Bintang, lelaki kecil yang pernah kutuliskan beberapa hari lalu, sore ini kembali kulihat ia mengitari tempat kursus Bahasa Inggris itu. Bila minggu lalu, ia duduk di anak tangga ke sebelas, kini menyambangi beberapa pengendara yang lewat di dekatnya, bukan karena anak tangga itu terlarang untuknya, namun karena tak ada siapapun yang melewatinya, kursus tutup hingga akhir bulan ini.
Kulihat, beberapa pengendara menyodorkan uang sepuluh ribuan, tak menuntut kembali, sebungkus penganan berpindah tangan, dua ribu jadikan amal tiada berhitung : tangan kanan memberi, tangan kiri berusaha tidak tahu, ikhlas.
Namun bukan keikhlasan itu yang ingin kutuliskan, bukan karena tak menarik, namun karena ikhlas sudah terlalu sering berulang diujarkan layaknya repetisi yang kian membathin.
Pada suatu waktu yang berbeda, seorang lelaki di jelang senja, berjalan tertatih menembus senja. Bungkuk tubuhnya, diseret kakinya, tongkat rotan kian tak mampu menopang rapuhnya tulang. Sebuah tas plastik menggantung di ujung tongkatnya, beberapa ikat kangkung isinya, tak lebih dari tujuh ikat, empat belas ribu rupiah.
Seorang Bapak, hampir setengah abad, mendekatinya, menjulurkan tangan, menyalami dan mengatakan, "Ini untuk kakek".
Selembar uang duapuluh ribuan berpindah tangan, namun kakek kemudian berkata," Jangan kau tolak sedekahku juga."
Tujuh ikat kangkung berpindah tangan, tak mampu ditolak lelaki nyaris setengah abad.
Pada minggu yang sama, seorang wanita muda menghampiri lelaki menapak usia kepala empat, ia tersenyum, sang lelaki itu ikut senyum saat menerima ucapan salam dari wanita muda nan cantik jelita, tiada terbilangkan, nalurinya bergerak sempurna.
"Maaf pak, saya karyawan baru, di telepon HRD sabtu kemaren, senin mulai bergabung di Perusahaan ini," ucapnya.
Lelaki itu tersenyum, ramah, dan bersikap terbuka. Dilupakannya sesaat jabatan yang ia punya, pandangannya nyaris tak lepas dari wanita itu.
"Dirimu terlalu muda untuk bergulat dengan gejolak dunia, selayaknya wanita seusiamu bernyanyi ceria menapak cita-cita".
****
Tiga cerita, banyak makna, namun satu kesamaan : Perjuangan menjejak kehidupan tak mengenal usia. Tak peduli apakah kita masih bocah mengais cemong di wajah, baru menapak remaja, menjelang dewasa, persiapan masa tua, atau lansia menapak tua renta. Bila kita masih bernafas berarti kita masih terus harus berjuang menapak kehidupan, apapun keadaanya.
Namun apa maknanya?
Lelaki di dalam mobil, ia yang menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan pada Bintang, siapa pernah menduga dulunya seluruh masa kecilnya dihabiskan untuk menuntun sepeda di sepanjang kampung, berjualan kue apam rendang, ketan panggang, putu mayang, juga bingka ketan dan goreng pisang. Empatinya telah menuntunnya untuk terus membeli dagangan Bintang, apapun isinya dan berapapun harganya. Bintang baginya seperti melihat dirinya sendiri di ribuan hari yang lalu, serpihan cerita ysng tertinggal dan kini berwujud kembali.
Adapun lelaki yang menyodorkan uang duapuluh ribuan pada sang kakek, di ribuan hari yang lalu bukanlah penjual kangkung keliling. Namun melihat sang kakek, ia seolah melihat sosok ayahnya di ribuan hari, saat ia masih hidup.
Sayang, kala itu, dirinya bukanlah apa-apa, hanya orang biasa dengan segala keterbatasan yang ada. Tak dimilikinya rezeki berlimpah, hari-hari dilewatinya dengan bertarung rasa, kemiskinan membuatnya tak mampu berbuat banyak untuk sang Ayah tercinta hingga menutup usia.
Keadaan yang disesalinya, mengapa tak ia paksakan diri melepaskan jerat rasa dengan memaksakan diri berbuat untuk ayahnya, meski hanya dengan sekarung beras dan sebungkus telur ayam atau seikat ikan asin. Keadaan yang disesalinya hingga kini, menunggu lapang rezeki, nyatanya tak kunjung datang jua.
Keadaan yang disesalinya, mengapa tak ia paksakan diri melepaskan jerat rasa dengan memaksakan diri berbuat untuk ayahnya, meski hanya dengan sekarung beras dan sebungkus telur ayam atau seikat ikan asin. Keadaan yang disesalinya hingga kini, menunggu lapang rezeki, nyatanya tak kunjung datang jua.
Akan halnya Pimpinan Perusahaan yang berjumpa di hari pertama wanita muda itu bekerja di tempatnya, panjang kenangan yang ia rasa. Dulu iapun masih muda saat membanting tulang melepaskan jeratan lapar menyiksa, hausnya otak menuntut dipuaskan, dan panjangnya imajinasi yang ia buaikan harus dituntaskan. Namun ia adalah laki-laki, jelas berbeda dengan wanita. Ototnya sekuat besi, tulangnya sekokoh baja, dan syarafnya menyebarkan impuls secepat sambaran kilat menembus raga bumi.
Wanita semuda itu, harusnya masih bercengkrama di separuh kota, menikmati terangnya sinar lampu di malam berbintang, mengulurkan lembaran demi lembaran kertas bergores cita-cita. Bukan disini, menjalani separuh jalan dengan sejumlah target kerja separuh sempurna, tidak pernah turun, selalu menanjak sempurna, layaknya mengejar bola yang mengapung di sungai deras hingga ke samudera. Tiada pernah berakhir!
Ketiga lelaki tadi, menebar empati di separuh hari. Ada banyak bagian dirinya yang terseok dan merepresentasikan yang ia alami, mungkin dulu, namun juga hingga kini, layaknya mengumpulkan serpihan demi serpihan kehidupan yang belum berbingkai nyata.
Empati yang menabur dalam jauh ke hati, menggeluti nurani, bahkan mengulitinya hingga kadang tetes airmata kian tak mampu disembunyikannya.
"Tak ada yang kejam dalam hidup ini, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam menjalaninya, dan tak ada yang tak bisa ditaburkan demi wujud mimpi diri. Satunya raga dengan pikiran, satunya pikiran dengan rasa, dan satunya rasa dengan impian, ketiga hal inilah yang akan memastikan kita terus mengasah empati menggelora nurani".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar