Selasa, 09 Juni 2015

Airmata Berdetak Sempurna

Diam, hening, akhirnya tetes airmata itupun jatuh berderai. Bulir demi bulir, laksana tetes semangat yang kian terburai. Masalah demi masalah, alur demi alur, dan nalar demi nalar kian terhempaskan meski awal semangat bergelora rasa tiada berbatas.

"Aku tak kuat lagi mas," ucapan Cheiza memecah keheningan sore di jelang senja. Bulir demi bulir itu kembali menetes membasahi pipinya yang putih,  lesung pipinya kini tak lagi nyata, senyum itu kini hanya impian di jelang mimpi mengayun sempurna.

"Aku ingin dirimu kuat Cheiza, kalau kau menyerah,  bagaimana kita menjalani kehidupan setelah ini?," dalam tarikan nafas Affan kala mengucapkannya. Ada berton-ton beban yang dirasakannya kini. 

"Maafkan aku mas, kali ini aku menyerah. Izinkan aku menyerah mas...," bulir itu kembali jatuh perlahan.  Mata itu kini mulai basah kembali, mata yang dulu hingga kini selalu menjadi mimpi yang menemani Affan sepanjang malam. 

"Mengapa Cheiza.....mengapa kau menyerah? Adakah bebanmu sudah sangat berat hingga kau lupakan mimpi-mimpi kita?," lirih Affan mengucapkannya. Kini cipratan ombak laut tak lagi menggembirakannya. Beberapa camar laut yang mengepak sempurna menembus langit senja itupun kini tak lagi melepaskan gundahnya.

Beberapa saat ditatapnya wajah Cheiza. Keteduhan mata itu tetap ada, namun redupnya sudah mulai menapak nyata.

"Ahhhh....andaikan dirimu sudah menjadi muhrim, kan kuteguhkan pundakku untuk menjadi sandaran kokoh dirimu. Kau kurangkul pundakmu, kan kuminta kau mendengar detak jantungku,  dan akan kau fahami bahwa kesedihanku melebihi kesedihanmu. Seandainya saja......," gumam Affan dalam hati.

"Mas, izinkan aku bersandar di bahumu. Maafkan, aku tak kini tak kuat lagi....."

Kali ini tak mampu Affan menolaknya.  Sudah dua tahun mereka bersahabat, kemudian merasa dekat, dan akhirnya cinta bermaklumat. Baru sekali inilah dirasakannya detak jantung sangat luar biasa, dadanya bergemuruh, dan tubuhnya gemetar menyambut wanginya rambut Cheiza yang bersandar di bahunya. Sulit baginya untuk mengendalikan rasa, ia kini benar-benar meyakini kekuatan rasa cinta, meski tak dapat dipungkirinya ada getar aneh kala tangan Cheiza menyentuh kulitnya. Tangan yang demikian halus,  lembut, dan lentik sempurna. Tangan yang di sebagian jarinya berhias ceria, lambangkan sang empunya jiwa bukanlah wanita berlambang duka. Cheiza adalah kegembiraan yang nyata, kebahagiaan tiada berbatas, dan keindahan sepanjang rasa. 

Sepuluh menit, mungkin lebih, mereka diam dalam kebisuan. Pikiran bergores nyata, imajinasi meruang makna, dan hati menyala rasa. Alur dan rasa mengalun sempurna, kebersamaan itu kini kian nyata, laksana mengiringi taburan senja yang kian merah menyala.

Sepuluh menit pula Affan berada dalam ruang masa berbeda. Ingin dikatakannya pada Cheiza bila mereka yang kuat itu adalah mereka yang mampu membentuk lingkungan, bukan dibentuk lingkungan.  Ingin pula dikatakannya bahwa mereka yang sukses itu adalah mereka yang mampu mengelola logika,  bukan diolah logika. Namun lidahnya kian kelu, keharuman tubuh Cheiza kian membuat detak jantungnya berdegup sempurna, hingga kesadaran itu akhirnya datang jua.

"Cheiza....kita memang baru bersama, tapi kau adalah kekuatan rasa dan jiwaku. Aku ingin kau tetap kuat, agar aku juga bisa kuat. Kau adalah batinku, dan aku adalah batinmu. selamanya.....".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar