"Bapak.....
Empat tahun kini, duapuluh tujuh Juni Duaribu Sebelas, selepas subuh, kala mentari mulai menanjak, dirimu kembali menghadap Allah, memenuhi kegembiraan yang telah lama dinantikan : bertemu dengan kedua orang tua, kakek dan nenek bagi kami.
Empat tahun waktu yang singkat, namun terasa sangat panjang bagi kami. Tujuh hari pertama, panjangnya luar biasa, lebih dari duapuluh empat jam terasa, karena sepenuhnya kami lebih banyak berdiam diri tenggelam dalam rasa masing-masing.
Semula kukira, empat puluh hari selanjutnya akan memendek segera, normal seperti biasa, namun ternyata masih memanjang seperti sebelumnya, kami masih tetap banyak merenung mengenang dirimu.
Tahun pertamapun demikian, tahun kedua, juga tahun ketiga, dan kini tahun keempat, kian perlahan memasuki tahun kelima. Pendek bagi banyak orang, namun panjang bagi kami.
Hidup memang harus kembali berjalan seperti sediakala, normal apa adanya, begitulah yang Bapak katakan setahun sebelum kepergianmu, hari terakhir saat dirimu mengucapkan salam di tempat kami, untuk kemudian melangkah tertatih kembali ke Belitong, tanah yang dicintai.
Bila sudah melangkah dan menginjak tanah, jangan menoleh ke belakang lagi Pak, agar kenangan ini tak memberatkan dirimu untuk berangkat, begitulah yang kuucapkan pagi itu, Duapuluh enam Juni Duaribu Sepuluh. Entah darimana awalnya, kalimat itu meluncur sempurna, seolah Tuhan telah membisikkan padaku bahwa pagi ini adalah hari terakhir Bapak menapak di tempatku, rumah peneduh bagi banyak jiwa yang mencintainya.
Pak, terlalu banyak yang kuingat tentang dirimu. Maka izinkan diriku mengingatnya malam ini. Agar doa-doa kami kian tulus, agar sholat kami kian khusuk, dan agar perjalanan kami kian berkah.
Mengenangmu, bukan berarti kami ingin hidup di masa lalu, namun kami ingin semakin menghargai sisa hidup kami, memilih jalan penerang kami, menikmati sisa hidup dengan banyak arti, dan membagikan sisa waktu yang ada untuk banyak menggembirakan negeri.
Pak.....
Setahun jelang kepergianmu, hampir setiap hari kita selalu bercerita. Pukul enam lewat empat puluh lima menit, headset dipasang, mesin dihidupkan, pembicaraanpun dimulai. Banyak yang kita bicarakan, namun satu hal yang kian menguatkan : Bapak adalah El-Kalami, lelaki yang menuliskan banyak gejolak rasa atas saksi kehidupan yang dimaknai.
Pak....
Tigabelas Juni Duaribu Sebelas, dirimu izin untuk pamit meninggalkan kampung, menuntaskan sakit yang kian menua. Hanya tujuh hari, dirimu pamit pada tanah Belitong, menjejak sakit ke Metropolitan, menunggu sayatan pisau bedah di sepertigapuluhtiga bagian tubuh.
Saat itulah diriku mengatakan, bila Bapak mau berangkat, berangkatlah dengan tenang, bila Bapak ingin pulang, pegang ucapan anakmu ini, Bapak akan pulang ke Belitong.
Pagi yang sangat berat bagiku, setelah duapuluh enam jam bertarung tenaga, rasa, juga jiwa di sepanjang lintas Sumatera.
Pak....
Saat azan zhuhur berkumandang, ingatkah dirimu bahwa saat itu sholat zhuhur khusuk Bapak laksanakan, tempat tidur terasa bergetar, airmata menetes sempurna kala doa lirih yang dipanjatkanmu dengan mata nyaris terpejam. Khusnul Khotimah, itulah doa lirih yang kudengar dari bibirmu.
Zhuhur yang kemudian menjadi zhuhur terakhir bagimu, karena ashar tak mampu lagi dituntaskan dengan kekhidmatan, ICU menunggu, roda tempat tidurpun menari sempurna, paramedis bersigap nyata.
Pada akhirnya, seminggu saja pertarungan itu mencapai wujudnya, matahari pagi menjadi saksinya, sakratul maut itu begitu nyata.
Aku gembira karena bisa kembali pulang ke kampung, berkumpul dengan bapak, umak, abang, dan adik-adik yang telah lama menungguku, begitulah ucapmu dalam mimpiku. Terima kasih.
Pak....
Empat tahun diriku menapak diri, menguatkan langkah hati, menebar pelangi untuk banyak cucumu yang sangat kau cintai. Izinkan diriku bercerita apa yang terjadi, juga yang kami rasa sepeninggal dirimu.
Kini, hampir semua rambut anak-anakmu sudah memutih sempurna, giginyapun lepas sempurna, menyisakan gusi yang kian lebam karena tak dialiri darah dengan sempurna. Kami juga sudah mengemasi diri menunggu jemputanmu.
Kini, hampir semua cucumu telah memindahkan pita toga, menjadi sarjana, kebanggaan dan kebahagiaan yang tiada terkira, begitulah yang dirimu ucapkan saat melihatku bertoga, apalagi bila melihat cucumu.
Kini, umak sudah menjejak tanah suci, belum berhaji, hanya umroh karena usia lanjutnya tak menguatkannya untuk menjalani haji. Mimpimu untuk memberangkatkan umak ke tanah suci, sudah kami tunaikan.
Pak....
Diriku tahu, Bapak tak berharap kami bercerita tentang Ipoleksosbudhankam. Namun bila boleh bercerita, kian hari kehidupan ini kian berat, semua kian mahal, dan kejujuran kian menjadi langka. Tapi Bapak tak usah khawatir, kami semua baik-baik saja, karena bukankah Bapak pernah mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan? Maka kami selalu berpikir bahwa kehidupan ini mudah adanya, semua tetap murah, dan ilmu tetap murah, karena semuanya masih dapat dibayar dengan keringat.
Pak.....
Malam ini, Ramadhan yang indah. Langit terang benderang, bintang kerlip menantang, dan angin telah memeluk awan. Hanya ketenangan, karena malam kian temaram, dan suara orang yang mengaji di mesjidpun sudah menghilang, mereka semua ke peraduan.
Hanya diriku diam disini mengingat dirimu, mengenangmu dengan kebanggaan. Terima kasih telah menemani, membimbingku, dan menjadi sahabat seumur hidupku. Dirimu semula memang tiada, lalu ada, dan akhirnya kembali tiada. Namun bagiku, dirimu selalu ada di dalam pikiranku, selalu ada di dalam hatiku, selalu ada di dalam gerakku, dan selalu ada dalam jiwaku.
Karena....
Dirimu adalah diriku, pikiranmu adalah pikiranku, gerakmu adalah gerakku, dan jiwamu adalah jiwaku. Engkau menuturkan, diriku menuliskan. El-Kalami dengan segenap rasa.
Semoga Bapak selalu mendapat kemudahan dan kelapangan di alam barzakh, saat dihisab di Padang Mahsyar, melewati Shirothal Muataqiem, dan menghadap Allah Maha Pemilik Segala Kehidupan, amien.
Empat tahun lalu dirimu mendahului, beberapa waktu mendatang kami mendatangimu dengan kegembiraan, karena kerinduan berbalas tuntas dengan pertemuan.
Semoga......Amien........"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar