Soraya Renata, begitulah seorang sahabat menamakan tokohnya, seorang wanita cantik berdarah Manado, rambut sebahu, putih kulitnya, tajam bola matanya, alis nan lentik memenuhi keindahan di wajahnya, meski ia tidak semampai, namun cantik luar biasa.
Bayu, lelaki yang menjadi peristirahatan terakhir bagi Soraya, Ata panggilannya. Tidaklah terlalu tampan, namun perhatian tulus telah meluluhlantakkan nalar Ata.
Aji, pemuda yang penuh perhatian, namun kecemburuannya yang dalam pada akhirnya memporakporandakan hubungannya dengan Ata. Satu permintaan terakhir pada Ata, agar mereka bisa tetap berhubungan meski hanya sebagai teman, hanya mimpi siang bagi Aji. Ketampanan tak berarti bila berhadapan dengan ketulusan, kecemburuan tak berarti bila berhadapan dengan kepercayaan, dan cinta atas dasar rasa menguasai tak berarti bila berhadapan dengan cinta dilandasi ikhlas tak bertepi, karena cantik bukankah keabadian makna, namun hanya keindahan mata.
Begitulah, sahabat Rachmi Zen meramunya hingga menjadi cerita yang menarik. Sederhana, namun tetap menggelorakan rasa untuk berimajinasi tentang sosok Ata, wanita sempurna dan menarik rasa.
***
Azizah, Putri Melayu, wanita cantik nan santun berpadu. Rambutnya ikal bergelombang, matanya teduh, kulitnya kuning langsat, wanita biasa dengan segala kelebihan tuturan.
Amanuddin, lelaki biasa namun layaknya Bujang Melayu kebanyakan, pandai berpantun, juga bersyair. Dendang Melayu ia kuasai, bergambus ria ia perankan, dan Dul Muluk baginya adalah panggung kehidupan dengan banyak rona kebijaksanaan, karenanya tak kan berpantang langkah disurutkan untuk melestarikan adat Melayu, juga demi meraih cinta Azizah. Puluhan tangkai mawar merah telah diberikan olehnya untuk Azizah, namun belum satu balasanpun ia dapatkan. Puisi rasa tak juga mampu berbalas, meski hanya sepatah kata.
Faiz, lelaki keturunan bangsawan, pintar dan cerdas, Negeri Melaka ia menuntut ilmu, Negeri Sembilan melengkapi, dan keindahan sungai Indragiri yang menemani separuh hidupnya bersama Azizah, wanita segala jiwa. Dipertemukan secara misterius saat banjir bah melanda, penebangan hutan di hulu sungai telah meluluhlantakkan semua harta dan jiwa, kepiluan yang akhirnya diakhiri dengan hadirnya cinta antara mereka. Sungguh rencana Tuhan tiada pernah disangka.
***
Marlena, Dayang Melayu Belitong cantik luar biasa. Tak pintar orangnya, sedikit bengal, pemberontak, dan berganti teman lelaki beberapa kali, laris manis. Hampir gagal masuk SMA Negeri, namun merampas lembar jawaban Sabari telah menyelamatkannya, sembilan koma enam nilai tes Bahasa Indonesia, rerata nilai minimal terlewati, enam koma lima.
Sabari, Bujang Belitong ahli berpuisi. Alam terkembang menjadi puisi, tuturan dipantaskan dengan puisi, dan mimpi kehidupan kian berwarna, bergejolak, dan merah darah dengan berpuisi. Ia lelaki penyabar, belasan tahun memimpikan Marlena, sejak saat tes seleksi masuk SMA Negeri. Jiwanya luluh lantak, hingga tahun kedelapan ditinggalkan Marlena menjelajah nasib di Sumatera, akalnya tinggal secuil saja. Tinggal dijentikkan jari, akalnya akan tenggelam ke Sungai Lenggang Gantong.
Setengah cerita, belum kutuntaskan. Namun tiga lelaki telah menjadi jejak duka pernikahan Marlena. Agen Vespa di Pangkalpinang, Pegawai Negeri berpangkat di Bengkulu, dan Gitaris terkenal di Medan. Hidup terseok di setengah Sumatera setelahnya, kecantikannya kian tak mampu menaklukkan duka kehidupan. Berpindah kota, berpindah profesi, namun belum berpindah nasib. Kecantikan hanya seperti kabut yang belum tuntaskan duka, gagal, meski kata Sabari tak satupun mimpi yang dapat dibandingkan atas wanita bernama Marlena.
Andrea Hirata menuturkannya dengan penuh imajinasi rasa dalam novel "Ayah", dan diriku kian larut dalam pertanyaan membuncah : Cantik, anugrah atau musibah?
***
Tadi sore, seorang sahabat bercerita tentang pertemuannya dengan seorang wanita. Muda, cantik, kulitnya halus dan putih, rambutnya sebahu, wanginya memecah makna, dan nafasnya menghilangkan logika.
"Cheiza Alfinia? Ia seperti sosok wanita yang pernah kubaca di salah satu blog," ujarnya menggoda.
Tak melihat reaksi sempurna dariku, ia berkata,"Maafkan kali ini diriku mulai mabuk pada wanita itu".
Hanya kerlingan, selanjutnya diriku tak bereaksi kecuali membayangkan sosok Cheiza, si kembang merak penghapus duka, tokoh imajinatif dengan segala kesempurnaan tak terucapkan.
"Adakah Cheiza Alfinia itu nyata? Ahhhhh.....diriku juga mulai gila, imajinasi yang kian menapak sempurna, tarikan rasa tiada berujung, dan kerinduan yang kian tak terhempaskan".
Lantas, apakah jawaban atas pertanyaanku selama ini : Cinta, anugrah atau musibah?
Belum mampu kusingkapkan kepadatan rasa atas jawabnya, belum pula mampu kutuntaskan kepastian atas maknanya, karena kepenatan ini kian terasa, lelah berimajinasi tentang senyumannya.
Pelan, halaman muka novel itu kubuka :
"CANTIK....KARENA KITA BEGITU ISTIMEWA"
---Rachmi Zen---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar