Kumandang azan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Suara kokok ayampun mulai bersahutan, sementara selimutpun makin tertutup rapat menutupi tubuh-tubuh kedinginan dan mengabaikan panggilan Illahi. Namun jauh sebelum semua itu terjadi, seorang ibu sudah demikian sibuknya mempersiapkan kue-kue untuk dijual keliling kampung esok pagi, juga untuk bekal anaknya ke sekolah setiap hari.
Ibu, wanita luar biasa dalam kehidupan, karomah tiada tergantikan. Ia selalu bangun lebih awal, mengisi hari lebih banyak, menjalani mimpi hingga tak lagi fantasi, dan menandai giliran hari lebih lama. Lebih dulu bangun, namun paling terakhir meluruskan badan.
Sejak setahun yang lalu, beberapa bujang Belitong kian serius menapak hari. Puluhan kilometer mereka beradu, mencipta nasib sejak subuh menjelang. Bukan hanya mereka, tujuhbelas lelaki perkasa bergayut asa, bukan pula sejak setahun lalu. Tiga tahun sebelumnya, sejak Sekolah Menengah Atas itu didirikan, yang konon kabarnya dulunya adalah pekuburan Tionghoa di sebagian lahannya, sudah ada belasan lelaki yang sama mengayuh sepeda berpuluh kilometer. Berangkat selepas subuh, dan tiba kembali di rumah selepas ashar. Tak ada yang luar biasa, karena apresiasi kehidupan bukanlah gelaran kecabaran dijemput masa, namun jelas tebaran rasa mencipta makna.
Ribuan obsesi cerita dan rasa telah dipergelarkan, ribuan makna telah diperdebatkan, dan ribuan mimpi kian nyata berwujud di sepanjang cita. Bahkan kadang cintapun bergelayut di hati yang berlabuh masa. Cinta di sepenggalan rasa, jelas adalah cinta bertuai mimpi di ujung masa. Kesamaan adalah ciri keindahan dalam perkataan, logika menebalkannya, dan mimpi memantapkannya.
"Kami mengayuh sepeda berpuluh kilometer bukan karena tak mau, namun indah berpaling di kemudian hari adalah kesakitan yang kami hindari," begitulah ujar salah seorang dari mereka.
Dua setengah jam berlalu, keringat menetes tiada berpandu, lunas beruas di pori-pori berpadu. Batas sekolah menunggu, gerbang putihnya bergores merah kibarkan nasionalisme.
"Kalian terlambat lagi, kumaklumi karena kalian bangun lebih awal dari mereka. Selalu jadilah lelaki Belitong yang luar biasa, tanah ini menunggu karya baktimu di sepanjang hari. Memang bukan hari ini, namun di ribuan hari mendatang. Aku bangga ada di Belitong, meski bukan lahir di tanah ini, namun akhir hidupmu mungkin direncanakan Tuhan di tempat ini," ujar lelaki Batak itu, salah satu lelaki terhebat yang pernah kukenal, lelaki yang mendidik kehalusan tata bahasa, juga yang menebalkan keyakinan diri. Tak jarang pada berbagai kesempatan beliau bercerita tentang banyak tokoh hebat yang semasa kecil dan remaja belum bernasib baik karena lahir dari keluarga yang banyak keterbatasan. Keterbatasan yang bagi sebagian orang merupakan hambatan, namun sebaliknya bagi mereka yang lain justru bermakna kesempatan.
Tiba di kelas, sahabat sebangku tersenyum dan berujar,"Mantap kawan, kita berawal sama, menjalani bersama, dan mungkin akan berakhir sama. Kancah kehidupan adalah ladang perbuatan dan bakti kita. Tak berayah bukan berarti diriku tak mengayomi, tak berayah bukan berarti diriku tak memahami, dan tak berayah bukan berarti diriku tak menyadari. Esok sejarah akan kita catat, tanah mimpi itu ada di sini, bumi Belitong yang kita cintai".
Kutoleh sebentar, dan kuyakini bahwa suatu saat iapun akan menjadi lelaki luar biasa di perjalanan hari. Ketertarikan pada politik praktis jelas akan menghantarkannya menjejak hari, dan ilmu pertanian akan memperkaya penghidupannya. Multi dimensi rasa, juga multi talenta kata kian bermakna. Tidak hanya ia, juga beberapa dari mereka di kelas ini, bahkan sang trouble maker sekalipun akan menjejak kebengalan dirinya untuk berpadu dalam banyak sinergi kehidupan mencipta makna. Maju dan menceburkan diri, Inilah salah satu cara yang kusendiri tak mampu memahami hingga menjadi politisi kumaknai dari mereka yang telah menyelami.
--bagian 1 (bersambung)----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar