Sabtu, 06 Juni 2015

Pena Rasa Beruang Jiwa

Skenario kehidupan adalah rahasia perjalanan di separuh waktu terhamparkan. Kala tubuh terhempas hingga membuang diri ke negeri antah berantah, jejak rasa harapkan punah di seluruh masa. Kala jiwa terhampar dalam belenggu kalah bertameng masa, tampakkan wajah hanyalah kelam di jelang malam. Begitulah yang dirasakan Mukhlis ribuan hari yang lalu. Sejak tanah berpasir kwarsa diikhlaskannya, saat bertumpuk pohon lada dihibahkannya, dan saat derik sepeda tua hanya akan menjadi nyanyian rindu di saat usia senja, saat itulah telah diserahkan nasibnya dan kedua orang tuanya yang kian merenta. 

Tak pantas bagi banyak orang, namun membawa rasalah yang harus ia tetapkan. Indah Purnamasari,  ia tetaplah kenangan di awal perjalanan, semangat di kala pasir kwarsa memenuhi banyak ruang masa. Kilapnya bersinar, meski hanya sesaat saja. Tak pernah ia harapkan di separuh perjalanan di negeri seberang akan ditemuinya kesamaan wajah meski tak persis serupa. Namun wanita bertudung biru tadi sungguh tak mampu ia tamparkan di balik selimut jiwa berkalung cinta.  Rona itu kian nyata, memori itu tak ia kuasa, dan kerinduan itu kian meruang jiwa. 

Sudah lebih dari tiga tahun ia melupakannya,  meski berkas itu tak kan pernah kuasa dihapuskannya. Alam bawah sadar, gelombang alfa dan tetha telah menggoreskannya sangat dalam, hingga selembar kelopak matapun akan mengutuhkan semua memori yang telah tersimpan.

Pelan, pasti, dan berbalut hati....
Pena itu kini menari sempurna. Tak ia rasa sudah lebih tiga tahun tak dituliskannya apa yang ia rasakan dalam berlembar kertas merah muda nan wangi memenuhi jiwa. Kertas itu, kini tak wangi lagi, warnanya juga sudah menguning hampir di seluruh tepi, dan tinta penapun sudah tak berisi sama sekali. Namun memorinya kembali harus berisi, penanya harus segera menari, dan ilusinya kian memenuhi semua sudut imajinasi yang kian tak terkendali. 

Dulu, saat rasa itu kian membuncah, kertas dan pena inilah yang menjadi obat dari jiwanya yang luka. Menulis baginya adalah terapi atas banyak rasa yang tak terhamburkan, cintanya yang tak mampu diungkapkan, dan tetesan airmatanya yang tak akan dihamburkan. 

Kini, pena itu kembali menari, isinya telah penuh kembali, meski kertasnya tak lagi wangi.

"Hari ini, tak dapat kukatakan apa yang kurasa. Wajah itu kembali muncul dan bergelayut utuh di mataku. Aku tahu wanita itu bukan dirimu Indah,  karena tak mungkin akan kau seberangi pula Selat Malaka hanya untuk mencari jejak diriku. Dulu sewaktu masih di kampung, memang pernah kupikirkan dirimu akan menyusulku, atau mungkin mendekatiku saat selembar kertas berbalut rasa kutitipkan pada Cheiza. Namun ternyata,  dugaanku hampa. Kau tak mendatangiku, meskipun hanya sekedar mengucapkan sumpah serapah bila tak berkenan dengan suratku.

Akhirnya, kuputuskan suatu saat diriku harus menjauh darimu, bukan karena kecewaku atas penolakan darimu, namun lebih karena mungkin kau tak kan bahagia bersamaku. Affan,  mungkin dialah lelaki idamanmu, meski kutahu ia telah menaruh hati pada Cheiza sahabatmu.

Kini setelah tiga tahun berlalu, kuharap tak kan ada rindu lagi padamu. Wajahmu telah berusaha kulupakan, tawamu juga, apalagi kernyit keningmu kala senyum tertahan olehmu. Sulit kulupakan makna kernyitanmu, namun tak dapat kulupakan pandangan matamu saat itu. Kuyakin ada cinta di dalamnya,  namun tak kuasa untuk kuteduhkan dalam rasamu. 

Cukup lama diriku berusaha melupakanmu, tiga tahun. Semula diriku yakin telah mampu, hingga sore ini telah menghancurkan keyakinanku.Wanita itu, telah mengembalikan semua rasaku. Engkau telah menjelma kembali pada wanita itu, tatapan matanya sangat kuyakini itu. Keteduhannya telah membuatku menitikkan airmata saat menuliskannya saat ini.

Indah, maafkan diriku bila telah menyamakanmu dengan wanita itu. Kutahu dirimu tak mau disamakan,  wanita tadi juga tak mau disamakan. Namun kemiripanmu telah menghancurkan kekokohanku. Diriku ternyata masih tetap lemah mengalahkan rasa cinta ini. Maafkan.....

Indah, kini izinkan diriku memenuhi ruang masa ini dalam bertumpuk kertas penuh tulisan tentang rasaku. Tumpukan kertas yang tak akan pernah kau baca, nikmati, apalagi menyimpannya dalam lubuk hatimu.Indah,  izinkan diriku mendekati wanita itu dalam mimpiku. Izinkan diriku mengukuhkan rasa dengan menikmati kehadirannya. Izinkan pula diriku memenuhi ruang jiwa ino dengan berimajinasi padanya.  

Kuharap dirimu disana tetap menikmati indahnya pantai berpasir kwarsa. Tiupan angin laut di jelang sore yang kian teduh, deburan ombak kecil menikmati langkah kakimu, dan temaram senja sore yang bersiluet merah dan kuning mengiringi perahu nelayan yang bertambat di pinggiran. 

Kuharap dirimu mengizinkanku menikmati ruang masa yang tersisa dengan memenuhi tumpukan kertas ini dengan banyak pergolakan rasa. Terima kasih, semoga kau menikmati kebahagiaan di ujung pulau berpasir kwarsa....."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar