Rabu, 10 Juni 2015

Pergiliran Kehidupan adalah Kenisbian Makna

Usia adalah rahasia yang awal dan akhirnya sudah terpatrikan sejak awal penciptaan. Maut, sama halnya dengan hidup, selamanya tetap akan menjadi rahasia Sang Empunya Jiwa. Kita hanya menjalani garis ketetapan yang sudah disepakati sejak awal penciptaan,  selanjutnya pergiliran demi pergiliran adalah siklus masa beralur raga, jiwa, dan roh. Perubahan wujud, selamanya akan menjadi ketetapan yang tak kan pernah terbantahkan.

"Kak....bantu belikan aku obat flu ya kak," Edi, sahabatku yang kini berada di ruang waktu berbeda berkata pada seorang kakak, lelaki yang sesungguhnya lebih pas dipanggil bapak karena usianya sudah menginjak setengah abad. Namun karena ada keterbatasan mental dan pikirannya, maka tak banyak yang mampu dilakukannya, selain masak air dan menyiapkan beberapa menu sederhana untuk makan. Itupun pasti ada yang terlupakan, kadang tak bergaram, kadang tak bercabe, bahkan kadang ikan goreng berubah menjadi ikan rebus karena digoreng dengan air panas, sebab minyak disangka air. 

"Beli apa bos," ujarnya sambil mengusap beberapa lembar jenggotnya yang mulai memutih,  tak lebih dari sembilan lembar perkiraanku.

"Beli de***gen kak", ucap Edi saat mengucapkan sebuah merk obat.

"Jadi bos, de***gen ya bos".

"Ya kak, belinya di warung depan saja. Terima kasih ya kak, kalau mau beli mie goreng dan uangnya masih ada, belilah kak," lanjut Edi. Ia tahu persis bahwa kakak sangat senang bila diberi mie goreng, makannya pasti lahap, bahkan ditukar dengan sepotong paha ayam atau rendang padangpun ia mau, apalagi dengan sambal petai balado.

Hanya beberapa langkah, belumlah lewat pagar rumah, ia kembali sambil menggaruk kepala.
"De***gen ya bos?," tanyanya ingin memastikan.

"Ya kak, de***gen, sekeping ya kak".

Iapun kembali melangkah, namun mulutnya terus komat kamit menyebutkan nama obat tadi. Sesekali garukan tangan ke kepalanya terlihat dari kejauhan,  berat sekali nampaknya beliau mengingat nama itu.

"Namanya tadi decolbel ya bos?," ujarnya beberapa menit kemudian.  Semula kami berpikir obat itu sudah di tangannya, karena mie goreng sudah dipegangnya dengan bangga.

"Bukan kak, de***gen".

"Oh....de***gen," kali ini jari-jarinya kembali bergerak cepat, keras sekali upayanya untuk mengingat.

Seratus meter berlalu, ada rasa tak tega pada kami, akhirnya diriku, Arif, dan Anton memutuskannya untuk menyusulnya.

"Mbak.....ada belcobel dak?".
"Apa kak", tanya pemilik warung, mbak Yanti kebingungan. Belum pernah sedikitpun didengarnya kata itu.

"Belcobel...."

Mendengar ucapan itu, tertawalah Arif, Anton, dan diriku.
"Bukan belcobel kak, tapi de***gen," ucap Anton meluruskan. 

******
"Ahhh.....seandainya kakak masih ada, gelak tawa dan bahagia itu kini makin menjadi. Kami rindu suasana belasan tahun lalu,  kepolosan tiada berbanding. Meski dirimu orang yang terlahir tak biasa, selalu ada banyak kenangan kehidupan yang luar biasa di saat kami semua menjejak mimpi dan cita-cita".

"Sudahlah,  semua sudah berlalu, kenangan itu tetap ada disini, di hati ini. Bukankah banyak orang yang dulu ada, kini sudah tidak ada, hanya tinggal memori abadi," ucapku dalam hati seolah ingin menghibur diri.

Pelan, namun pasti. Beberapa posting sahabat di beberapa media sosial mengingatkanku.

"Bapak,  selamat jalan. Tak usah kau khawatirkan lagi kami. Kini kami sudah besar, " begitulah salah satu posting seorang kerabat saat baru saja bapak yang dicintainya meninggal dunia.

"Bapak, sudah setahun dirimu tak hadir lagi dalam nyataku, hanya mimpilah yang kunanti dengan kehadiranmu," begitu tulisan sahabat lainnya. 

"Bapak, seandainya kau masih ada, kesuksesan kami harusnya kau saksikan karena inilah hasil perjuangan berkeringatmu mendorong gerobak minyak beribu kilometer selama belasan tahun ini," tulis sahabat lainnya saat banyak kerinduannya bergayut atas banyak cerita sukses yang kini ia raih.

***

Kawan, terlalu banyak kerinduan kita pada orang tua, ibu, juga bapak, dan mereka yang pernah hadir dalam kehidupan nyata. Namun satu hal yang kuingat nyata, beberapa jam sebelum almarhum bapakku bertarung sakratul maut di ICU, serangkaian kalimat kuucapkan :

"Bapak, berangkatlah bapak dengan tenang dan kebanggaan.  Bila bapak ingin kembali ke kampung, pegang ucapan anakmu ini, bapak akan pulang ke kampung. Kalau bapak khawatir tentang ibu, pegang ucapan anakmu ini bahwa ibu adalah hidupku".

Beberapa bulir airmata menetes pelan meleleh di pipinya. Hanya dua kali kusaksikan airmata itu, pertama saat ia bercerita setahun yang lalu tentang bapaknya yang meninggal saat sekolah dasar belumlah dituntaskannya, dan yang kedua hari ini. Beberapa jam kemudian, malaikat maut menjemputnya. Beliau istirahat dengan tenang dan penuh kebanggaan,  kami menyaksikan,  tak perlu ada kesangsian.

"Bapak, kakak, adik, juga anakku.... kita semua berawal dari tidak ada, kemudian ada, dan akhirnya tiada. Namun itu hanya di dunia, di sepemandang mata saja, namun bukan di dalam hati dan rasa kami.

Terima kasih atas kebahagiaan dan kebanggaan yang telah kalian berikan selama ini. Sepanjang hidup kami,  kalian semua sesungguhnya kini selalu ada, di hatiku, di hati kami, dan di hati semua orang.

Semoga Bapak,  kakak, adik, dan anakku bahagia disana. Suatu saat kita akan bersama, mungkin hari ini, mungkin esok, lusa, atau kapan saja.

Kami juga awalnya tiada,  lalu ada, kemudian tiada di dunia. Namun kami juga akhirnya akan tetap ada di hati mereka semua....

Karena pergiliran hidup adalah kenisbian makna sepanjang cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar