Ayah, Bapak sebutanku. Mungkin abah, papi, papa, atau panggilan lainnya bagi banyak mereka lain. Selalu dan selalu tak kan pernah habis tinta jiwa untuk menuliskan banyak cintanya nan tiada batas. Tidak hanya dulu, kini, dan hingga nanti. Tidak hanya hari-hari yang telah lalu, namun juga hari ini, juga di ribuan hari setelah kini. Tidak hanya saat ia masih bersama kita, hidup dan bercengkrama bersama, namun juga kala ia hanya menjadi kenangan sepanjang masa.
Diriku, dirimu, kita, mereka, dan juga semuanya sepakat tak kan habis menuliskan rangkaian kata untuk mewakilinya. Apapun yang kita tulis, tak ada sepersepuluh, apalagi separuh apa yang menjadi milik dan semangatnya. Namun asa kerinduan yang nyata, hingga ingin kutuliskan sebagian yang kita rasa atas dirinya, karena Bapak adalah sang pemilik cinta yang tak kan pernah terlupakan.
Sering kita dengar banyak ujaran, juga wejangan dari Bapak. Bahkan saking seringnya, hingga kadang tak kita maknai dengan pikiran dan hati terbuka. Kadang pula kita tanpa sadar mengatakan bahwa banyak ceritanya adalah bohong belaka. Namun satu hal yang kufahami saat membaca salah satu novel tentang Ayah, tak perlu kita pertanyakan atau perdebatkan tentang kebenaran ceritanya. Bukankah esensi sesungguhnya adalah untuk kebaikan kita, anak-anaknya.
"Hakikat kebahagiaan sejati berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.
Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.
Itulah hakikat sejati kebahagiaan. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih, " begitulah kutipan dari novel itu.
Lantas apalagi?
Tadi siang sebuah buku baru dari sang penulis Laskar Pelangi kudapatkan : Ayah. Memang belum dibaca, karena kuputuskan baru akan membacanya setelah selesai menuliskan hal ini. Satu hal yang kuyakini, Andrea Hirata juga seperti diriku, dirimu, kita, dan mereka semua : sangat menyintai dan mengagumi Bapak, ayah-papa-papi atau panggilan apapun bagi mereka yang lain.
Andrea Hirata, banyak yang kuduga tentang rasanya pada Ayah, begitu juga kami. Diriku juga lahir di tanah yang sama, Negeri Belitong. Ayah kita juga pekerja di level terendah di Perusahaan Timah, namun kemuliaan luar biasa selalu mereka tunjukkan. Kebanggaannya, juga kebanggaan kita. Pelukan mimpinya, juga pelukan kita, karena kita adalah dirinya, dan dirinya adalah kita, lelaki Belitong. Tuhan telah mewujudkan mimpinya, dan kini ia telah dipeluk bumi dengan kebanggaan dan kebahagiaan. Bagimu, Ayah telah diwakili dengan banyak jejak diri, sebagian jejaknya berujar nyata di banyak ceritamu. Bagiku, Bapak adalah El-Kalami, lelaki yang menuliskan. Diriku adalah salah satu tulisannya, alfa dan tetha telah membangkitnya, alam bawah sadar yang tersimpan nyata di sepanjang perjalanan makna.
Akan halnya Affan Nur Aditya, lelaki Belitong yang yatim sejak usia tigabelas tahun, putus sekolah di saat itu, menjadi kuli penyekop pasir kwarsa demi tumpaskan keringat di sepanjang teriknya hari, tetap akan bergalur semangat dalam cerita yang sedang dituliskan. Baginya, Bapak adalah semangat tiada berhenti, lilin-obor-api yang tak pernah padam, meski hanya tigabelas tahun pernah mendampinginya. Diriku akan menuliskannya dalam cerita beruang rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar