Sabtu, 20 Juni 2015

Cinta, Gubahan Semesta Berirama

"Cheiza....
Hari ini aku ingin bercerita padamu tentang apa yang kurasakan setelah lebih dari setahun tak mendengar sedikitpun kabar berita darimu. Sangat besar rasa rinduku ingin tahu tentang dirimu kini, sangat besar harapku dirimu saat ini bercerita tentang indahnya tarian pesut mahakam yang dulu pernah kau ceritakan dalam suratmu yang pertama, surat yang tak pernah kuduga akan menjadi surat terakhir yang kuterima.

Cheiza......
Tadi siang, saat diriku melangkahkan kaki dan merenung di tempat yang sejak belasan tahun selalu menjadi sahabatku, pohon cemara laut di pantai itu, seorang wanita kulihat asyik memainkan ombak. Kakinya yang putih berselimut pasir putih bersih,  rambutnya terurai, tiupan angin membawa semerbak wangi yang kumaknai. Wanginya memang tak sampai kehidungku, namun imajinasiku yang merasakannya. 

Lebih dari setengah jam ia menikmati ombak itu, bermain dengan riangnya, dan sesekali ia menari layaknya bidadari, lovely angel yang baru turun dari gerbang pelangi di negeri ini. 

Cheiza....
Awalnya ia yang kusaksikan dari kejauhan, hanyalah tarian rasa dari jiwa yang berbeda, tak menarikku samasekali. Namun, kian dekat ia berjalan, kian dalam detak jantungku. 
Duhhhhh.....ia mirip denganmu Cheiza! 

Ingin aku berteriak dan memanggil namamu, namun tenggorokanku sesak, dadaku membuncah, jantungku berdegup kencang. Gugup!
Ingin pula kudekati ia, menyapanya, dan bercerita padanya tentang rinduku pada wanita seperti dirinya,  namun tak mampu. Diriku hanya mematung, takjub menikmati senyumannya!

Ahhh....mungkin karena rinduku,  maka wanita itu mirip dirimu. Rambutnya sebahu, tingginya mendekatiku, keceriaannya juga sepertimu, meski belum kulihat tatapan matanya, tak sanggup! 

Cheiza....
Seandainya dia adalah dirimu, akan kuminta ia duduk di dekatku. Kan kuceritakan tentang kerinduanku setahun ini, menunggumu tiada bertepi. Kan kuceritakan pula bahwa aku hampir gila memikirkanmu, aku kalah dan menyerah.  Juga akan kuceritakan bahwa dadaku tak sebidang dulu, kini kian mengecil. Aku limbung, goyah, dan kian resah.

Dulu Bapak pernah mengatakan padaku, cintalah kekuatan abadi dalam hidup ini. Cinta itu ibarat alam semesta beserta isinya: Mars adalah lelaki, Venus adalah wanita, dan di Bumi mereka dipertemukan. Bintang-bintang adalah hiasan kegembiraan cinta, meteor adalah tarian yang memperindah cinta, dan asteroid adalah cambuk yang kian menguatkan cinta kita.

Cheiza....
Kau tahu,  hanya tigabelas tahun Bapak menemaniku. Kau juga tahu selepas kepergiannya,  nasib mengharuskanku menghadapi debu haru hingga kini. Kegembiraan, semula kukira tak pernah kutemui lagi selepas ia pergi. Hingga pertemuanku denganmu lima tahun lalu. 

Cinta mengubahku, suram menjadi senyum, kelam menjadi dendang,  diam menjadi puisi,  dan duka menjadi cinta.  Cinta yang selama tiga tahun mampu kusembunyikan, meski akhirnya terucapkan di jelang perpisahan. Tak apalah, diucapkan lebih baik daripada dipendam. Aku tak mau seperti bang Salim yang hingga kini terus menahan rindu pada Mei Hwa, amoy cantik di kampung Tionghoa.

Cheiza......
Kalau kata orang cinta itu tak berlogika, hanya rasa, kini aku sudah merasakannya,  sedih!
Ruang waktu telah menjauhkan kita, ruang kata mengekangnya, dan ruang jiwa kian rapuh di perjalanannya. Cinta telah merubahku menjadi ceria, dan kini ia mengembalikanku menjadi bermuram durja. 

Cheiza...
Sayang diriku tak tahu ceritamu kini, hanya rekaanku kini dirimu tengah sibuk memegang buku di tepian Mahakam, mewujudkan mimpimu menjadi sarjana kehidupan. Pesut-pesut menari riang, bergemericik air beriak tenang, mungkin akan kian membahagianmu. Biduk, perahu,  sampan, dan nyanyian para nelayan akan meninabobokanmu, membuaimu memahami mimpi yang kian nyata : bersatu dalam mimpi yang belum berwujud !

Cheiza....
Wanita tadi kini sudah tak di hadapanku, ia telah pergi menembus merah senja. Kini,  hanya diriku sendiri disini. Kertas ini kembali menebus sebagian perjalanan rasaku, tumpah dalam kata tak bermakna seribu. Kertas yang kian hari kian memenuhi rasaku, terselip dalam beratus lembar rasa yang kian tak tuntas. Hanya kerinduan, ungkapan rasa itu kini kian membuncah memenuhi tulang jiwa. Aku kian lemah, maafkan.......


Affan Nur Aditya, lelaki bercahaya penuh cinta.
Rindukan Cheiza Alfinia,  burung merak yang tarikan cinta....."

 *****

Lima lembar kertas itu, kini kembali dilipat Affan, dilipat dan diselipkannya di di buku diary kehidupan, sampul merah muda, Cheiza yang menyampulnya.

Dihitungnya, tigapuluh lima surat sudah dibuatnya sejak Cheiza pergi meninggalkan kampung ini, pindah ke Tanjongpandan, dan kini meraih mimpi di Borneo. 

Affan, kian menghitung hari, penantian tiada tepi, asa tiada nyali, dan cinta tanpa nyata. Hanya bermain kata, hanya bertabur rasa, namun tetap hampa, tak berbalas. 
Membathin........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar