Sudah lebih dari dua jam Affan menyendiri di bawah pohon cemara laut, sejak selepas ashar tadi. Air laut yang hampir pasang penuh di awal Juni ini tak diindahkannya lagi, bahkan sebagian cipratan ombak yang melebur di pantai itupun nyaris tak menggugah rasanya untuk menjauh dari bibir pantai, menghindar dan mencari tempat yang aman untuk melanjutkan lamunannya. Entah apa yang dipikirkannya, telah lebih dari seminggu ini ia selalu menyendiri di pantai ini. Nampak sekali kegundahan demi kegundahan telah menghajar dirinya ke tepian rasa.
Cheiza Alfinia....
Wanita indah berbulu merak, menari-nari di sepanjang hidupnya. Tak tahu dimana kini ia berada. Sudah tiga tahun ini kerinduannya pada Cheiza dikuburkannya, entah mengapa seminggu ini kembali menjelma.
Ingatannya kembali pada diorama kehidupan yang telah dijalaninya bersama sejak benih-benih rasa itu berkembang kala masa akil balik baru dirasa, pertengahan Sekolah Menengah Pertama. Terlalu muda bagi banyak orang untuk mengenal dan menumbuhkan rasa cinta, namun tidak bagi Affan pada wanita yang sangat dikaguminya. Anak Kepala Sekolah, wanita berparas rupawan yang mengalir darah Tionghoa di dalamnya. Kulitnya nan halus, bersih dan putih, jelas berbeda dengan kebanyakan wanita Melayu.
Cheiza Alfinia....
Nia yang hanya panggilan olehnya, sebagai pembeda atas kedekatannya pada Chiesa. Bukan panggilan sayang, karena cinta belumlah diungkapkan. Terlalu lancang untuk dihamburkan, karena cinta sejati baginya adalah cinta yang diikhlaskan, meski untuk wanita seribu masa di kehidupan bergemilang dan berlimpahruah rasa. Cukuplah bermain rasa, hingga masa kehadiran akan diungkapkannya dengan penuh pengharapan. Tak sanggup baginya bermain kata, menghamburkan jutaan kata melambungkan Cheiza. Bila bathin berasa, maka katapun hanyalah serangkai huruf yang menguatkan makna.
Telah tiga tahun, tak didengarnya kabar berita burung meraknya. Kepak sayap keindahan tak lagi bertampuk di hadapan mata, tari riangnya tak pula dihadirkan dalam pelupuk jiwanya, apalagi serentetan kicauan murni berdaya jiwa meletup rasa.
Cheiza, tiga tahun sudah ia pergi. Menjauh, meninggalkan, dan menguburkan ribuan rasa. Ia telah berjalan jauh melewati laut Jawa, melintasi derasnya arus Selat Karimata, dan pergi melanjutkan mimpinya hingga ke Borneo. Membawa hati yang tak ia ketahui apa yang dirasa, karena ungkapan cinta tak pernah diungkapkannya hingga kini.
"Ahh.....adakah kini ia sedang bersenda gurau dengan rasa yang kumiliki? Borneo, tak pernah kutahu kabar dirimu disana. Adakah gelar sunyi juga kau nyanyikan di tepian Sungai Mahakam sore ini? Ceritakan padaku bagaimana riangnya pesut-pesut itu menikmati keindahan sore. Kalau saja dirimu ada disini, kan kuceritakan pula banyak kebahagiaan yang pernah kusaksikan saat melintas dan menembus Selat Gaspar ditemani tarian lumba-lumba yang berlari ceria. Bercipratan air mengiringi nyanyian baling-baling membelah arus yang menggoda......."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar