Minggu, 21 Juni 2015

Kelimpahruahan Jiwa : Menghadap Tuhan dengan Ikhlas

Di saat akhir bulan seperti sekarang, semakin banyak orang mengingat Tuhan, banyak berdoa, banyak berharap,  banyak merenung, banyak berbagi,  banyak sholat sunnahnya, dan lain-lain. 
Subhanallah untuk ayat ini "Beribadahlah seolah-olah engkau akan mati besok, dan bekerjalah seakan-akan engkau akan hidup selamanya"
                                            
(Guntur Syaiful,  28 Februari 2014)

*******

Kematian,  ajal, akhir yang berarti awal. 
Diawali tidak ada, lalu ada, akhirnya kembali tiada.
Itulah kepastian, telah tertulis, tak terbantahkan,  hanya dijalani. Akankah kita mendustai? Melupakan? Mengabaikan? Menihilkan? juga menisbikan? 

Ramadhan keempat, pagi menangis, haru, sedih, tiada diduga. Mentari tampak berduka, angin merana, dedaunan runtuh melanda, satu demi satu putik jambu runtuh menyentuh bumi, memenuhi takdirnya. 

Tak ada alasan apapun yang dapat dipertahankan atas gugurnya beberapa daun muda, putik muda, rumput muda, serangga muda, karena takdir telah mereka penuhi. Kesepakatan demi kesepakatan di awal penciptaan telah ditandai, karena semua berwujud pengabdian, tunduk, juga tawadhu, dan ikhlas. Pergiliran telah disepakati, dan kala perjanjian itu telah berakhir, maka kembali menghadap dengan kegembiraan adalah nyata adanya.  

Seorang sahabat pernah mengatakan :
"Bila kita pulang tak membawa uang banyak, Tuhan tak kan marah. Bila kita pulang tak membawa rumah, Tuhan juga tak kan marah.  Namun bila kita pulang tak membawa amal pahala, maka Tuhan pasti akan marah".

Sahabat lainnya juga pernah mengatakan :
"Jangan tangisi daun muda yang jatuh kemudian mengering, karena itulah cara daun tersebut memenuhi janjinya dengan kebanggaan saat menghadap Tuhan."

Dua kalimat tadi, cukup menghibur diriku, anda, dan semua dari kita bila mendapatkan kabar duka. Hari ini, pagi ini, seorang sahabat yang luar biasa sudah mendahului kami, memenuhi janjinya untuk segera menghadap Tuhan dengan kebanggaan. 

Ia masih terlalu muda, Ia terlalu rupawan, ia terlalu tawadhu, ia terlalu teladan, dan ia terlalu melimpahruah bagi kami.  Singkat perjalananmu, singkat pertemuan kita, singkat pembicaraan kita, singkat canda kita, dan singkat pertukaran rasa antar kita. Namun karena singkatlah semua menjadi sangat berarti,  muda usiamu, namun melimpahruah amalmu, bercabang-cabang jasa dan budi baikmu. Tak terhingga,  jauh dari yang kami punya. 

Selamat jalan sahabat Guntur Syaiful, kini ucapan dan doa kebanggaanmu telah memenuhi ruang waktu. Dulu pernah kau ucapkan betapa bahagianya bila Tuhan memanggil kita dalam bulan Ramadhan,  karena kemuliaan di hadapan Tuhan adalah nyata adanya. Kini doamu telah dipenuhi-Nya. Hanya mereka yang spesial dan sangat khusus dimata Allah yang doanya dikabulkan segera tanpa perantara. Dirimu telah memberikan contohnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar