Lidah kelu karena tak bertulang. Bibir bergetar laksana cibirkan pandangan. Huruf bertumpuk, ejaanpun berkerut. Mata mengulir, namun tetap belum mampu tuaskan bunyi lurus, juga lirih. Hanya keberanian, selanjutnya kemauanlah yang lebih utama.
****
Di Ramadhan ini, bukan hanya menahan lapar dan haus belaka, mengisinya dengan mengaji, jelaslah keutamaan diri. Sayangnya, tidak juga diriku, dirimu, kita, juga mereka, kadang tak melancarkan lidah. Alhasil, huruf hijaiyah jadi kian bertumpuk, panjang pendek dibabat rata, tebal dan tipis tak berbeda, dan semuanya berjalan terpotong-potong, mirip orang berjalan dengan bertongkat, begitu ujar Bapak puluhan tahun lalu.
Qasrah, fathah, dhamma, iqlab, izhaar, ihfaa, semuanya dihajar sempurna. Sin dengan tsim, shod dengan dhod, tho dengan dzoo, rho dengan dzai, 'ain dengan ghain, faa dengan qhoof, baa dengan nun, semuanya sering dibunyikan sama, kadang terbolak-balik.
Usia bukanlah acuan atas kefasihan kita, namun keteguhan kitalah yang menentukan. Keteguhan untuk konsisten melatih diri, tentu tanpa paksaan, karena paksaan hanya ada pada masa lalu, meski dari kita ada yang menjadi salah satu contohnya, fasih dan lancar membaca Al-Quran.
Bila dulu, selepas ashar, kami para bujang kecil Melayu Belitong sudah bersarung dan menjunjung Al-Quran ke tempat pengajian, meski awalnya terpaksa dan berlinang airmata, namun airmata bahagia karena beberapa waktu kemudian bangga sebagai muslim karena kitab suci lancar dilafazkan. Tapi tentu saja bukan perkara mudah, sering sekali di awal cerita bibir harus bengkak dan luka karena dihajar sentilan lidi enau sepanjang duapuluh sentimeter. Merah, panas, pedih, jelas tiga kata yang sulit dicari padanannya.
Apakah kami menuntut guru mengaji? Tentu tidak, karena berkat caranya-lah kini kami bisa fasih dan lancar. Tak ada rasa sakit hati, dendam, apalagi marah. Malah di setiap kesempatan kami selalu berusaha memperbaiki diri. Salah itu hakikat manusia, kesempurnaan hanya milikNya, begitulah ucapan guru ngaji saat itu.
Akan halnya saat ini, belasan atau malah mungkin puluhan metode mengaji telah ditempuh. Adakah metode itu tepat? Semua kembali kepada kita masing-masing.
Satu hal yang kufahami dan kuyakini "Lancar karena biasa".
Bila membiasakan diri, maka fasih menjadi milik kita.
Saatnya sekarang kita mengecek dan memastikan lafaz, lancar dan fasih kita. Bahkan bukan hanya kita, sekarang saatnya kita juga mengecek, memastikan, dan melancarkan lafaz-fasih-lancar semua muslim terdekat dengan kita, mungkin istri, suami, anak, saudara, sahabat, calon suami atau calon istri, bahkan juga orang tua kita.
Semoga esok hari kita makin baik daripada hari ini, agar kita tak menjadi orang yang merugi, apalagi mengalami defisit transaksi berjalan. Amien.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar