Selasa, 14 April 2015

Aku Menjadi Saksi Atas Perjalanan Mereka

Satu : Subuh Januari Tujuh Puluh Enam....
Ringkuk rendam selimut embun, nyawa bertali terbitkan dengkur, kalong bersahut rebahkan rambutan di ujung ranting, dan denyut berderit kereta angin merebahkan aspal bernalar hitam.

Lelaki muda itu, berteriak nyaring lantunkan panggilan nurani makhluk beragama, muda usianya namun tak usikkan dewasa nalar yang telah dipunya. sesubuh ini, telah langkahkan kaki ke perempatan tua di kaki Kompleks Timah bermozaik nyanyian Kompeni. Belah gelap bersemangat tegap, ratakan wajah sederet tampahan bumi, dan tatapkan tengadah wujudkan mimpi bernurani negeri.

Lelaki muda itu, bertanda hitam di sudut bibirnya. Tampakkan wajah nyala berlogika, tuturkan rasa untuk jelajah negeri Melayu, hingga menarikan sakura di dalam mimpinya. Siapa kira di belakang hari, mimpi berwujud layakkan diri di hadapan hari. Bertutur makna di sepanjang negeri, bertasbih kata tegakkan hati, dan goreskan ketegasan hitam dan abu-abu. Ia kini kian berpunya, nalar berlogika karunia Ilahi, dan memandu jalan di banyak negeri.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya, di suatu subuh ia menuturkannya. Embun berselimut, daun basah dan tak bergoyang, karena angin daratan sudah beristirahat di ujung Pantai Keramat. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Dua : Terik Mentari Agustus Delapan Puluh Enam
Kata bertebar, nyanyi melebar, nalar menghambur, mimpi berkabur, dan rindu menghibur. 

Lelaki itu, tak pernah habisnya tebarkan mimpi di tujuh belas kilometer terik mentari. Derik rantai kereta angin kian tak berminyak berkrisis timah di sepuluh bulan penghujung bulan. Keringat berair, angin berkelok, dan debu menggeliat tak juga hamburkan ia dari mimpi siang berkarut malam. Entah, tak pernah kupikirkan makna tuaian kata yang terhambur dari mulutnya yang berkosa kata. Gelak ceria para lelaki muda lainnya, kian nampakkan para penari kehidupan yang tak pernah tahu rahasia cerita di penghujung usia. 

Lelaki itu, belasan tahun tak kudengar ceria. Sua hanyalah rentak jiwa pengembara yang tak pernah tahu akan kembali ke titik awal perjalanan diri. Destinasipun tak pernah terhamburkan, meski pada akhirnya terungkap dalam tebaran cerita berseri nyata. Ia, bukanlah pemimpi di akhir makna. Ia, bukanlah lelaki tak berencana. Iapun juga bukanlah lelaki tak hadap kuasa.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya. Di terik mentari Agustus kami menari bersama berderik rantai kereta sepanjang tujuh belas kilometer melumat aspal hitam berbalut debu syak wasangka. Ribuan tetes keringat berhampar hingga ke puncak Gunung Selumar. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Tiga : Dhuha Mei Delapan Puluh Delapan
Sekumpulan lelaki, bersarung mimpi, menyelimut mimpi, dan berjejer diri menghadap mentari. Mereka, menyodorkan tangan bertampah semangat, menepuk dada jauhkan sifat, dan usapkan kepala bertepung harap.

Mereka, lelaki Melayu harapkan manfaat. Berkumpul sifat untuk wujudkan manfaat, menari logika hancurkan mudharat, dan jalani tapak di sepanjang mentari menerik. Air sekaki, mata berair beratus hari, mulut mengering di penghujung hari, dan cacing bercerita kian menjadi. Hanya toga, selebihnya hanyalah harap sekembali ke negeri. Naikkan derajat, bukan untuk menjadi penghulu negeri, namun lebih karena harap tebarkan manfaat di seluruh negeri.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanan mereka. Di Dhuha Mei Delapan Puluh Delapan diriku ikut bersama menjadi saksi mereka. Darmapala menghantar, langit menebar, tadah berwujud, dan negeripun mengamini. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Empat : Sore Mei Dua Ribu Sepuluh
Lelaki itu, bertabur sifat Melayu Negeri, turuni tahta tebarkan cerita. Bijak bernegeri ia haturkan, cerita bari ia tuturkan, misteri wanita Tionghoa kian terkuakkan.

Cerita berpuluh minggu mencari, tautkan perjalanan wanita bari, lidah bertutur menguakkan rangkaian tanya perjalanan, hingga cadas dan pedas berkumpul di sebongkah makna bertumpuk narasi. Ia yang menuturkan, angin sepoi di penghujung sore, bukan promosi rasa, namun hanya bertautkan makna di sebilah misteri bagi mereka yang mau menembus makna. Gunung Petebu di semayamkan, ujaran sekampung telah kudengar sejak kelopak mata mulai dikobarkan.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya. Di sore Mei Dua Ribu Sepuluh diriku ikut menikmati maknanya. Makna yang kian tegas hingga kujumpa di sepenggal tanah kehidupannya. Palembang menghantar, Pangkalpinang menebar, Tanjungpandan menegakkan, dan Pasundan kian menajamkan. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Lima : Sepuluh Hari April Dua Ribu Limabelas
Lelaki itu, nalarkan rasa bertuaikan kata di sebiduk puisi. Berbiduk nyali membelah buih di langit hari. Kuakkan nyali turunan pengembara di sepanjang laut Cina Selatan.

Puisi, rangkaian rencana hati dan harapan diri. Goreskan rasa berkilas kata, di sehadapan diri ia ungkapkan cerita yang tak berwujud nyata. Di sebilah rasa, rindu menjelma untuk rindukan mereka. Sauh diangkat untuk menjelajah laut, negeri berpantun menghadap nyata. Pasir mengalir, batu menegak, dan suar membenam. 

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya. Di sepuluh hari April Duaribu Limabelas diriku ikut menjalaninya. Makna rasa yang kian tegas, dan misteri cerita di seonggok tanah yang belum pernah kita jumpa. Lanun Bersaudara, turunan kelima, kita berhak menguakkan cerita. Keranjang Pempang akan menuturkannya, Tapak Jiwa akan menghaturkannya, dan Sebilah Biduk Negeri akan menghiasi.

Aku menjadi saksi atas sebagian perjalanan mereka. Bukan hanya satu, dua, tiga, ataupun empat. Bilangan kepala bukanlah bilangan makna, deret hitung jelas bukanlah deret ukur. Kata berlurus jadikan kalimat, bersebut jiwa dalam makna berlogika, hingga tautan kata bersampir nyawa di sepanjang rasa.

*****
sumber gambar : susiana-manisih.blogspot.com
"Tulisan kecil untuk beberapa orang Putra Terbaik Negeri Belitong yang kini menebarkan makna di sepanjang sisa usia, terima kasih karena telah memberiku kesempatan menjadi salah satu saksi dari perjalanan kehidupan mereka yang sangat luar biasa"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar