"Kala masih kecil, diriku ingin menjadi seorang Pilot. Kan kukelilingi bumi Belitong, kupotret Gunong Tajam dari atas, tepat di atas tiang tinggi di puncaknya, stasiun relay TVRI. Tiang itu tentu hanya akan nampak seperti titik saja, ia tidak bisa menyombongkan diri sebagai yang tertinggi di bumi Belitong, karena diriku yang memotretnya, jauh lebih menjulang tinggi dari dirinya.
Di setengah perjalanan Sekolah Dasar, diriku berubah ingin menjadi Raja, raja dari segala raja di pentas Dul Muluk, semua raja dari negeri seberang akan bersimpuh menekuk muka, gentar dan bergetar bila menatap wajahku. Menentukan putra mahkota dengan seksama, mengatur negeri dengan gembira, jauh dari lalim dan durja, menghibur rakyat layaknya khadam, pelayan istana yang selalu riang gembira.
Setahun kemudian, diriku ingin menjadi penjual mainan keliling di seantero Belitong. Membawa ratusan balon beraneka warna, menyatukannya dengan sebilah bambu berlidah plastik, berbunyi nyaring menggoda mereka, eok...eok....eok.
Anak-anak mengerumuni diri, memilih balon, boneka, karet rambut, kipas kertas, roda kaleng, atau bola plastik untuk berteriak girang menendangnya di lapangan Padang Lutong.
Tak perlu berlembar uang ribuan, cukup bawakan padaku tiga atau lima botol bekas saparilla, atau limun kuning, tak harus botol bekas 7up (seven up) atau sarangsari frambozen hadiah PN Timah di pertengahan Ramadhan. Botol bekas tauco Nyimoi atau Nyunya Kampong Parit-pun kuterima, juga botol bekas pekasam ikan Kampong Tanjong Kelumpang.
Hanya setahun, diriku berubah ingin menjadi bang Madras, bertiup kencang mengayuh sepeda dari Simpang Pesak hingga ke Manggar, tigapuluh dua kilometer, enampuluh delapan menit. Rantai Did, FreeWeel 11, sadel kulit kerbau yang disamak. Loncengnya terompet, suaranya menggelegar melebihi klakson mobil Fargo tukang kanvas keliling dari Tanjong Pandan.
Saat cik Rados kembali dari Indonesia Timur, matanya yang berbinar, tubuhnya yang kekar, dan seragam hijaunya yang tak nampak di antara rerimbunan pohon lada yang menjulur dan memilin di tonggak kayu meranti, diriku berubah ingin menjadi tentara. Sepotong kue kering seukuran jempol kaki yang dimakan jelang tidur, telah mengenyangkan hingga esok malam. Bila jadi tentara, diriku tak perlu memasak nasi, memancing ikan di Sungai Seranggas, atau menunggu Pok Satu jebol di musim hujan, juga tak perlu berladang di Gunung Pedas. Cukup makan kue kering tadi, tigapuluh biji sebulan, maka surau kami segera berdiri karena gajiku dapat untuk membeli semen dan batako di Kampong Padang.
Tiga tahun bertahan, seorang pak pos menggodaku kembali. Tumpukan surat yang ia bawa, dalam karung goni coklat bertutup, berbaju dinas bertopi biru, berlari kencang mengayuh sepeda, mengantongi ratusan ribu uang wesel dari seberang, banyak teman korespondensi di penjuru dunia, tandakan ia lelaki perkasa berilmu tinggi. Ratusan bahasa ia kuasai, buktinya semua surat dari banyak negeri selalu sampai ke alamatnya! tak pernah tersasar, meski alamatnya ditulis orang luar negeri.
Saat Menteri Koperasi meninjau Pice, bendungan sejarah peninggalan Belanda di Gantong, ia menyalami dan berfoto dengan bang Faridz, senyum merekah, ramah, hangat dan intelegensi tinggi. Diriku berubah ingin menjadi dirinya. Pergi ke seluruh pelosok negeri, berseragam kuning di jelang Pemilu, berteriak menggebu di panggung lapangan bola Batu Penyu, membakar jiwa layaknya kami semua generasi pembebas kemerdekaan, kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan yang utama. Diriku ingin menjadi Menteri, juga Politisi.
Usia menapak, pikiran berlogika nyata, nalar menapak sempurna, dan selera kian berubah. Komandan Upacara, di sekolah itu, ujarannya kian mempengaruhi. Dalam, teduh, bijak, juga bermakna. Menyemangati, membakar diri, logat Batak yang kental, tegas : Hidup adalah nasibmu, jemputlah mulai saat ini, jangan kau tunda!
Hanya lima tahun, diriku melengkingkan kata di lapangan, bukan lapangan sekolah tempat lelaki Batak berujar dulu, namun Komandan Upacara sudah digenggaman. Putih abu-abu di hadapan, banyak wanita muda berbedak tipis namun tak bergincu, juga lelaki muda berminyak rambut wangi menggoda, rapi, karena bukan dari minyak kelapa.
Kini, andaikan ada pertanyaan : Bila dilahirkan kembali, dirimu ingin menjadi apa?
Dengan mantap kukatakan diriku ingin tetap menjadi Komandan Upacara. Berdiri di tengah lapangan, berpentas kata di depan kelas, menemani banyak generasi muda negeri, menuturkan filosofi hidup berpandang negeri, dan memodalkan akal, rasa, dan jiwa untuk terus mencipta puisi dan prosa kehidupan di segaris jejak hidup diri. Karena kegembiraan ada disini, kebanggaan ada disini, keindahan tuturan ada disini, dan jarapan indah selalu terbentang luas, jelas, dan nyata disini."
*****
Lembaran kertas itu, tiga lembar, tak dilipat bentuk baju, juga kertasnya tak wangi, kini disimpan Affan di kotak bekas sepatu kain bergaya Bruce Lee. Dilihatnya, hampir penuh berisi, duapuluh dua lipatan kertas, duapuluh dua emosi diri, dan duapuluh dua kekuatan diri.
Hanya ada Dia dan setumpuk kertas itu, jadi saksi gejolak rasa sepeninggalan kepergian Cheiza merantau ke Borneo, melengkapi titel dengan sempurna, the Philosopher, hingga menutup mata di kampung halaman, pedalaman Belitong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar