Senin, 08 Juni 2015

Sang Penafsir

Gambaran pikiran adalah gambaran rasa, gambaran rasa adalah gambaran jiwa, dan gambaran jiwa adalah gambaran makna. Mereka yang mencari makna, maka merekalah yang mendapat kemanfaatan atas banyak jejak diri yang dimaknai.

Siang ini, peluh menetes deras pada seluruh tubuh Affan. Duabelas kilometer telah dilaluinya dengan penuh suka cita. Hari pertama berseragam putih biru, bergaya penuh laksana bujang tiada berpilu. Sudah ia lupakan ujung celananya yang tak dijahit sempurna,  sudah ia lupakan kantong belakang yang belum berlobang kancing sedikitpun,  dan telah ia lupakan ikat pinggangnya yang bagian ujungnya telah dibakar dengan ujung lilin karena serabut kainnya yang bersimbur temali berbongkah masa, berantakan tak bermozaik sama.

Siang ini hanya ada semangat,  sama seperti enam tahun yang lalu, meski kala itu ia pergi ke sekolah diantar sepeda berkeranjang pempang, ia di sisi kanan keranjang, dan setumpuk daun simpor dan pisang di sisi kirinya. Keranjang pempang nan indah permai, tempat layaknya mahligai kerinduan beralaskan kain katun pemberian Perusahaan Timah. Pasar dan jembatan Gantong, Rumah Dua, Gunung Selumar, Tanjakan Selinsing, Tebat Gadong, Electrice Centrale, dan Mesjid Lalang Manggar, tempat yang membangkitkan kerinduannya saat ini. Tempat yang suatu masa tak pernah ia bayangkan hanya ada dalam cerita, tempat yang menjadi jejak nyata bila manusia telah tak berdaya, maka kerakusan hanyalah cerita bagi mereka yang tak belajar bijaksana memaknai pertanda alam yang mulai murka.

"Ahhh.....lupakanlah cerita itu, waktu sudah berlalu, kemaren hanya kenangan, hari ini kenyataan, dan esok adalah harapan bagi beribu jiwa yang menandai," gumamnya saat menyandarkan sepeda pada sebatang pohon mahoni persis di pojok sekolah. 

Ada rasa bergetar dalam dirasakannya saat menjejak halaman dalam sekolah itu. Sesungguhnya tak ada yang terlalu berbeda keadaan sekolah barunya dibandingkan sekolahnya di kampung,  sama-sama ada bangunan berdinding papan bercat kapur putih dalam kaleng persegi panjang pada beberapa bagian dindingnya.  Tiang benderanya juga sama, ada di tengah halaman. Juga ada sederet taman berjejer teratur di muka kelas, salah satunya tumbuh subur Caesalphinia pulcherrima, kembang merak yang selalu menjadi inspirasinya.  Jelas bukan kembang merak yang nyata, karena baginya kembang merak itu adalah Cheiza Alfinia,  wanita berjuta rasa.

"Bapak hanya tamat Sekolah Rakyat,  akan selalu menjadi kebanggaan bila kau dapat menyelesaikan SMP ini Affan," begitulah ucapan yang terngiang saat ia mulai melihat papan pengumuman pembagian kelas.

"Suatu saat, bila Ilmu Bumi telah kau pelajari mendalam, kau akan makin faham lebarnya dunia ini. Indonesia itu hanyalah seperti dari Vladyvostoc hingga Pegunungan Ural di Rusia, atau dari California hingga San Francisco di Amerika. 

Cobalah nanti kau lihat di atlas, betapa Pulau Belitong sangat kecil. Panjangnya saja kurang dari seratus limapuluh kilometer, tak lebih dari tiga jam untuk dapat dijalani dengan bersepeda motor, dan tak lebih sehari sudah kau tembus bila mengayuhkan sepeda. Bahkan berjalan kakipun, tak lebih dari tiga hari telah dapat kau tuntaskan.  Tapi tahukah kau, meski kecil pulau kita ini adalah benteng alam yang sungguh luar biasa. Belitong adalah benteng pertahanan negara, titik merah saat konfrontasi dengan Malaysia dulu. Siapa yang menguasai Belitong,  maka ia akan menguasai tanah di sekelilingnya.  

Itulah sebabnya Presiden kala itu menjadikan Belitong menjadi salah satu titik tolak pergerakan pasukan. Pergerakan pasukan berarti pergerakan bangsa, pergerakan bangsa berarti pergerakan kedaulatan, dan pergerakan kedaulatan berarti pergerakan kemandirian untuk hidup dengan cara yang benar, layak, dan bermartabat.

Suatu saat kau tak akan sepertiku, hanya tamat Sekolah Rakyat. Berbagilah dalam kebahagiaan,  karena dengan bahagia mereka akan menikmati kebanggaan sebagai manusia. Berbagilah dalam semangat, karena semangatlah yang menjadi api antusias menjalani kehidupan. Juga Berbagilah dalam keikhlasan, karena mereka yang ikhlas jelas mereka yang tak pernah menakar, menawar, dan menukar hidup dengan ketidakmoralan".

"Ahhhh.....andai saja Bapak hari ini menyaksikan diriku berseragam putih biru, akan kuceritakan banyak rasa siang ini," ucap Affan.

Sayang, Tuhan telah berencana lain atas hidupnya. Seminggu setelah ia berucap wejangan itu, Tuhan memanggilnya dengan meninggalkan kesedihan tiada bermuara. Kabel listrik bermuatan listrik tinggi,  telah mengakhiri semuanya,  namun tidak harapan Affan,  juga abangnya Salim, dan keempat adiknya : Wenny Ramdiastuti, Yenni Pangastuti, dan si kembar Sinta Mahareza dan Santi Mahzareka. 

Bagi Affan, Bapak bukan hanya El-Kalami, lelaki yang menuliskan, namun juga Penafsir Kelas Satu. Ia kini sedang menjejak diri di sekolah ini untuk mewujudkan impian Sang Penafsir berbingkai mimpi.

***

*keranjang pempang : keranjang bercabang berbahan rotan yang biasanya dipasang di jok belakang sepeda atau sepeda motor.
*Simpor : Dillenia suffruticosa, sejenis tanaman perdu berdaun lebar. Daunnya sering dipakai untuk pembungkus makanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar