna, menangis. Ia tampakkan rembulan,  tak sebongkah bayanganpun dihadirkan,  meski senja Juni langit barat biasanya bersih, hanya berjejak merah. Ia tengadahkan mata, bimasakti berpaling sempurna, bukan putih susu, namun putih mata, tak berbias meski danau bersih sempurna.

Siang tadi, pukul dua sore, wanita yang ia lihat di pantai sore minggu lalu, melintas tenang di hadapannya, tak sempat tersenyum, apalagi menoleh padanya. Rambutnya melambai sempurna,  wanginya menebar nyata, taburnya menepikan jiwa. Ia terlalu sempurna menjadi wanita biasa.

"Cheiza.....mengapa kau menjelma nyata? Tak cukupkah tigapuluh lima tumpukan surat yang kutumpahkan tentang rasa padamu? Tak cukupkah dua tahun, tak cukupkah duapuluh empat bulan, tak cukupkah pula tujuhratus tigapuluh satu hari yang kulewati ini? Ampun.....diriku kian kalah, total!"

"Maaf....numpang nanya, kalau rumahnya Indah Purnamasari ada dimana yah?," kalimat itu mengagetkannya. 

"E.....ap...app...apa..." kelu lidah Affan saat menoleh, wanita itu kini di hadapannya. Harum, wangi, bunga mawar merah menyala. 

"Rumah Indah bang, rumah Indah Purnamasari,  abang tahu dimana? Kami dari Tanjongpandan,  tadi baru datang, mau bertemu Indah, sahabat pena sejak masih SMP bang," jawabnya tuntas, tak ditanya Affan, semua jelas, tegas.

"Indah, kami berteman sejak SMP juga,  hingga kini. Dulu waktu SMP diriku berjalan kaki, lima kilometer, tapi hanya seminggu. Indah mengajakku berboncengan dengan sepedanya, diriku mengayuh, dia bernyanyi duduk di belakang, tiga tahun," ucap Affan tak kalah cara, tak mau kalah, meski tak ditanya.

Sayang wajahnya masih merah sempurna,  bibirnya biru, gugup. Nafasnya tersengal, untunglah, lima tahun belajar silat dengan pak cik syahdan, membuatnya cepat menguasai diri, hanya tiga menit tersengal, kemudian tenang layaknya Guru Betara Karang.

"Mari kuantarkan".

Sebuah tas ransel kulit berwarna hitam, mainan kunci boneka piglet sebesar telunjuk warna merah muda,  dan sebuah bross mawar merah tua melekat di dada sebelah kanan, persis di dekat bahu. 

"Boleh saya bawakan tas ranselnya?"

Tak perlu jawaban, ransel itu segera berpindah tangan.  Wanita itu tak sempat mengatakan iya, bahkan namanyapun belum sempat diucapkan, perkenalan hanyalah tatapan. Lelaki gagah itu sudah menyandangnya, dengan dada tegap sempurna,  lelaki Belitong dari pedalaman, bujang desa.

"Silahkan duluan, rumahnya yang di seberang jalan,  warna hijau muda," Affan menggerakkan tangan, mempersilahkan wanita itu melangkah duluan.

Sekelebat, rambut wanita itu melambai sempurna, panjang, wangi. Bau tubuhnyapun jelas nyata, bunga mawar.

"Kembang merak penjejak jiwa, Cheiza Alfinia. Mungkinkah ia memiliki kembaran kedua bunga mawar penguat jiwa?" diam, hening, pikirannya berkecamuk nyata.

Senyum sejenak, dilihatnya langit barat telah menghempas sempurna,  matahari meninggalkan jejaknya.  Bulan purnama ketigabelas, tapak timur menjelmakannya. Sabuk susu Bimasakti,  mulai menari riang di langit selatan. Seolah iringi keharuman mawar yang menjejak di kampung ini,  pedalaman Belitong.




Mawar rasa
Bergerak sempurna
Harum 
Berayun 
Temani angin senja
Meski sejenak
Janjikan malam berbintang 
Bertaut terang purnama



Selasa, 23 Juni 2015

Bila Dilahirkan Kembali Diriku Ingin Menjadi.......

"Kala masih kecil, diriku ingin menjadi seorang Pilot. Kan kukelilingi bumi Belitong,  kupotret Gunong Tajam dari atas, tepat di atas tiang tinggi di puncaknya, stasiun relay TVRI. Tiang itu tentu hanya akan nampak seperti titik saja, ia tidak bisa menyombongkan diri sebagai yang tertinggi di bumi Belitong, karena diriku yang memotretnya, jauh lebih menjulang tinggi dari dirinya. 

Di setengah perjalanan Sekolah Dasar, diriku berubah ingin menjadi Raja, raja dari segala raja di pentas Dul Muluk, semua raja dari negeri seberang akan bersimpuh menekuk muka, gentar dan bergetar bila menatap wajahku. Menentukan putra mahkota dengan seksama, mengatur negeri dengan gembira, jauh dari lalim dan durja, menghibur rakyat layaknya khadam, pelayan istana yang selalu riang gembira. 

Setahun kemudian, diriku ingin menjadi penjual mainan keliling di seantero Belitong. Membawa ratusan balon beraneka warna, menyatukannya dengan sebilah bambu berlidah plastik, berbunyi nyaring menggoda mereka, eok...eok....eok. 
Anak-anak mengerumuni diri, memilih balon, boneka, karet rambut, kipas kertas, roda kaleng, atau bola plastik untuk berteriak girang menendangnya di lapangan Padang Lutong. 
Tak perlu berlembar uang ribuan,  cukup bawakan padaku tiga atau lima botol bekas saparilla, atau limun kuning,  tak harus  botol bekas 7up (seven up) atau sarangsari frambozen hadiah PN Timah di pertengahan Ramadhan.  Botol bekas tauco Nyimoi atau Nyunya Kampong Parit-pun kuterima, juga botol bekas pekasam ikan Kampong Tanjong Kelumpang.

Hanya setahun, diriku berubah ingin menjadi bang Madras, bertiup kencang mengayuh sepeda dari Simpang Pesak hingga ke Manggar, tigapuluh dua kilometer, enampuluh delapan menit. Rantai Did, FreeWeel 11, sadel kulit kerbau yang disamak. Loncengnya terompet, suaranya menggelegar melebihi klakson mobil Fargo tukang kanvas keliling dari Tanjong Pandan.

Saat cik Rados kembali dari Indonesia Timur, matanya yang berbinar, tubuhnya yang kekar, dan seragam hijaunya yang tak nampak di antara rerimbunan pohon lada yang menjulur dan memilin di tonggak kayu meranti,  diriku berubah ingin menjadi tentara. Sepotong kue kering seukuran jempol kaki yang dimakan jelang tidur, telah mengenyangkan hingga esok malam. Bila jadi tentara,  diriku tak perlu memasak nasi, memancing ikan di Sungai Seranggas, atau menunggu Pok Satu jebol di musim hujan, juga tak perlu berladang di Gunung Pedas. Cukup makan kue kering tadi, tigapuluh biji sebulan,  maka surau kami segera berdiri karena gajiku dapat untuk membeli semen dan batako di Kampong Padang.

Tiga tahun bertahan,  seorang pak pos menggodaku kembali.  Tumpukan surat yang ia bawa, dalam karung goni coklat bertutup, berbaju dinas bertopi biru, berlari kencang mengayuh sepeda, mengantongi ratusan ribu uang wesel dari seberang, banyak teman korespondensi di penjuru dunia, tandakan ia lelaki perkasa berilmu tinggi. Ratusan bahasa ia kuasai,  buktinya semua surat dari banyak negeri selalu sampai ke alamatnya! tak pernah tersasar, meski alamatnya ditulis orang luar negeri.

Saat Menteri Koperasi meninjau Pice, bendungan sejarah peninggalan Belanda di Gantong,  ia menyalami dan berfoto dengan bang Faridz, senyum merekah, ramah, hangat dan intelegensi tinggi. Diriku berubah ingin menjadi dirinya.  Pergi ke seluruh pelosok negeri, berseragam kuning di jelang Pemilu, berteriak menggebu di panggung lapangan bola Batu Penyu, membakar jiwa layaknya kami semua generasi pembebas kemerdekaan, kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan yang utama. Diriku ingin menjadi Menteri, juga Politisi.

Usia menapak, pikiran berlogika nyata, nalar menapak sempurna, dan selera kian berubah.  Komandan Upacara,  di sekolah itu, ujarannya kian mempengaruhi. Dalam, teduh, bijak, juga bermakna. Menyemangati,  membakar diri, logat Batak yang kental,  tegas : Hidup adalah nasibmu, jemputlah mulai saat ini, jangan kau tunda!

Hanya lima tahun,  diriku melengkingkan kata di lapangan, bukan lapangan sekolah tempat lelaki Batak berujar dulu, namun Komandan Upacara sudah digenggaman. Putih abu-abu di hadapan, banyak wanita muda berbedak tipis namun tak bergincu, juga lelaki muda berminyak rambut wangi menggoda, rapi, karena bukan dari minyak kelapa.

Kini, andaikan ada pertanyaan : Bila dilahirkan kembali,  dirimu ingin menjadi apa?

Dengan mantap kukatakan diriku ingin tetap menjadi Komandan Upacara. Berdiri di tengah lapangan,  berpentas kata di depan kelas, menemani banyak generasi muda negeri, menuturkan filosofi hidup berpandang negeri, dan memodalkan akal, rasa, dan jiwa untuk terus mencipta puisi dan prosa kehidupan di segaris jejak hidup diri. Karena kegembiraan ada disini, kebanggaan ada disini, keindahan tuturan ada disini, dan jarapan indah selalu terbentang luas, jelas, dan nyata disini."

*****
Lembaran kertas itu, tiga lembar, tak dilipat bentuk baju, juga kertasnya tak wangi, kini disimpan Affan di kotak bekas sepatu kain bergaya Bruce Lee. Dilihatnya, hampir penuh berisi, duapuluh dua lipatan kertas, duapuluh dua emosi diri, dan duapuluh dua kekuatan diri. 

Hanya ada Dia dan setumpuk kertas itu, jadi saksi gejolak rasa sepeninggalan kepergian Cheiza merantau ke Borneo, melengkapi titel dengan sempurna, the Philosopher, hingga menutup mata di kampung halaman, pedalaman Belitong. 

Senin, 22 Juni 2015

Bapak : Ayah Segala Rasa

Konon, hal yang paling penting dalam hidup manusia adalah hari saat manusia itu tahu untuk apa ia dilahirkan.
(Andrea Hirata, dalam novel "Ayah")

*****

Sahari, lelaki yang ditakdirkan Tuhan menjadi ayah Zorro. Anaknya yang telah menguakkan semua misteri tentangnya. Wajahnya tidak tampan,  tangannya kasar dan kuat, dan gemar berpuisi dan berkisah, beberapa hal inilah yang kemudian menyingkap banyak rahasia tentang dirinya. Tidak tampan,  agar ia tetap menjadi lelaki baik budi dan tak mempertontonkan ketampanan,  juga menjadikan ketampanan sebagai alat untuk memperdaya banyak wanita. Tangan kasar dan kuat, agar gampang dan mudah menghadapi kerasnya hari, termasuk menggendong Zorro. Sedangkan gemar berpuisi dan berkisah, dengan dua hal inilah ia menunjukkan dirinya sebagai lelaki halus,  perasa, dan penuh makna.

Lantas, mengapa hal ini diangkat pada tulisan saat ini? Adakah ini seperti mendomplengkan diri pada novel "Ayah" yang kini memenuhi hampir semua ruang sastra, baik di toko buku atau bincang sastra dimanapun jua? Atau apakah ini seperti resensi saja?

Jelas tidak!
Andrea Hirata adalah Andrea Hirata, ia sudah seperti guru sastra non formal bagi kami, Ia telah mewujudkan mimpinya, sementara kami adalah lelaki Melayu Belitong yang masih memeluk mimpi. Mimpi yang kian hari kian berwujud,  jati diri yang kian nyata,  karena kami mulai melepaskan diri dari kegaiban rasa.

Jadi untuk apa?
Hanya satu hal : bercerita tentang rasa,  sebagaimana banyak yang diriku, dirimu, kita, dan mereka rasakan tentang sesosok lelaki yang dipanggil Ayah.

Seorang sahabat pernah bercerita padaku, bahwa ia sempat lebih dari dua tahun bertempur rasa menaklukkan mimpi. Sebagai lelaki perantauan,  lebih dari duapuluh tahun telah ia jalani. Kuliah, pengangguran intelek, bekerja serampangan,  menjadi praktisi pendidikan,  menganggur kembali,  dan akhirnya menjalani kehidupan sebagai praktisi marketing,  meskipun diawali dengan door to door marketing, membangunkan salak anjing, berlari,  dan gagal berpuluh hingga beratus kali.

Mimpinya nyata, senyata langkahnya. Meski setelah tahun keduapuluh dua mimpi itu kian menemui wujudnya, ia akan dipromosi ke Jakarta. Meninggalkan istri,  anak, dan keluarga. Meninggalkan mereka jauh dari asuhannya, bimbingannya, juga marah dan omelannya.

Bimbang, begitulah adanya. Namun tuntas ia bayarkan segera : Keluarga adalah segalanya, perannya sebagai Ayah atas anak-anaknya,  tak kan pernah tergantikan sampai kapanpun. Ia memutuskan tetap mendampingi mereka sepanjang jejak usia yang masih ada, meski perjuangan duapuluh dua tahun nampak sia-sia, namun anak-anak yang sehat dan berprestasi, jelas telah menjadi bayaran lunas atas semuanya.

Seorang sahabat yang lain juga pernah bercerita, ada penyesalan nyata saat di jelang penghujung usia, tak sampai separuh waktu diberikannya merawat anak-anaknya. Tak ia saksikan si sulung menapak lantai Universitas,  si tengah menjadi pengibar bendera, dan si bungsu belajar mengeja huruf hijaiyah. Saat kesadaran itu tiba,  malaikat maut sudah di depan mata,  iapun kalah bertarung melawan lemparan dan sodokan virus yang menyerang hatinya, sirosis, mengerasnya hati.

Sahabat ketiga juga pernah bercerita,  lima tahun ia berjalan angkuh berangkara murka. Egonya tak terbantahkan,  anak-anak harus mengikutinya membelah rimba nasib, gemerlap kota, namun harus tersungkur di sudut gang sempit, jauh lebih sempit dari gang kelinci.

Banyak,  semakin banyak, dan amat banyak.
Sesungguhnya tidak ada kemutlakan dalam hidup ini, kenisbian yang selalu ada. Dekat bukan berarti benar, jauh bukan berarti salah. Sukses bukan berarti indah, gagal bukan berarti tangis. Membimbing tak harus hadir, jauh bukan dimaknai mengabaikan.

Satu hal yang masih kuingat, ibuku pernah berkata :

"Dulu saat kita membangun rumah ini, semua balok dibuat oleh Bapakmu. Setiap hari selepas pulang kerja dari PN Timah, beliau ke hutan untuk menebang sebatang pohon, lalu dicacah dan dibentuk balok sepanjang empat meter.  Bila libur, balok-balok itu baru diambil dari dalam hutan,  diikatkan di sepeda,  lalu dituntun hingga sampai di rumah. Jadilah rumah ini setelah lima tahun.

Dulu, selepas pensiunan dini dari PN Timah, ikut paket ekonomis saat timah mengalami krisis, bukan hanya krisis biji timah, namun juga krisis kepercayaan, Bapakmu mulai mencangkul di hutan kecil di belakang. Pohon, tunas, juga tunggul berubah menjadi deretan pohon lada membelit batang.  Jadilah mimpimu dirantauan berwujud sempurna : toga hitam,  berkalung biru berstrip kuning.  Lonceng nasib, begitulah ucapan Bapak saat menamakan seperangkat assesories wisuda yang kau kenakan.

Dulu, selama dirimu bertarung menjadi pengangguran, beliau sengaja beberapa bulan tak mensubsidimu, itu karena gubahan rentenir yang harus dituntaskan,  meresahkan.

Dulu, saat dirimu menjelang ke pelaminan,  hanya ibu yang dimintanya pergi lebih dulu menyusulmu, sementara ia harus merendam lada dan menunggunya seminggu,  mengulitinya, menjemur, mengarungi, dan menjualnya. Barulah ia menyusul ke tempatmu agar lengkaplah kami berdua di sisi kalian berdua di pelaminan.  Ingatkah dirimu saat ditanya mengapa ia baru datang belakangan? Jawabnya karena menunggu saudaramu mungkin ada yang dapat menemaninya ke tempatmu.

Dulu, saat Bapakmu bercerita tentang hebatnya para pemain bola di kampung kala melihat anakmu sudah mulai belajar menendang bola plastik, ia pernah mengatakan bahwa Cik Arifin,  kiper terbaik di kampung yang berani menangkap bolz di kaki penyerang,  Cik Mahater bek kanan yang selalu menyapu bola kemanapun dia menghadap, Cik Husairi penyerang lincah berlari seperti kancil hingga seumur hidup dipanggil kancil, dan Bapak gelandang kiri yang selalu mengoperkan bola beberapa meter di depan gawang lawan, hingga cukup satu sontekan atau tandukan sudah menciptakan peluang.

Tahukah kau apa maksud ceritanya?
Hanya satu maksudnya : dulu ia bisa berlari dengan gesit, tapi sejak pensiun dini duapuluh dua tahun lalu, sendi kakinya makin sulit digerakkan.  Asam urat menghantam,  tofi menjelma, lututnya kian tak mampu digerakkan.
Namun ia tak pernah mengeluhkannya padamu,  kecuali hanya membesarkan hatimu dengan bercerita tentang kenangan hebat masa lalu, saat ia masih luar biasa.

Dulu juga Bapakmu pernah mengatakan bahwa tanganmu terlalu kecil untuk menjadi kuli penyekop pasir kwarsa, bahumu tak kokoh untuk memikul sekarung timah, dadamu tak bidang untuk memeluk orang tuamu, namun tulisanmu indah, rapi, dan menggembirakan.

Tahukah kau apa maksudnya?
Ia ingin kau menjadi lelaki Melayu Belitong terpelajar, lebih dari hanya menjadi juru tulis seperti ia saat masih muda,  atau petugas Pemilu di tahun limapuluh lima!


Itulah Bapakmu,  lelaki penjejak makna. Tigabelas tahun usianya,   ia sudah tak berpunya Bapak, yatim. Kerinduan yang tak akan tertuntaskan, hingga ajal menyatukan mereka di alam sana. Kini ia tersenyum bahagia di  pangkuan Bapaknya, lelaki segala rasa".

Minggu, 21 Juni 2015

Kelimpahruahan Jiwa : Menghadap Tuhan dengan Ikhlas

Di saat akhir bulan seperti sekarang, semakin banyak orang mengingat Tuhan, banyak berdoa, banyak berharap,  banyak merenung, banyak berbagi,  banyak sholat sunnahnya, dan lain-lain. 
Subhanallah untuk ayat ini "Beribadahlah seolah-olah engkau akan mati besok, dan bekerjalah seakan-akan engkau akan hidup selamanya"
                                            
(Guntur Syaiful,  28 Februari 2014)

*******

Kematian,  ajal, akhir yang berarti awal. 
Diawali tidak ada, lalu ada, akhirnya kembali tiada.
Itulah kepastian, telah tertulis, tak terbantahkan,  hanya dijalani. Akankah kita mendustai? Melupakan? Mengabaikan? Menihilkan? juga menisbikan? 

Ramadhan keempat, pagi menangis, haru, sedih, tiada diduga. Mentari tampak berduka, angin merana, dedaunan runtuh melanda, satu demi satu putik jambu runtuh menyentuh bumi, memenuhi takdirnya. 

Tak ada alasan apapun yang dapat dipertahankan atas gugurnya beberapa daun muda, putik muda, rumput muda, serangga muda, karena takdir telah mereka penuhi. Kesepakatan demi kesepakatan di awal penciptaan telah ditandai, karena semua berwujud pengabdian, tunduk, juga tawadhu, dan ikhlas. Pergiliran telah disepakati, dan kala perjanjian itu telah berakhir, maka kembali menghadap dengan kegembiraan adalah nyata adanya.  

Seorang sahabat pernah mengatakan :
"Bila kita pulang tak membawa uang banyak, Tuhan tak kan marah. Bila kita pulang tak membawa rumah, Tuhan juga tak kan marah.  Namun bila kita pulang tak membawa amal pahala, maka Tuhan pasti akan marah".

Sahabat lainnya juga pernah mengatakan :
"Jangan tangisi daun muda yang jatuh kemudian mengering, karena itulah cara daun tersebut memenuhi janjinya dengan kebanggaan saat menghadap Tuhan."

Dua kalimat tadi, cukup menghibur diriku, anda, dan semua dari kita bila mendapatkan kabar duka. Hari ini, pagi ini, seorang sahabat yang luar biasa sudah mendahului kami, memenuhi janjinya untuk segera menghadap Tuhan dengan kebanggaan. 

Ia masih terlalu muda, Ia terlalu rupawan, ia terlalu tawadhu, ia terlalu teladan, dan ia terlalu melimpahruah bagi kami.  Singkat perjalananmu, singkat pertemuan kita, singkat pembicaraan kita, singkat canda kita, dan singkat pertukaran rasa antar kita. Namun karena singkatlah semua menjadi sangat berarti,  muda usiamu, namun melimpahruah amalmu, bercabang-cabang jasa dan budi baikmu. Tak terhingga,  jauh dari yang kami punya. 

Selamat jalan sahabat Guntur Syaiful, kini ucapan dan doa kebanggaanmu telah memenuhi ruang waktu. Dulu pernah kau ucapkan betapa bahagianya bila Tuhan memanggil kita dalam bulan Ramadhan,  karena kemuliaan di hadapan Tuhan adalah nyata adanya. Kini doamu telah dipenuhi-Nya. Hanya mereka yang spesial dan sangat khusus dimata Allah yang doanya dikabulkan segera tanpa perantara. Dirimu telah memberikan contohnya.  

Sabtu, 20 Juni 2015

Cinta, Gubahan Semesta Berirama

"Cheiza....
Hari ini aku ingin bercerita padamu tentang apa yang kurasakan setelah lebih dari setahun tak mendengar sedikitpun kabar berita darimu. Sangat besar rasa rinduku ingin tahu tentang dirimu kini, sangat besar harapku dirimu saat ini bercerita tentang indahnya tarian pesut mahakam yang dulu pernah kau ceritakan dalam suratmu yang pertama, surat yang tak pernah kuduga akan menjadi surat terakhir yang kuterima.

Cheiza......
Tadi siang, saat diriku melangkahkan kaki dan merenung di tempat yang sejak belasan tahun selalu menjadi sahabatku, pohon cemara laut di pantai itu, seorang wanita kulihat asyik memainkan ombak. Kakinya yang putih berselimut pasir putih bersih,  rambutnya terurai, tiupan angin membawa semerbak wangi yang kumaknai. Wanginya memang tak sampai kehidungku, namun imajinasiku yang merasakannya. 

Lebih dari setengah jam ia menikmati ombak itu, bermain dengan riangnya, dan sesekali ia menari layaknya bidadari, lovely angel yang baru turun dari gerbang pelangi di negeri ini. 

Cheiza....
Awalnya ia yang kusaksikan dari kejauhan, hanyalah tarian rasa dari jiwa yang berbeda, tak menarikku samasekali. Namun, kian dekat ia berjalan, kian dalam detak jantungku. 
Duhhhhh.....ia mirip denganmu Cheiza! 

Ingin aku berteriak dan memanggil namamu, namun tenggorokanku sesak, dadaku membuncah, jantungku berdegup kencang. Gugup!
Ingin pula kudekati ia, menyapanya, dan bercerita padanya tentang rinduku pada wanita seperti dirinya,  namun tak mampu. Diriku hanya mematung, takjub menikmati senyumannya!

Ahhh....mungkin karena rinduku,  maka wanita itu mirip dirimu. Rambutnya sebahu, tingginya mendekatiku, keceriaannya juga sepertimu, meski belum kulihat tatapan matanya, tak sanggup! 

Cheiza....
Seandainya dia adalah dirimu, akan kuminta ia duduk di dekatku. Kan kuceritakan tentang kerinduanku setahun ini, menunggumu tiada bertepi. Kan kuceritakan pula bahwa aku hampir gila memikirkanmu, aku kalah dan menyerah.  Juga akan kuceritakan bahwa dadaku tak sebidang dulu, kini kian mengecil. Aku limbung, goyah, dan kian resah.

Dulu Bapak pernah mengatakan padaku, cintalah kekuatan abadi dalam hidup ini. Cinta itu ibarat alam semesta beserta isinya: Mars adalah lelaki, Venus adalah wanita, dan di Bumi mereka dipertemukan. Bintang-bintang adalah hiasan kegembiraan cinta, meteor adalah tarian yang memperindah cinta, dan asteroid adalah cambuk yang kian menguatkan cinta kita.

Cheiza....
Kau tahu,  hanya tigabelas tahun Bapak menemaniku. Kau juga tahu selepas kepergiannya,  nasib mengharuskanku menghadapi debu haru hingga kini. Kegembiraan, semula kukira tak pernah kutemui lagi selepas ia pergi. Hingga pertemuanku denganmu lima tahun lalu. 

Cinta mengubahku, suram menjadi senyum, kelam menjadi dendang,  diam menjadi puisi,  dan duka menjadi cinta.  Cinta yang selama tiga tahun mampu kusembunyikan, meski akhirnya terucapkan di jelang perpisahan. Tak apalah, diucapkan lebih baik daripada dipendam. Aku tak mau seperti bang Salim yang hingga kini terus menahan rindu pada Mei Hwa, amoy cantik di kampung Tionghoa.

Cheiza......
Kalau kata orang cinta itu tak berlogika, hanya rasa, kini aku sudah merasakannya,  sedih!
Ruang waktu telah menjauhkan kita, ruang kata mengekangnya, dan ruang jiwa kian rapuh di perjalanannya. Cinta telah merubahku menjadi ceria, dan kini ia mengembalikanku menjadi bermuram durja. 

Cheiza...
Sayang diriku tak tahu ceritamu kini, hanya rekaanku kini dirimu tengah sibuk memegang buku di tepian Mahakam, mewujudkan mimpimu menjadi sarjana kehidupan. Pesut-pesut menari riang, bergemericik air beriak tenang, mungkin akan kian membahagianmu. Biduk, perahu,  sampan, dan nyanyian para nelayan akan meninabobokanmu, membuaimu memahami mimpi yang kian nyata : bersatu dalam mimpi yang belum berwujud !

Cheiza....
Wanita tadi kini sudah tak di hadapanku, ia telah pergi menembus merah senja. Kini,  hanya diriku sendiri disini. Kertas ini kembali menebus sebagian perjalanan rasaku, tumpah dalam kata tak bermakna seribu. Kertas yang kian hari kian memenuhi rasaku, terselip dalam beratus lembar rasa yang kian tak tuntas. Hanya kerinduan, ungkapan rasa itu kini kian membuncah memenuhi tulang jiwa. Aku kian lemah, maafkan.......


Affan Nur Aditya, lelaki bercahaya penuh cinta.
Rindukan Cheiza Alfinia,  burung merak yang tarikan cinta....."

 *****

Lima lembar kertas itu, kini kembali dilipat Affan, dilipat dan diselipkannya di di buku diary kehidupan, sampul merah muda, Cheiza yang menyampulnya.

Dihitungnya, tigapuluh lima surat sudah dibuatnya sejak Cheiza pergi meninggalkan kampung ini, pindah ke Tanjongpandan, dan kini meraih mimpi di Borneo. 

Affan, kian menghitung hari, penantian tiada tepi, asa tiada nyali, dan cinta tanpa nyata. Hanya bermain kata, hanya bertabur rasa, namun tetap hampa, tak berbalas. 
Membathin........

Jumat, 19 Juni 2015

Mengaji adalah Wujud Mengkaji Diri

Lidah kelu karena tak bertulang. Bibir bergetar laksana cibirkan pandangan. Huruf bertumpuk, ejaanpun berkerut.  Mata mengulir, namun tetap belum mampu tuaskan bunyi lurus, juga lirih.  Hanya keberanian, selanjutnya kemauanlah yang lebih utama.

****

Di Ramadhan ini, bukan hanya menahan lapar dan haus belaka, mengisinya dengan mengaji, jelaslah keutamaan diri. Sayangnya,  tidak juga diriku, dirimu, kita, juga mereka, kadang tak melancarkan lidah. Alhasil, huruf hijaiyah jadi kian bertumpuk, panjang pendek dibabat rata, tebal dan tipis tak berbeda,  dan semuanya berjalan terpotong-potong, mirip orang berjalan dengan bertongkat, begitu ujar Bapak puluhan tahun lalu. 

Qasrah, fathah, dhamma, iqlab, izhaar, ihfaa, semuanya dihajar sempurna. Sin dengan tsim, shod dengan dhod, tho dengan dzoo, rho dengan dzai, 'ain dengan ghain, faa dengan qhoof, baa dengan nun, semuanya sering dibunyikan sama, kadang terbolak-balik. 

Usia bukanlah acuan atas kefasihan kita, namun keteguhan kitalah yang menentukan.  Keteguhan untuk konsisten melatih diri, tentu tanpa paksaan, karena paksaan hanya ada pada masa lalu, meski dari kita ada yang menjadi salah satu contohnya,  fasih dan lancar membaca Al-Quran.

Bila dulu,  selepas ashar, kami para bujang kecil Melayu Belitong sudah bersarung dan menjunjung Al-Quran ke tempat pengajian, meski awalnya terpaksa dan berlinang airmata, namun airmata bahagia karena beberapa waktu kemudian bangga sebagai muslim karena kitab suci lancar dilafazkan. Tapi tentu saja bukan perkara mudah, sering sekali di awal cerita bibir harus bengkak dan luka karena dihajar sentilan lidi enau sepanjang duapuluh sentimeter. Merah,  panas, pedih,  jelas tiga kata yang sulit dicari padanannya.  

Apakah kami menuntut guru mengaji? Tentu tidak,  karena berkat caranya-lah kini kami bisa fasih dan lancar. Tak ada rasa sakit hati, dendam,  apalagi marah.  Malah di setiap kesempatan kami selalu berusaha memperbaiki diri. Salah itu hakikat manusia, kesempurnaan hanya milikNya, begitulah ucapan guru ngaji saat itu.

Akan halnya saat ini, belasan atau malah mungkin puluhan metode mengaji telah ditempuh. Adakah metode itu tepat? Semua kembali kepada kita masing-masing. 
Satu hal yang kufahami dan kuyakini "Lancar karena biasa". 
Bila membiasakan diri, maka fasih menjadi milik kita.

Saatnya sekarang kita mengecek dan memastikan lafaz, lancar dan fasih kita. Bahkan bukan hanya kita, sekarang saatnya kita juga mengecek, memastikan, dan melancarkan lafaz-fasih-lancar semua muslim terdekat dengan kita, mungkin istri,  suami, anak, saudara, sahabat, calon suami atau calon istri, bahkan juga orang tua kita.

Semoga esok hari kita makin baik daripada hari ini, agar kita tak menjadi orang yang merugi,  apalagi mengalami defisit transaksi berjalan. Amien.....

Kamis, 18 Juni 2015

Debu Ramadhan

Hari pertama :
"Debu itu mulai beterbangan, pelan namun pasti menyingkir dari hadapan, saksikan diri menumpahkan hati, jauhkan sanksi tambatkan nurani".

***

Begitulah kalimat yang empat tahun lalu kubuat saat Ramadhan mulai dijalani.  Kalimat demi kalimat yang pada akhirnya merangkai menjadi sebuah buku kehidupan "Syair Keranjang Pempang".

Kini,  empat tahun telah berlalu.  Ramadhan demi ramadhan telah kita lalui. Lapar demi lapar juga tak kalah seru mempertandingkan diri, karena ia wujudkan nafsu yang bila membesar kian tak mampu dihambakan.

Akan halnya perjalanan diri, ibarat langkah satu demi satu dijejakkan, begitu pulalah ramadhan demi ramadhan ditapakkan. Seperti yang dulu pernah kulakukan,  satu demi satu Syair Ramadhan tercipta di setiap waktu, temankan lapar dan kekangan nafsu diri, akhirnya berangkai menjadi nyanyian diri sepanjang hari. 

Begitu pulalah hendaknya kehidupan kita hari ini dan esok. Tak pernah ada hal yang berat, karena kita telah memudahkannya dengan pikiran. Bukankah puasa juga berarti mengelola pikiran? Bila pikiran dikelola dengan benar maka akan menentukan apa yang kita perbuat, dan apa yang kita perbuat menentukan apa yang kita dapatkan?. Juga bukankah akhir juga berarti awal, dan pikiran selalu diawali dengan hati. Puasa-lah yang akan melatih kita.

Pada akhirnya,  banyak debu kehidupan yang harus kita bersihkan. Puasa akan memastikan banyak debu itu beterbangan menjauhi diri, untuk kemudian memastikan diri kita terus dan tetap membersihkan diri dari banyak anasir negatif yang menyelimuti diri. Semoga......amien. 

Rabu, 17 Juni 2015

Happy Ramadhan : Semangkuk Sup Kegembiraan

Hujan.....
Bagi kami,  hujan adalah keberkahan. Bagi kami hujan adalah saatnya doa dipanjatkan. Bagi kami pula hujan adalah kelimpahruahan, the real abundance.

Di jelang mentari menutup hari, menampilkan hilal yang kami impikan, serentetan tetes melimpah ruah membasahi bumi. Sore ini, kenikmatan kian terasa,  meski sebagian tubuh terasa lelah karena lebih dari tigaratus kilometer dijalani, lima jam waktu dilewati. Sore ini, panas bumi beralih sejuk menikmat rasa,  tetesan demi tetesan kian menambah makna.

Bagi kami, sore ini adalah kegembiraan, tidak hanya kini, namun sejak puluhan tahun berlalu. Meski kampung kami kala itu bukanlah desa santri, namun tanah Belitong selalu menjadi tanah Melayu yang selalu bergembira menyambut Ramadhan.

Selalu banyak yang kami gembirakan di setiap Ramadhan,  tentu bukan hanya selalu diakhiri lebaran ketupat yang membahagiakan,  atau baju lebaran yang menyenangkan, juga beberapa buah koin seratus rupiah, namun lebih dari hal-hal ini.

Awal Ramadhan seperti ini, sore yang sama seperti sore puluhan tahun lalu, suara ayam itu masih nyata. Semangkuk sup ayam kampung, dari ayam yang telah dipelihara sejak selepas lebaran setahun sebelumnya,  jelas menu sahur pertama yang tak terbandingkan dengan apapun. Tak hanya ayam, beberapa potongan kentang, yang biasanya hanya kami dapatkan saat ada acara besar pernikahan orang kampung ternama, selalu dapat kami nikmati di sahur pertama ini. Borjuis kelas satu, begitulah yang sering diucapkan abangku. 

Kini, meski kentang tak tandai keborjuisan, untuk menikmati sup ayam tak perlu lagi kta bersusah payah memelihara ayam sejak selepas lebaran tahun sebelumnya,  tentu sahur pertama adalah kegembiraan.  Bukan hanya kegembiraan karena selama Ramadhan sebuah keluarga nampak utuh di meja makan,  atau karena Ramadhan selalu diakhiri dengan perayaan kegembiraan melawan pertarungan sepanjang bulan, namun juga karena Ramadhan adalah harapan atas banyak perjalanan kehidupan yang masih banyak debu dan lobang di dalam pikiran, perasaan, hati, dan perbuatan.

Selamat datang Ramadhan,  selamat datang kegembiraan,  meski semangkuk sup ayam mungkin tak kami nikmati di sahur pertama ini. 

Senin, 15 Juni 2015

MAAF

Aku berteriak
Iapun berteriak
Kami meledak
Bumi berputar tak pada porosnya
Merekah

Telanjang mata
Telanjang kata
Telanjang rasa
Maknapun terhambur

Tanam
Tabur
Tuai
Tiga serangkai berbalas nyata

Luka
Nyata
Airmata menutup sempurna


Hanya satu kata
MAAF

Minggu, 14 Juni 2015

Catwalk Impian

Putaran waktu adalah putaran semangat merentak mimpi, satu persatu, langkah demi langkah, tatap mimpi jadikan impian. Hanya sederet kata, selanjutnya irama mengiringi tandakan wujud kian menetap.

Belumlah sehari, jelas Bintang,  lelaki kecil di tangga gedung kursus Bahasa Inggris masih jelas di mata. Bukan hanya ujaran, namun juga tatap matanya. Kini, beberapa lelaki sebaya, berjalan gagah di catwalk. Senyum ramah kian kemari,  berbaju indah berbalut songket berwarna-warni. Beberapa wanita, tak hanya yang sebaya, namun juga usia pra sekolah yang idealnya belumlah dieksploitasi, apalagi didoktrinisasi untuk menjadi pemenang atas lomba yang belumlah tepat untuk anak-anak seusianya yang identik dengan dunia bermain. 

Lantas, bagaimana dengan Bintang? 
Saat kutanya kemaren sore, " Idemu sendiri untuk membantu ibu dengan menjual kue?".
"Ibu memintaku untuk membantunya menjual kue," jawabnya. 

Bintang, beberapa lelaki gagah yang sedang berjalan di catwalk, dan banyak wanita dari pra sekolah hingga yang sudah remaja di catwalk yang sama, mungkin dari mereka ada yang hadir dan melakoni hidup bukan karena keinginan, namun karena ketiadaan pilihan untuk mewujudkan mimpi. Mungkin ada juga dari mereka yang ingin mundur dari lakon ini, menikmati masa bermain bersama alam yang sesungguhnya tetap ramah dan mematangkan diri. Alam terkembang adalah pelajaran kehidupan yang tiada berbatas, melimpahruah.

Ahh....sudahlah.  Terlalu banyak rahasia alam yang tak mampu kita ungkapkan, apalagi jalan pikiran dan impian yang ingin mereka wujudkan. Bukankah apa yang dipikirkan akan menentukan apa yang dilakukan, dan akhirnya menentukan apa yang didapatkan, see - do - get.

Lenggang lenggok lima penari, berbaju indah tampakkan kemewahan, lentik jemari tandakan kelemahlembutan, kini menari indah di hadapan, Gending Sriwijaya. 
Lebih baik nikmati keindahan di hadapan, bukankah keindahan adalah muara kebahagiaan?  Mungkin keindahan ini pulalah yang hendak mereka cari di atas catwalk ini. 

Akan halnya sang Bintang,  mungkin duduk di tangga sambil menjajakan kue, memandang lalu lalang di jalan, dan mendengar tawa ceria banyak anak kecil seusianya yang bercerita tentang kursus mereka, mungkin inilah catwalk kebahagiaan yang ingin dicipta dan dirasa. 

Bukankah kue yang dijajakan Bintang enak dipandang, juga dimakan, dan mengenyangkan?
Sayang, untuk yang satu ini belumlah diwujudkan, karena kemaren sore hanya obrolan kecil saja, saking menyenangkan sampai kuenya lupa dinikmati, habis tak bersisa.

Sabtu, 13 Juni 2015

Namaku Bintang

Lelaki kecil itu, duduk teguh di tangga berdebu. Tak bersila ia, kakinya hanya dijulurkan, di antara banyak langkah kaki anak muda yang nyaris sebaya dirinya. Tajam tatapnya, wujudkan ia bukan lelaki biasa, namun lelaki muda penuh gelora asa. Biru dan kuning jelas bukan bendera, karena pakaiannya tetaplah kebanggaan yang dimilikinya. Tak serapi, seindah dan serasi banyak lelaki sebaya yang melintasinya, namun keringat bercucuran jelaskan semangat yang ia punya.

Seorang ibu, dengan penuh rasa ingin tahu,  menghampirinya.  
"Apa yang kau jual nak?"

"Kue buatan ibu," begitu jawabnya. 

"Ibumu? Semua ini buatan ibumu?," tanyanya lagi.

"Betul bu, ini buatan ibuku. Delapan ribu rupiah"

"Bukan lima ribu nak?"

"Bukan bu, kata ibu kalau limaribu empat buah,  kami tak bisa membeli beras malam ini".

Baru saja ibu itu memulai cerita, seorang lelaki jelang paruh baya menghampiri lelaki muda itu, anak kecil berbinar asa.
"Ini kue yang kau jual? Berapa? ".

"Delapan ribu bapak, kata ibu tak bisa dijual limaribu".

Tak banyak bicara, lelaki jelang paruh baya itu merogoh kantongnya. 

"Ini untukmu, simpanlah. Untuk beli beras malam ini," rupanya ia tadi mendengar pembicaraan ibu tadi.

"Terima kasih pak, tapi kata ibu kami tak boleh menerima uang cuma-cuma dari siapapun. Ambillah beberapa buah kue ini pak".

Tak bicara apapun, lelaki paruh baya tadi mengambil sebungkus. Delapan ribu,  jelas nominal yang ia tahu. Tak sepadan dengan uang yang ia beri, namun keikhlasan tentulah nilai yang tak kan pernah berbanding dengan apapun.


Akal halnya sang ibu, wanita yang tadi menghampirinya,  kini duduk di sebelahnya.  Telah ia lupakan mahalnya baju merah muda yang menutupi diri, juga ia lupakan tangga berdebu yang menghadap ke jalan besar yang terhampar di hadapannya,  juga kebisingan lalu lalang yang mengolah kesabaran. Ia putuskan untuk duduk mendampingi,  mengapit kotak kue di antara mereka.

Tiga wanita remaja, yang semula duduk di sebelahku, berbisik sesama lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Tiga lembar uang sepuluh ribuan, tiga menit kemudian, berganti tiga bungkus kue. Tak kulihat ada kembalian di tangan, hanya kulihat tolakan tangan saat lelaki kecil itu memegang enamribu rupiah di tangan. Tangan kanan memberi, tangan kiri tak mengetahui, tandakan sedekah keikhlasan yang paling utama.

Akan halnya diriku, semua pemandangan adalah makna mendalam. Kunikmati beberapa menit ke depan, sejuknya selasar sebuah les Bahasa Inggris, kian berlimpah dengan kesejukan cerita kecil sang lelaki kecil ini. 

Ia memang tidak lusuh sebagaimana lelaki kecil yang sering kita lihat membawa kotak kardus atau kaleng tabungan dengan menadahkan tangan. Ia juga tidak diam saat diajak bicara. Dan ia juga bukankah lelaki kecil yang tidak bisa membaca dan tak punya cita-cita. 

Ia adalah bintang, lelaki yang berharap dapat memenuhi keindahan malam di angkasa tiada berbatas.  Mendampingi terangnya bulan purnama, juga memberikan kegembiraan kala bulan telah ke peraduan. Kerlip matanya adalah kerlip bintang nan sungguh tajam, lancar ujarannya laksana hujaman cahaya bintang ke bumi di gelap malam, dan simpuh duduknya tandakan kaffahnya pada Sang Penguasa Alam.

Pelan, sepuluh langkah kuhitung, dan pintu kaca dibuka.
"Siapa namamu nak?"

"Namaku Bintang pak".



Jumat, 12 Juni 2015

Kepakkan dan Terbanglah

"Apa yang anda perlukan hanya menggenggam nyali dan mengepakkan sayap, terus terbang. 
Bersiap-siaplah untuk keluar keringat,  tenaga,  dan pikiran...."
(Raise You Up, Hendrik Lim).
***

Kala kita masih kecil, tentu pernah ditanya tentang cita-cita. Jawaban kita : hari ini ingin jadi pilot, besok dokter, lusa insinyur, minggu depan pengusaha, bulan depan presiden, lalu kemudian menteri, hingga akhirnya terus berganti nyaris tiada pernah berhenti. 

Sekilas nampak seperti orang yang labil, tak punya pendirian. Namun jelas sangat dimaklumi, karena saat itu kita masih kecil, masih mencari sosok ideal, mencari dan menemukan hal-hal indah. Pergiliran cita-cita adalah pergiliran mimpi demi mimpi, pergiliran cita-cita juga berarti pergiliran sosok demi sosok, dan pergiliran cita-cita bermakna pergiliran pemikiran demi pemikiran. Tak pernah ada yang abadi, karena manusia selalu melakukan perubahan demi perubahan. Hakikatnya : amati, lalu tiru, akhirnya modifikasi.

Bekerjapun demikian. Saat masih sekolah, kita ingin segera lulus, kemudian mendapat pekerjaan. Meski sebagian merasa sulit untuk memulai menulis lamaran, mendatangi beberapa event job carier, pada akhirnya lamaranpun dikirimkan,  meski kadang profesi yang dimaksudkan belumlah kita mengerti. 

Setelah lamaran diterima, interview diikuti,  psikotest dan sejumlah test dituntaskan, hari pertama bekerja akhirnya tiba juga. 
"Hore....hari ini aku mulai bekerja," teriak beberapa dari kita saat itu. Bahkan kadang ada yang sudah bercerita ceria jauh sebelum hari pertama itu tiba. Kegembiraan, jelas luar biasa. Mimpi demi mimpi mulai menampakkan masanya. Bahkan rencana melamar sang pemilik cinta sudah diperkirakan,  menikahinya, sebentuk rumah mungil bercat merah muda, juga teriakan beberapa orang anak kecil kian nyata. Wuihhh......bahagianya!

Dua hal di atas, bagi beberapa orang mirip seperti menulis. Saat kita menanyakan pada diri sendiri atau saat ditanya orang lain tentang apa yang ingin kita tulis, entah beberapa kali hingga puluhan atau ratusan kali berubah. Awalnya novel cinta, lalu novel kehidupan, kemudian novel filsafat, bahkan novel bergenre ala detektif, dan kadang novel imajinatif masa depan.  Bahkan tak jarang, awalnya novel dan berakhir dengan buku resep saja. 

Lantas ada hal yang salah dan tidak tepat?
Cita-cita memang sering berubah, menulispun juga demikian.  Bahkan bukan hal yang aneh bila baru menulis sebaris kalimat, bentuk buku sudah berwujud,  meski masih berupa mimpi. Ada yang menjadi nyata,  namun lebih banyak yang hanya mimpi semata. Laksana cita-cita, hanya digantungkan di langit-langit, selanjutnya hanya keajaiban yang akan mewujudkannya. 

Satu hal yang kita ketahui : memulai adalah kesulitan terbesar yang harus dihancurkan. Bukankah ribuan mil selalu diawali dari langkah pertama? Juga bukankah ribuan halaman buku selalu diawali dari huruf pertama? 

Bila langkah sudah dimulai, bersiaplah menghadapi rasa malas, rasa takut,  dan langkah berat. Namun bagi beberapa orang hal ini tidaklah menjadi masalah utama, karena langkah pertama sudah terlaksana,  dan tembok penghalang telah dibuka. Hanya butuh satu password : ikuti langkah jari ini! Maka keringat,  tenaga, dan pikiran akan mencapai wujudnya dengan sangat luar biasa.

Kamis, 11 Juni 2015

Generasi Impian adalah Generasi Kebanggaan di Masanya

- Kami generasi yang ngantri di warnet dari jam 5 pagi, berkirim surat dan menanti surat balasan dengan rindu -

***
Cuplikan kalimat di atas, beberapa hari lalu tertulis nyata dalam sebuah media sosial. Cukup panjang tulisannya, sangat menarik, dan menguliti rasa. Bukan hanya karena rangkaian kata, namun karena beberapa dari kita mewakili angkatan yang disebutkan olehnya : generasi 70 - 90an, generasi yang menurut penelitian beberapa Psikolog adalah generasi bahagia. 

Beda masa, beda generasi, beda pula kegembiraan dan cara menikmatinya. Masa lalu jelas adalah kenangan, terlepas berasa indah atau malah pahit tiada terkira, tetap tak terkatakan kebahagiaannya. Indah berasa manis, dan pahitpun akan berasa manis pada saatnya,  karena selepas pahit akan ada manis menanti.

Berkirim surat, menanti balasannya, belum diterimapun hati sudah berbunga. "Kau kirim hari selasa, kubalas hari jumat" begitulah yang pernah kubaca surat cinta berbulu monyet dari seorang sahabat kala celana biru belumlah lepas. Bukan surat cinta untukku, namun surat cinta untuk sahabat sebangku, juara kelas nomor satu. 

Surat yang selayaknya hanya dibaca oleh sang empunya jiwa, surat warna warni berlipat baju kemeja lengkap sempurna, wanginyapun menakjubkan luar biasa. Namun kegembiraan adalah kegembiraan, meski akibatnya lapangan terbuka menanti lembar demi lembar itu yang terkadang tidak hanya ditempelkan di tiang bendera, malah kadang dikibarkan layaknya sang bendera. Rasa malu? Jelas ada, namun kegembiraan melebihi ruang rasa, pengakuan atas kedewaasaanlah yang lebih utama. Bercelana pendek warna biru, kini telah terbantahkan dengan keriuhan tawa dan canda mereka semua. 
"Kini aku sudah bujang ayam" begitulah pengakuan yang diharapkannya.

Kurang dari sepuluh tahun ke depan, pak pos selalu menjadi sahabat bahagia. Kerincingan belnya selalu dinanti,  surat diterima, rasapun lega. Cukup sederet kalimat bertulis "Ayahanda dan ibundamu sehat-sehat saja, semoga ananda juga selayaknya kami semua", maka kalimat selanjutnya bukanlah kalimat utama, meski kadang bulir airmata harus dipanjangkan lebih lama. Bukan karena kerinduan pada kampung, hidangan yang selalu tersedia di jelang makan, para lelaki yang berjalan riang berkain sarung menuju mesjid, namun karena tertulis di kalimat akhirnya "Maafkan kami yang belum dapat mengirimkan uang saat ini, harap memaklumi keadaan saat ini".

Alhasil, lagu Obbie Mesakh-pun akhirnya kembali berubah :
    Malu aku malu
    Pada semut merah
    Yang berbaris di dinding
    Menaruhku curiga
    Seakan mau bertanya
    Sedang apa disana
    Menunggu wesel jawabnya....

Indah,  semua terasa indah pada zamannya. Kenangan adalah sejarah kehidupan yang tak terlupakan. Semua indah pada akhirnya,  meski ruang duka sering lebih lebar dan berputar nyata. Hanya kekuatan, selanjutnya doa. Kekuatan untuk merubah cara dan jalan hidup, cangkul dan parang berganti pena, tanah berhampar berganti layar komputer. Sepatu karet berganti sepatu kulit, baju bertampal berganti baju berlogo gambar, dan minyak kelapa berganti gel rambut.

Kita adalah apa kita pikirkan, meski beda generasi, namun kebahagiaanlah yang menjadi tujuan kita. Bila kita berpikir bahagia, maka kebahagiaan itu akan nyata. Tak harus hari ini, bisa esok, lusa, atau di puluhan, ratusan hingga ribuan hari di muka.