"Cheiza.....
Ingatkah kau tentang wanita yang kuceritakan dulu? Oh tentu saja kau tak ingat, karena tumpukan surat itu masih disini, tak kukirimkan padamu karena tak tahu dimana alamatmu kini. Sejak dirimu pindah ke Tanjongpandan, lalu kuliah ke Borneo, tak lagi sedikipun kudengar ceritamu. Ibumu tak pernah sudi menerima kedatanganku, apalagi sekedar memberikan alamatmu padaku. Semula kupikir ibumu tak menyukaiku, namun setelah kupikir lebih lama, mungkin ibumu tak mau konsentrasi belajarmu teralihkan dengan surat-suratku yang datang setiap minggu.
Tak apalah, hari ini, tigapuluh tujuh minggu, kembali kutuliskan surat untukmu, sekedar bercerita, mencurahkan apa yang kurasakan semenjak kepergianmu dari kampung ini. Lembaran surat yang suatu saat menjadi jejak pasti, bagaimana perasaanku sejak dirimu pergi.
Cheiza....
Minggu lalu, wanita yang mirip sepertimu singgah ke kampung kita, menemuiku, namun hanya untuk bertanya. Ia ternyata bernama Mawar, merah merekah bunga setaman, warnanya kiaskan semangat cinta berbunga rasa. Ia sahabat pena Indah, sejak Sekolah Dasar katanya.
Sore itu, sempat kutatap wajahnya, teduh. Sulit kubedakan keteduhan itu dibandingkan denganmu, namun gelombang rasaku yang selama ini sesak menyiksa, tenang saat menatapnya. Ketenangan yang sama kurasakan saat membayangkanmu, apalagi melihatmu.
Cheiza.....
Tadi pagi, di Tanjongpandan, diriku bertemu dengannya, di Simpang Lima Tugu Satam. Ia hanya menoleh sebentar, menyapaku, lalu menghilang di ujung jalan. Ingin kukejar ia, namun tak tahu harus berakhir dimana. Diriku limbung, hampa, asa mengosong, dan jiwapun menggosong.
Entah, mengapa kurasakan hal ini. Adakah rasa cintaku kini telah berpaling? Adakah kesendirianku dambakan keharumanmu menjadi sebabnya? Ataukah memang diriku sudah tak kuat menahan rasa? Tak kuyakini jawabanku.
Cheiza.....
Malam ini, purnama belum datang, masih bulan kesebelas. Cerah langit barat, Venus dan Mars-pun berjalan berdampingan di Juni ini. Venus, wanita alam semesta, dan mars, lelaki penjelajah jagat raya, kini telah berjalan mendampingi sang venus. Bulan telah merestuinya, dan bintang telah menggembirakannya, bersorak girang.
Ada rasa iri yang luar biasa menyaksikan mereka berdua, Venus dan Mars telah tampakkan diri menjadi pasangan abadi di jagat raya, bahkan bumi kian cemburu menyaksikannya. Ingin diajaknya sang rembulan, namun puisinya kini tak lagi tautkan rasa, kosong, tak bernyawa.
Cheiza....
Adakah Venus dan Mars kau saksikan di tepian Mahakam malam ini? Tidakkah dirimu iri melihat mereka berdua? Venus hanya untuk Mars, bukan untuk bumi, karena bumi adalah tempat pertautan cinta mereka.
Adakah kau ingat padaku, Affan Nur Aditya, matahari pemberi makna?
Adakah kini kecemburuan dirimu atas Rose Amalia Putri, mawar penebar makna di kala kurindu dirimu? ".
****
Dua lembar, kertas itu kembali dilipat Affan, lipatan yang ketigapuluh tujuh. Hampir setahun Cheiza pergi, kali ini kerinduannya kian di ujung ubun-ubun, rebah!
Ia kian kalah, menuju pertarungan rasa, karena Cheiza memenuhi bentuk nyatanya. Kini ia telah bermetamorfosis menjadi wanita pengharum makna, Rose Amalia Putri, kelembutan di makna hati, wanginya menebar dalam kerinduan diri, jadikan Affan kian terhempas, bukan dalam cinta buta, namun dalam gejolak mimpi tak berujung nyali. Ia kian tak berani menatap Mawar, wanita pengharum mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar