"Aku kecewa, jadi aku mau keluar saja dari situasi ini. Sudah habis kesabaranku, tak ada yang dapat kuandalkan lagi disini", begitulah ucapan seorang sahabat selepas mengikuti sebuah sesi training bertema Achievement Motivation Training.
Aku tersenyum lalu berkata,"Maaf kawan, sudah kau pertimbangkan matang keputusanmu? Sangat tak mudah memutuskan, apalagi untuk kita yang sudah cukup lama bergelut di situasi yang sama sejak beberapa tahun yang lalu".
"Sudah....sudah kuputuskan, sekarang aku tak mau lagi kecewa dua kali. Cukup sekali ini saja, sakitnya tuh disini," ucapnya.
"Ya sudah, kalau memang sudah diputuskan, sebagai teman tentu saja tak ada yang dapat kulakukan selain terus menyemangati dirimu. Aku tak bisa menahanmu lebih lama lagi disini".
"Loh, koq hanya begitu? Apa ditahan dulu diriku. Bukankah prestasiku selama ini bagus, baru tahun ini saja yang terpuruk. Itupun karena faktor eksternal yang demikian berat, bukan karena faktor internalku," ujarnya dengan nada meninggi, protes!
***
Kecewa, situasi dimana hati dan pikiran mengalami gangguan atau distorsi, dampaknya jelas akan melemahkan keinginan-keinginan positif yang ada dalam diri. Perasaan yang bila terus dipelihara untuk jangka waktu yang lama, tentunya akan memunculkan banyak keinginan negatif. Bukan hanya menggerutu, menyalahkan situasi, juga menyalahkan orang lain. Waktu yang terasa sia-sia, perjuangan yang kandas, bahkan hingga persahabatan yang terancam remuk di perjalanan.
Pertanyaannya : mengapa kita kecewa?
Sederhana jawabannya : karena tidak tercapainya harapan yang kita inginkan. Kenyataan bicara lain, harapan akhirnya tetap tergantung di awang-awang mimpi. Ia tetaplah mimpi, ekspektasi yang tidak berwujud di sepenggalan harap diri.
Benarkah sesederhana itu?
Tentu saja tidak, karena bila sesederhana itu maka solusinya hanya ada 2 hal : turunkan ekspektasi, atau terima kenyataan.
Namun proses di dalamnyalah yang penting, karena akibat kecewa sering menimbulkan banyak gejolak diri : iri pada sukses orang lain, tidak bisa menerima sukses orang lain, tidak siap menerima perubahan, dan sering menilai diri sendiri lebih tinggi, lebih baik, dan lebih mulia dari orang lain.
Pada akhirnya, sikap inilah yang akan merugikan diri sendiri, juga orang lain.
Bila kecewa, kita tak bahagia.
Bila kecewa, kita tak mampu berpikir jernih.
Bila kecewa, batin kita merasa tertekan.
Bila kecewa, hati kita merasa tersiksa.
Bila kecewa, harapan kita menjadi pupus.
Bila kecewa, kesedihan kita kian menjelma.
Sebatas itukah?
Jelas tidak, karena kekecewaan akan berpengaruh pada lingkungan sekitar kita.
Bila kecewa, akan makin banyak orang yang dirugikan.
Bila kecewa, komunikasi menjadi rusak.
Bila kecewa, kerjasama makin sulit dilakukan.
Bila kecewa, organisasi menjadi rugi.
Bila kecewa, meruntuhkan dan menghancurkan semangat kerja.
Bila kecewa, kita akan menjadi provokator, juga trouble maker.
Lantas harus bagaimana mengelolanya?
Sederhanakan saja : hindari, dan bila muncul maka kelola dengan meredammya.
Jangan ingkari kekecewaan, karena rasa kecewa itu manusiawi, tanda masih menyatunya raga, pikiran, dan jiwa.
Syukuri saja.....
Karena kecewa.....
Kita sadar atas banyak keterbatasan.
Kita harus menjadi lebih baik dari sebelumya
Kita memimpikan hal yang nyata dan realistis.
Kita mensyukuri kehidupan.
Kita menghargai kehidupan.
Kita berusaha memahami hikmah di baliknya.
Kita berusaha memperkecil rasa iri dan serakah.
Kita memahami sifat dan karakter orang di sekeliling kita.
Kita meyakini Tuhan adalah sebaik-baik perencana.
Pada akhirnya....
"Lakukan bagianmu semampu yang kamu bisa, selanjutnya biarkan Tuhan yang melakukan bagian yang kamu tidak bisa".
"Lakukan bagianmu semampu yang kamu bisa, selanjutnya biarkan Tuhan yang melakukan bagian yang kamu tidak bisa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar