- Kami generasi yang ngantri di warnet dari jam 5 pagi, berkirim surat dan menanti surat balasan dengan rindu -
***
Cuplikan kalimat di atas, beberapa hari lalu tertulis nyata dalam sebuah media sosial. Cukup panjang tulisannya, sangat menarik, dan menguliti rasa. Bukan hanya karena rangkaian kata, namun karena beberapa dari kita mewakili angkatan yang disebutkan olehnya : generasi 70 - 90an, generasi yang menurut penelitian beberapa Psikolog adalah generasi bahagia.
Beda masa, beda generasi, beda pula kegembiraan dan cara menikmatinya. Masa lalu jelas adalah kenangan, terlepas berasa indah atau malah pahit tiada terkira, tetap tak terkatakan kebahagiaannya. Indah berasa manis, dan pahitpun akan berasa manis pada saatnya, karena selepas pahit akan ada manis menanti.
Berkirim surat, menanti balasannya, belum diterimapun hati sudah berbunga. "Kau kirim hari selasa, kubalas hari jumat" begitulah yang pernah kubaca surat cinta berbulu monyet dari seorang sahabat kala celana biru belumlah lepas. Bukan surat cinta untukku, namun surat cinta untuk sahabat sebangku, juara kelas nomor satu.
Surat yang selayaknya hanya dibaca oleh sang empunya jiwa, surat warna warni berlipat baju kemeja lengkap sempurna, wanginyapun menakjubkan luar biasa. Namun kegembiraan adalah kegembiraan, meski akibatnya lapangan terbuka menanti lembar demi lembar itu yang terkadang tidak hanya ditempelkan di tiang bendera, malah kadang dikibarkan layaknya sang bendera. Rasa malu? Jelas ada, namun kegembiraan melebihi ruang rasa, pengakuan atas kedewaasaanlah yang lebih utama. Bercelana pendek warna biru, kini telah terbantahkan dengan keriuhan tawa dan canda mereka semua.
"Kini aku sudah bujang ayam" begitulah pengakuan yang diharapkannya.
Kurang dari sepuluh tahun ke depan, pak pos selalu menjadi sahabat bahagia. Kerincingan belnya selalu dinanti, surat diterima, rasapun lega. Cukup sederet kalimat bertulis "Ayahanda dan ibundamu sehat-sehat saja, semoga ananda juga selayaknya kami semua", maka kalimat selanjutnya bukanlah kalimat utama, meski kadang bulir airmata harus dipanjangkan lebih lama. Bukan karena kerinduan pada kampung, hidangan yang selalu tersedia di jelang makan, para lelaki yang berjalan riang berkain sarung menuju mesjid, namun karena tertulis di kalimat akhirnya "Maafkan kami yang belum dapat mengirimkan uang saat ini, harap memaklumi keadaan saat ini".
Alhasil, lagu Obbie Mesakh-pun akhirnya kembali berubah :
Malu aku malu
Pada semut merah
Yang berbaris di dinding
Menaruhku curiga
Seakan mau bertanya
Sedang apa disana
Menunggu wesel jawabnya....
Indah, semua terasa indah pada zamannya. Kenangan adalah sejarah kehidupan yang tak terlupakan. Semua indah pada akhirnya, meski ruang duka sering lebih lebar dan berputar nyata. Hanya kekuatan, selanjutnya doa. Kekuatan untuk merubah cara dan jalan hidup, cangkul dan parang berganti pena, tanah berhampar berganti layar komputer. Sepatu karet berganti sepatu kulit, baju bertampal berganti baju berlogo gambar, dan minyak kelapa berganti gel rambut.
Kita adalah apa kita pikirkan, meski beda generasi, namun kebahagiaanlah yang menjadi tujuan kita. Bila kita berpikir bahagia, maka kebahagiaan itu akan nyata. Tak harus hari ini, bisa esok, lusa, atau di puluhan, ratusan hingga ribuan hari di muka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar