Senin, 22 Juni 2015

Bapak : Ayah Segala Rasa

Konon, hal yang paling penting dalam hidup manusia adalah hari saat manusia itu tahu untuk apa ia dilahirkan.
(Andrea Hirata, dalam novel "Ayah")

*****

Sahari, lelaki yang ditakdirkan Tuhan menjadi ayah Zorro. Anaknya yang telah menguakkan semua misteri tentangnya. Wajahnya tidak tampan,  tangannya kasar dan kuat, dan gemar berpuisi dan berkisah, beberapa hal inilah yang kemudian menyingkap banyak rahasia tentang dirinya. Tidak tampan,  agar ia tetap menjadi lelaki baik budi dan tak mempertontonkan ketampanan,  juga menjadikan ketampanan sebagai alat untuk memperdaya banyak wanita. Tangan kasar dan kuat, agar gampang dan mudah menghadapi kerasnya hari, termasuk menggendong Zorro. Sedangkan gemar berpuisi dan berkisah, dengan dua hal inilah ia menunjukkan dirinya sebagai lelaki halus,  perasa, dan penuh makna.

Lantas, mengapa hal ini diangkat pada tulisan saat ini? Adakah ini seperti mendomplengkan diri pada novel "Ayah" yang kini memenuhi hampir semua ruang sastra, baik di toko buku atau bincang sastra dimanapun jua? Atau apakah ini seperti resensi saja?

Jelas tidak!
Andrea Hirata adalah Andrea Hirata, ia sudah seperti guru sastra non formal bagi kami, Ia telah mewujudkan mimpinya, sementara kami adalah lelaki Melayu Belitong yang masih memeluk mimpi. Mimpi yang kian hari kian berwujud,  jati diri yang kian nyata,  karena kami mulai melepaskan diri dari kegaiban rasa.

Jadi untuk apa?
Hanya satu hal : bercerita tentang rasa,  sebagaimana banyak yang diriku, dirimu, kita, dan mereka rasakan tentang sesosok lelaki yang dipanggil Ayah.

Seorang sahabat pernah bercerita padaku, bahwa ia sempat lebih dari dua tahun bertempur rasa menaklukkan mimpi. Sebagai lelaki perantauan,  lebih dari duapuluh tahun telah ia jalani. Kuliah, pengangguran intelek, bekerja serampangan,  menjadi praktisi pendidikan,  menganggur kembali,  dan akhirnya menjalani kehidupan sebagai praktisi marketing,  meskipun diawali dengan door to door marketing, membangunkan salak anjing, berlari,  dan gagal berpuluh hingga beratus kali.

Mimpinya nyata, senyata langkahnya. Meski setelah tahun keduapuluh dua mimpi itu kian menemui wujudnya, ia akan dipromosi ke Jakarta. Meninggalkan istri,  anak, dan keluarga. Meninggalkan mereka jauh dari asuhannya, bimbingannya, juga marah dan omelannya.

Bimbang, begitulah adanya. Namun tuntas ia bayarkan segera : Keluarga adalah segalanya, perannya sebagai Ayah atas anak-anaknya,  tak kan pernah tergantikan sampai kapanpun. Ia memutuskan tetap mendampingi mereka sepanjang jejak usia yang masih ada, meski perjuangan duapuluh dua tahun nampak sia-sia, namun anak-anak yang sehat dan berprestasi, jelas telah menjadi bayaran lunas atas semuanya.

Seorang sahabat yang lain juga pernah bercerita, ada penyesalan nyata saat di jelang penghujung usia, tak sampai separuh waktu diberikannya merawat anak-anaknya. Tak ia saksikan si sulung menapak lantai Universitas,  si tengah menjadi pengibar bendera, dan si bungsu belajar mengeja huruf hijaiyah. Saat kesadaran itu tiba,  malaikat maut sudah di depan mata,  iapun kalah bertarung melawan lemparan dan sodokan virus yang menyerang hatinya, sirosis, mengerasnya hati.

Sahabat ketiga juga pernah bercerita,  lima tahun ia berjalan angkuh berangkara murka. Egonya tak terbantahkan,  anak-anak harus mengikutinya membelah rimba nasib, gemerlap kota, namun harus tersungkur di sudut gang sempit, jauh lebih sempit dari gang kelinci.

Banyak,  semakin banyak, dan amat banyak.
Sesungguhnya tidak ada kemutlakan dalam hidup ini, kenisbian yang selalu ada. Dekat bukan berarti benar, jauh bukan berarti salah. Sukses bukan berarti indah, gagal bukan berarti tangis. Membimbing tak harus hadir, jauh bukan dimaknai mengabaikan.

Satu hal yang masih kuingat, ibuku pernah berkata :

"Dulu saat kita membangun rumah ini, semua balok dibuat oleh Bapakmu. Setiap hari selepas pulang kerja dari PN Timah, beliau ke hutan untuk menebang sebatang pohon, lalu dicacah dan dibentuk balok sepanjang empat meter.  Bila libur, balok-balok itu baru diambil dari dalam hutan,  diikatkan di sepeda,  lalu dituntun hingga sampai di rumah. Jadilah rumah ini setelah lima tahun.

Dulu, selepas pensiunan dini dari PN Timah, ikut paket ekonomis saat timah mengalami krisis, bukan hanya krisis biji timah, namun juga krisis kepercayaan, Bapakmu mulai mencangkul di hutan kecil di belakang. Pohon, tunas, juga tunggul berubah menjadi deretan pohon lada membelit batang.  Jadilah mimpimu dirantauan berwujud sempurna : toga hitam,  berkalung biru berstrip kuning.  Lonceng nasib, begitulah ucapan Bapak saat menamakan seperangkat assesories wisuda yang kau kenakan.

Dulu, selama dirimu bertarung menjadi pengangguran, beliau sengaja beberapa bulan tak mensubsidimu, itu karena gubahan rentenir yang harus dituntaskan,  meresahkan.

Dulu, saat dirimu menjelang ke pelaminan,  hanya ibu yang dimintanya pergi lebih dulu menyusulmu, sementara ia harus merendam lada dan menunggunya seminggu,  mengulitinya, menjemur, mengarungi, dan menjualnya. Barulah ia menyusul ke tempatmu agar lengkaplah kami berdua di sisi kalian berdua di pelaminan.  Ingatkah dirimu saat ditanya mengapa ia baru datang belakangan? Jawabnya karena menunggu saudaramu mungkin ada yang dapat menemaninya ke tempatmu.

Dulu, saat Bapakmu bercerita tentang hebatnya para pemain bola di kampung kala melihat anakmu sudah mulai belajar menendang bola plastik, ia pernah mengatakan bahwa Cik Arifin,  kiper terbaik di kampung yang berani menangkap bolz di kaki penyerang,  Cik Mahater bek kanan yang selalu menyapu bola kemanapun dia menghadap, Cik Husairi penyerang lincah berlari seperti kancil hingga seumur hidup dipanggil kancil, dan Bapak gelandang kiri yang selalu mengoperkan bola beberapa meter di depan gawang lawan, hingga cukup satu sontekan atau tandukan sudah menciptakan peluang.

Tahukah kau apa maksud ceritanya?
Hanya satu maksudnya : dulu ia bisa berlari dengan gesit, tapi sejak pensiun dini duapuluh dua tahun lalu, sendi kakinya makin sulit digerakkan.  Asam urat menghantam,  tofi menjelma, lututnya kian tak mampu digerakkan.
Namun ia tak pernah mengeluhkannya padamu,  kecuali hanya membesarkan hatimu dengan bercerita tentang kenangan hebat masa lalu, saat ia masih luar biasa.

Dulu juga Bapakmu pernah mengatakan bahwa tanganmu terlalu kecil untuk menjadi kuli penyekop pasir kwarsa, bahumu tak kokoh untuk memikul sekarung timah, dadamu tak bidang untuk memeluk orang tuamu, namun tulisanmu indah, rapi, dan menggembirakan.

Tahukah kau apa maksudnya?
Ia ingin kau menjadi lelaki Melayu Belitong terpelajar, lebih dari hanya menjadi juru tulis seperti ia saat masih muda,  atau petugas Pemilu di tahun limapuluh lima!


Itulah Bapakmu,  lelaki penjejak makna. Tigabelas tahun usianya,   ia sudah tak berpunya Bapak, yatim. Kerinduan yang tak akan tertuntaskan, hingga ajal menyatukan mereka di alam sana. Kini ia tersenyum bahagia di  pangkuan Bapaknya, lelaki segala rasa".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar