Lelaki kecil itu, duduk teguh di tangga berdebu. Tak bersila ia, kakinya hanya dijulurkan, di antara banyak langkah kaki anak muda yang nyaris sebaya dirinya. Tajam tatapnya, wujudkan ia bukan lelaki biasa, namun lelaki muda penuh gelora asa. Biru dan kuning jelas bukan bendera, karena pakaiannya tetaplah kebanggaan yang dimilikinya. Tak serapi, seindah dan serasi banyak lelaki sebaya yang melintasinya, namun keringat bercucuran jelaskan semangat yang ia punya.
Seorang ibu, dengan penuh rasa ingin tahu, menghampirinya.
"Apa yang kau jual nak?"
"Kue buatan ibu," begitu jawabnya.
"Ibumu? Semua ini buatan ibumu?," tanyanya lagi.
"Betul bu, ini buatan ibuku. Delapan ribu rupiah"
"Bukan lima ribu nak?"
"Bukan bu, kata ibu kalau limaribu empat buah, kami tak bisa membeli beras malam ini".
Baru saja ibu itu memulai cerita, seorang lelaki jelang paruh baya menghampiri lelaki muda itu, anak kecil berbinar asa.
"Ini kue yang kau jual? Berapa? ".
"Delapan ribu bapak, kata ibu tak bisa dijual limaribu".
Tak banyak bicara, lelaki jelang paruh baya itu merogoh kantongnya.
"Ini untukmu, simpanlah. Untuk beli beras malam ini," rupanya ia tadi mendengar pembicaraan ibu tadi.
"Terima kasih pak, tapi kata ibu kami tak boleh menerima uang cuma-cuma dari siapapun. Ambillah beberapa buah kue ini pak".
Tak bicara apapun, lelaki paruh baya tadi mengambil sebungkus. Delapan ribu, jelas nominal yang ia tahu. Tak sepadan dengan uang yang ia beri, namun keikhlasan tentulah nilai yang tak kan pernah berbanding dengan apapun.
Akal halnya sang ibu, wanita yang tadi menghampirinya, kini duduk di sebelahnya. Telah ia lupakan mahalnya baju merah muda yang menutupi diri, juga ia lupakan tangga berdebu yang menghadap ke jalan besar yang terhampar di hadapannya, juga kebisingan lalu lalang yang mengolah kesabaran. Ia putuskan untuk duduk mendampingi, mengapit kotak kue di antara mereka.
Tiga wanita remaja, yang semula duduk di sebelahku, berbisik sesama lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Tiga lembar uang sepuluh ribuan, tiga menit kemudian, berganti tiga bungkus kue. Tak kulihat ada kembalian di tangan, hanya kulihat tolakan tangan saat lelaki kecil itu memegang enamribu rupiah di tangan. Tangan kanan memberi, tangan kiri tak mengetahui, tandakan sedekah keikhlasan yang paling utama.
Akan halnya diriku, semua pemandangan adalah makna mendalam. Kunikmati beberapa menit ke depan, sejuknya selasar sebuah les Bahasa Inggris, kian berlimpah dengan kesejukan cerita kecil sang lelaki kecil ini.
Ia memang tidak lusuh sebagaimana lelaki kecil yang sering kita lihat membawa kotak kardus atau kaleng tabungan dengan menadahkan tangan. Ia juga tidak diam saat diajak bicara. Dan ia juga bukankah lelaki kecil yang tidak bisa membaca dan tak punya cita-cita.
Ia adalah bintang, lelaki yang berharap dapat memenuhi keindahan malam di angkasa tiada berbatas. Mendampingi terangnya bulan purnama, juga memberikan kegembiraan kala bulan telah ke peraduan. Kerlip matanya adalah kerlip bintang nan sungguh tajam, lancar ujarannya laksana hujaman cahaya bintang ke bumi di gelap malam, dan simpuh duduknya tandakan kaffahnya pada Sang Penguasa Alam.
Pelan, sepuluh langkah kuhitung, dan pintu kaca dibuka.
"Siapa namamu nak?"
"Namaku Bintang pak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar