"Maafkan atas banyak kesalahanku, baik yang sudah tertuturkan, maupun yang belum tertuturkan.
Maafkan atas sifatku, baik yang telah kutampakkan, maupun yang masih tersamarkan.
Maafkan atas kekeliruan pemahamanku, baik karena ketidakmengertianku, maupun karena ketulianku.
Maafkan atas tampakku, baik karena kekerdilanku, maupun karena kebesaran perasaanku.
Namun harap kau fahami....
Inilah maafku
Inilah diriku
Inilah ragaku
Meski dalam rimbunan jiwa yang mengerdil
******
"Berat rasanya bro, kakiku kini makin terseok. Langkahku kini terseret dalam kerikil berdebu. Luka di telapak kakiku kini makin menganga. Pedih, perih, namun ini karena taburanku sendiri. Telah kutanam angin, kini badai yang kutuai," dalam helaan nafasnya saat mengatakan hal ini padaku di suatu sore pada akhir minggu di akhir bulan lalu. Fahri, lelaki setengah baya itu, lebih tepat setengah tua karena usianya nyaris setengah abad. Hanya rambutnya Tak pernah memutih karena selalu berbalut semir, hitam legam meski kadang hanya seminggu. Berbanding kontras dengan sepatunya yang nyaris banyak bersemir lumpur karena musim penghujan makin menggila.
"Mengapa kawan?," tanyaku dengan tidak menoleh sekalipun padanya. Sedikitpun pandangan mataku tak bergeming karena melihat seorang lelaki paruh baya di seberang jalan sedang berjalan tertatih dalam guyuran hujan. Langkahnya terseok, sebelah kakinya pendek sebelah, ia jelas pincang. Rambutnya yang memutih tak ditutupinya samasekali, ia benar bangga dengan rambutnya yang semuanya telah memutih. Nampaknya beliau telah memaknai dengan baik arti sehelai uban,; satu helai berarti satu kebijaksanaan, satu helai bermakna satu kebaikan, dan satu pertanda satu kekuatan kembali diambil Sang Maha Pemilik Nyawa.
"Terlalu panjang kalau kuceritakan, namun aku telah berbuat salah pada almarhum ibuku, " jawabnya lirih.
"Haaahhh!," berbalik tubuhku mendengar ucapannya.
"Kau telah durhaka pada ibumu? Begitukah? ," lanjutku.
"Bukan bro, tapi aku sebulan yang lalu jatuh hati pada seorang wanita yang lebih pas menjadi anakku. Ia terlalu muda untuk memahami arti hidup ini," jawabnya.
"Aku puber kedua bro, jalan rasa itu Tak mampu kuhindari," lanjutnya.
"Alamaaaaakkk, sudah gila kau. Tak malukah kau melihat lelaki tua di seberang jalan itu. Ia nyaris seusiamu, tapi lihatlah. Istrinya ada di sampingnya, menemaninya dalam hujan. Tak irikah kau melihatnya? !" kali ini suaraku mulai meninggi. Ada rasa kesal luar biasa mendengar pengakuannya.
"Jadi kau telah bercinta dengannya?," tanyaku setengah berteriak.
"Belum bro, baru aku yang merasa menyintainya. Ia tidak tahu kalau aku menyukainya".
"Baguslah kalau begitu, lebih mudah bila hanya dirimu yang gila, bukan dia".
"Tapi bro......."
"Tapi apa?," kali ini melengking ucapanku, hingga lelaki tua yang tadi di seberang jalan menoleh. Ia rupanya telah berdiri di dekat kami, persis di sebuah halte bis kota.
"Tadi aku sudah minta maaf pada wanita itu. Lahir bathin aku minta maaf, untuk yang telah kuucapkan, maupun yang tak pernah kuucapkan. Baik untuk yang pernah kupikirkan, maupun apa yang kurasakan".
"Lalu apa reaksinya?," tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Ia hanya diam, tersenyum, dan menerima uluran tanganku pertanda minta maafku".
"Mantap kawan, kubangga padamu karena kau telah berhasil menaklukkan salah satu dari tiga permintaan yang sering dialami setiap orang, namun sulit dilakukan, " jawabku sambil menepuk bahunya.
"Apa tiga permintaan itu? seperti film Aladin saja," kali ini mulai kulihat senyumnya.
"Begini bro, yang pertama mudah kita lakukan, namun sulit dilakukan orang lain. Inilah MINTA TOLONG. Bagi kita yang mau ambil mudahnya, maka permintaan ini yang paling mudah kita ucapkan".
"Permintaan kedua, kadang mudah, namun kadang sulit bagi kita. Bisa dipenuhi oleh yang kita minta, namun bisa saat itu juga, bisa ditunda, tapi tak pernah ditolak, asal kita meminta dengan penuh kesadaran. Itulah MINTA AMPUN PADA TUHAN".
"Dan yang ketiga, sulit bagi kita, namun kadang mudah bagi orang lain, tapi pada beberapa orang malah tidak bisa dipenuhi sampai kapanpun. Inilah MINTA MAAF".
"Kau telah berhasil menundukkan egomu, melepaskan rasamu, dan mengakui kesalahanmu meskipun orang yang telah kau perlakukan dengan tidak baik itu belum tentu memaknai artinya uluran tangan minta maafmu".
"Selamat menikmati masa jelang lansia bro, kita sama, namun akan berbeda cara menjalani, mengisi, dan menikmatinya", tepukan tanganku di bahuku kuharap kini menguatkannya, juga menguatkanku.
![]() |
sumber gambar :segalacerita.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar