Rabu, 30 Mei 2012

Musim Kulat


Meski Indonesia hanya mengalami dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, namun banyak dari penduduknya yang bermanja diri dengan kenyamanan dan kemudahan yang ada. Seringkali terjadi bila musim hujan maka akan banjir sejadi-jadinya, dan saat musim kemarau akan kering sejadi-jadinya pula.

Hampir tak ada antisipasi yang berarti telah dilakukan oleh generasi kini dalam menghadapi siklus alam yang sudah pasti datang setiap tahunnya. Benarlah bila sebagian besar orang tua mengatakan bahwa generasi sekarang kurang bisa menghargai alam, jarang belajar dari alam, dan kurang mampu memaknai tanda-tanda alam. Benarlah pula bila ada dari mereka juga mengatakan bahwa generasi sekarang hidup hanya pada alamnya saja, hidup hanya saat ia hidup, hidup di masa kini dan tanpa mempersiapkan bekal yang cukup kepada generasi setelah mereka!

Di kampungku, sungguh cukup banyak bukti bahwa generasi pendahulu telah memikirkan tentang semua anak cucunya kelak. Mulai dari kebun durian yang pohonnya berdiameter hampir satu meter dan berumur puluhan tahun, kebun duku yang berjajar rapi di sepanjang pinggiran jalan, hingga hutan rimba yang berjarak kurang dari setengah kilometer di belakang rumahku. 

*************


“Mak......kami dapat banyak kulat. Semuanya kulat pelandok Mak, aku yang pertama kali melihatnya Mak, Abang yang mencongkel dan memasukkannya ke ambong. Mantap benar.... teriakku sambil berlari kegirangan.

“Oi banyak benar dapatnya, kalau begitu dapatlah kita berbagi dengan tetangga kita. Cik Kasni kita beri yang sudah mengembang lima buah, yang masih kemumoknya lima juga. Cik Denan juga sama, kalau cik Ai tak usah karena ia sedang tidak ada di rumah malam ini. Besok untuk cik Ai baru kita beri”.

“Kan susah mak mencarinya, mengapa mesti dibagi-bagi. Untuk lauk kita makan malam ini kan bisa tak cukup, kita kan ramai mak. Semuanya di rumah ini kan ada enam orang”.

“Sedikit atau banyak, kita tetaplah harus berbagi. Kalau sedikit yah kita bagi sedikit, kalau banyak ya kita bagi banyak juga. Rezeki kita tidaklah akan berkurang kalau dibagikan, malah akan selalu bertambah. Kalaupun tak bertambah di dunia, Insya Allah di akhirat kelak akan bertambah. Tapi ingat, semuanya haruslah ikhlas. Tanpa keikhlasan, semuanya tidak akan berarti samasekali,” lanjutnya.

************

“Banyak ya Pak jenis kulat ini? Kalau yang tadi namanya kulat pelandok, adakah nama kulat yang lain? tanyaku saat kami semua sedang beristirahat sambil menikmati lagu keroncong persembahan Waljinah berjudul Pahlawan Merdeka dari sebuah radio Telesonic; Satu-satunya barang elektronik termewah di rumahku saat ini.

“Oh banyak sekali. Ada kulat pelandok yang sering disebut jamur merang, yang kalau di hutan hidupnya banyak di bawah pohon yang sangat rindang seperti pohon kabal; Lalu ada kulat kawan· yang warnanya kecoklatan dan hidupnya selalu dengan banyak kelompok, dan setiap kelompoknya bisa ratusan jumlahnya. Kulat ini banyak hidup di bawah rindangnya pohon pelempang hitam; Kemudian ada kulat tiong· yang ukuran kecil-kecil sebesar jari kaki dan berwarna merah, ini kulat yang tumbuhnya sembarang tempat tapi paling banyak di padang ilalang; Ada juga kulat pepa yang sekilas mirip dengan kulat pelandok, hidupnya juga bergerombol, warnanya persis seperti kulat pelandok namun akarnya atau tampuknya tak berkaos kaki atau berbungkus. Ini kulat beracun; selain itu ada juga kulat tahun yang sering kau makan dengan dipanggang itu. Kulat tahun adalah kulat yang tumbuh sepanjang tahun, banyak hidup di tanah berpasir seperti di bawah rumah kita yang masih berpanggung dulu atau di pinggir rumah sekarang ini, jelasnya.

“Tapi sayang pak, tak ada satupun dari kulat ini yang kokoh, semuanya cepat sekali remuk, rapuh, dan hancur. Seandainya saja.....

“Eit...eit...janganlah kau berpikir bahwa karena kulat terlihat lemah, rapuh dan cepat hancur itu menjadi kekurangannya. Itulah kelebihannya! Karena kulatlah maka banyak sampah yang akhirnya bisa cepat jadi penyubur tanah, karena kulat juga kehidupan ini jadi berwarna warni. Mungkin karena rapuhnya itulah ia ingin mengatakan pada dunia bahwa dibalik kekurangan fisik yang dimilikinya, ia punya kelebihan yang tak dimiliki tanaman manapun! seperti Filsuf kudengar ucapan bapak.

Socrates yang ia kagumi sejak masih Sekolah Rakyat di jaman Belanda dulu ternyata tak pernah pupus dari pikirannya. Kata-katanya tetap menari-nari, teori-teori kehidupannya mengalir deras, dan idiom-idiom penuh makna terus dikumandangkannya. Sungguh Ia pengagum sejati!


· kulat : jamur
· kulat kawan dan kulat tiong : jenis jamur

Selasa, 29 Mei 2012

Stanza Lara, syair kehidupan seorang Penyair Sumsel

Pernak-pernik, tentu sesuai namanya dapat berisi apapun yang dipikirkan oleh sang Penulis. Bisa berupa tips, cukilan artikel, debat publik, persepsi pembaca, atau apapun juga yang semuanya masih mengacu kepada sebuah tulisan yang akan menambah wawasan, cara pandang, pemikiran, dan perasaan kita terhadap sesuatu.

Pada kesempatan ini ingin kuceritakan tentang sebuah pertemuan yang sangat berarti kemaren sore dengan seorang Penyair yang sangat luar biasa. Ia benar-benar Penyair yang sesungguhnya, luas pemahamannya, dalam analisanya, kuat perasaannya, tinggi kepeduliannya, dan sangat tak terbatas antusiasmenya. Kalimat ini sesungguhnya muncul dari dalam hati ini, tanpa rekayasa samasekali. Tidak ada sedikitpun tulisan ini dihubungkan dengan diberikannya 2 buku gratis olehnya lengkap dengan tandatangan, yaitu "Stanza Lara" karyanya sendiri dan novel "Angin" karya Toton Dai Permana.

Mengutip apa yang dituliskannya pada Kata Pengantar Penyair dalam buku "Stanza Lara" ia menuliskan :

"Sebenarnya selalu ada pertanyaan sejak dulu : Untuk apa kita menerbitkan buku puisi? Apa beda puisi yang kita bacakan pada acara-acara sastra, yang kita berikan untuk antologi bersama, atau yang kita bagikan melalui jejaring sosial? Bukankah puisi-puisi itu juga sudah disosialisasikan, disampaikan kepada publik pembacanya?"

Menerjemahkan apa yang ia sampaikan ini, diriku merasa bahwa sangat besar dampak dari jejaring sosial saat ini dalam perkembangan sastra. Sering kulihat, kubaca dan kusimak begitu banyaknya kata-kata indah yang dihadirkan oleh banyak sahabat di banyak jejaring sosial. Motivasinya beragam, namun benarlah kemudian pemahamanku bahwa puisi saat ini telah menjadi sebuah cara berkomunikasi yang sangat indah, dalam maknanya, dan mengundang banyak persepsi dan terkadang misteri di balik proses penulisannya.

Benarlah kiranya bila kemudian sang Penyair Stanza Lara ini menuliskan lebih lanjut di Kata Pengantarnya :

"Puisi adalah komunikasi purba yang statis, yang monologis, sehingga bila kita menulis sebuah puisi, lalu tak seorangpun yang memahami apa yang diinginkan dalam puisi tersebut, maka karya sastra itu gagal. Puisi itu cuma cocok untuk penulisnya sendiri, atau orang-orang yang dianggap mampu memahami makna yang ada dalam puisi tersebut".

Bila berbicara tentang motivasi seseorang menulis puisi, jelas akan sangat beragam. Beberapa mengatakan karena panggilan jiwa, ada yang mengatakan karena dengan puisilah ia mampu menikmati dunia, bahkan ada yang menciptakan puisi demi memikat sesama. Banyak juga yang beralasan melampiaskan suka dan cita akan dunia, mengingat sebuah momen berharga dalam hidupnya, atau juga karena melampiaskan emosi sesaat secara positif.

Cukupkah ini alasannya? Jelas tidak! Dari ujaran sahabatku sang Penyair ini ternyata ada seorang Penulis yang mengatakan bahwa "menulis ini kutukan buatku!". Kalimat yang awalnya kuterjemahkan sangat radikal, namun setelah kurunut ulang penulisan bukuku "Syair Keranjang Pempang" ternyata memang sering muncul kalimat seperti ini secara tidak kusadari. Tidak akan tuntas kutukan itu sebelum Syair Keranjang Pempang selesai kutuliskan. Bang Ian sang Penulis "Yin Galema" dan Nurhayat Arif Permana sang Penulis "Stanza Lara" ini sangat memahami proses penulisan bukuku tadi.

Seperti yang kemudian dituliskan oleh sang Penyair "Stanza Lara" pada lanjutan Kata Pengantarnya :

"Hingga pada Juli 2008, ibuku wafat setelah sakit cukup lama. Aku terpukul sekali. Lalu mencoba menulis sebuah puisi tentang ibu. Lalu berikutnya aku ingin juga menulis puisi lagi tentang ibu. Terus begitu.

Sampai sekarang, aku masih sering mengenang Ibu. Perempuan perkasa yang memiliki keteguhan, ketabahan, dan keberanian luar biasa. Emak adalah superwoman. Sebenarnya aku ingin menulis puisi tentang ibu banyak-banyak, kalau perlu sampai 1000 halaman. Tapi kata-kataku kehilangan daya. Dia mandek sampai tujuh puisi. Inilah bakti kecilku untuk Ibu, sedikit puisi yang mungkin tidak laku bagi Tuhan. Tuhan tidak butuh puisi, dan mungkin Ibupun akan bertanya-tanya: Untuk apa anaknya menuliskan puisi.

Buku ini kalaulah layak--ingin kupersembahkan kepada Ibu dengan segenap jiwa raga. Selain Ibu, perempuan lain yang sepanjang detik ini mengisi hari-hari adalah kekasihku: Titik. Hari-hari kami menempuh sepuluh tahun lebih usia perkawinan adalah puisi panjang yang tak akan pernah selesai ditulis. Juga anak-anak kami yang manis adalah puisi indah sepanjang hidup. Puisiku mungkin tak akan mampu menjelaskan semuanya".

Dalam perasaanku saat membaca apa yang ia tuliskan ini, lirih.............
Tanpa terasa tetesan airmata ikut bergulir mengikuti tombol-tombol qwerty yang menari deras di tengah keheningan malam ini. Melihat Nurhayat Arif Permana, seperti melihat diriku juga dengan segala motivasi yang berlimpah saat mencipta "Syair Keranjang Pempang".

Tidak cukup sampai disini, makin lirih kubaca rangkaian kata pada puisi "Cerita Tentang Ibu 2"  halaman 33 ia menuliskan :

Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Tak ada lagi yang perlu kau sesali dan sesaki
Semua memang harus terjadi, semua sudah harus terjadi

Kata ajaran yang kau yakini, kematian hanyalah awal keabadian
Jika jiwa sudah lepas dari raga, maka selesailah urusan dunia
Selanjutnya bagaimana caramu mendoakannya
Agar dia tetap tenang dan sabar sebagaimana saat dia menemanimu

Kau masih harus menyelesaikan urusan dunia yang padat dan tak menentu
Diantara waktu itu, kau mengenang ibu yang tak pernah keluh
Mesti sangat letih, bertahun tertatih-tatih memperjuangkan dirimu
Agar kau, kelak menjadi manusia bermartabat dan tak bertipu daya

Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Kau harus terus mendaraskan doa, dalam ramai dan sunyi
Tak ada lagi yang mesti kau perjuangkan, selain doa
Selama bertahun-tahun dan tertatih-tatih


Hening, kembali hening saat rangkaian kata itu kubaca dengan penuh makna. Makin deras bulir itu, Ia menjadi nyata. Sangat lirih kuucapkan ,"Sudah kutuliskan apa yang harus dituliskan Pak. Dirimu adalah motivasi terbesar kehidupanku untuk menuliskan dan menyelesaikan buku Syair Keranjang Pempang ini. El Kalami itu kini telah menemukan wujudnya. Semoga dirimu mendapat kemudahan dalam perjalananmu di alam barzakh dan akhirat kelak, amien......"

Senin, 28 Mei 2012

SKP kini telah berkeliling kampong

Bang.....
Beberapa hari terakhir ini kubaca ada banyak perkembangan dari buku Syair Keranjang Pempang yang telah dipublikasikan di nulisbuku. Sangat tak terkirakan senangnya rasa hati mendengar perkembangan terakhir bahwa buku ini mulai banyak diminati banyak orang. Meski dari update terakhir yang kudengar, lebih banyak yang membelinya "bukan urang Belitong" karena ternyata "urang Belitong" masih kurang dari duapuluh lima persen yang memesan dan memiliki buku ini setelah tiga minggu launching di nulisbuku.

Kudengar juga dari keluh kesahmu kemaren pagi, begitu sulitnya menggugah "urang Belitong", hingga kemudian muncul beberapa hipotesa mengapa mereka belum memilikinya : sistem penjualan online, harga yang tinggi, isi yang tak menarik, malas membacanya karena hanya tuturan biasa, hingga perkiraan-perkiraan lainnya.

Salah satu yang sangat mengganggumu adalah perkiraan harga yang terlalu tinggi. Hingga kemudian dirimu (sempat) merencanakan untuk dicetak di tempat lain atau menerima tawaran publish melalui penerbit umum, sehingga kemudian akan ada dan dijual di toko buku umum dengan harga sedikit lebih murah namun dengan kualitas kertas dan pencetakan yang sudah berbeda.

Namun kegundahan kutangkap dengan jelas, itu bukanlah solusi yang menurutmu tepat. Buku Syair Keranjang Pempang sesungguhnya mirip dengan buku-buku asal Belitong sebelumnya, lebih banyak dimiliki orang Belitong di perantauan dibandingkan dengan orang Belitong yang menetap di Belitong. Bahkan Tetralogi Laskar Pelangi yang sudah menduniapun, masih banyak orang Belitong yang tak memilikinya, apalagi yang menetap di Belitong. 

Jadi apa yang dirimu pikirkan bahwa dengan harga yang lebih murah maka kemudian akan lebih banyak orang Belitong memilikinya, menurutku itu tidak akan samasekali. Harga Syair Keranjang Pempang tak lebih mahal dari sekilo timah, bahkan nyaris hanya sepersekian rupiah bila dibandingkan banyaknya uang yang dihamburkan segelintir orang di kampong di malam hari. Bahkan bila mereka ingin memilikinya, cukup hanya mengurangi nongkrong di warung kopi paling lama seminggu, maka buku ini pasti akan mereka miliki. Bila itupun tak mampu mereka lakukan, cukup dengan mengurangi membeli ikan di keranjang pempang yang berkeliling kampong, jangan membeli sekilo tapi cukup setengah kilo.

Diriku juga tahu, bahwa hingga selama tiga minggu jumlah buku yang telah dipesan baik langsung ke nulisbuku atau melalui dirimu sudah lebih dari 83 buah buku. Menurutku ini sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Jumlah kunjungan ke blognya selama sebulan saja sudah lebih dari 1300 kunjungan, itu juga sangat luar biasa! Kemudian jumlah postingan di blog ini selama sebulan sudah mencapai lebih dari 30 buah, itu juga lebih luar biasa karena tiada hari tanpa kreatifitas. Kesibukan yang sesungguhnya tak dapat kubayangkan karena disela-sela mengelola Syair Keranjang Pempang, dirimu juga tetap dan terus melanjutkan penulisan buku-buku selanjutnya, utamanya "Syair Negeri Bumi" yang mungkin menjelang awal tahun ini sudah dilaunching pula.

Aku hanya ingin katakan bahwa pada bulan Mei tahun Duaribu Sepuluh lalu, kita pernah bertemu dan berbicara banyak hal. Salah satu yang kuingat adalah dirimu mengatakan,"Syair Keranjang Pempang kutulis demi baktiku pada tanah kelahiran. Ia akan menjadi salah satu bukti bahwa kecintaanku pada tanah kelahiran tak akan pernah pupus meski diriku sudah puluhan tahun hidup di tanah rantauan. Mengangkat Syair Keranjang Pempang berarti mengangkat tanah kelahiran, berbuat untuk tanah kelahiran, berjuang untuk tanah kelahiran, dan menggaungkan banyak kearifan di tanah kelahiran. Bila nanti buku ini telah selesai ditulis dan diterbitkan menjadi sebuah buku kehidupan, biarlah buku ini memenuhi takdirnya".

Untuk itulah kutulis surat ini. Ingin kukatakan bahwa saat ini Syair Keranjang Pempang telah berkeliling kampung demi kampung. Laksana seorang penjaja keliling kampung yang menjual jajanannya di dalam sebuah keranjang pempang, kini keranjang yang telah berisi banyak kearifan lokal itu telah berjalan menyusuri hidupnya. Mungkin di dalam perjalanan ada orang yang berminat, mungkin saja hanya bertanya tentang apa isinya, mungkin juga malah menawarkan jajanan lain, mungkin hanya ikut berteriak menawarkan pada orang lain namun ia sendiri tak memilikinya, mungkin mengajak barter, mungkin ada yang menitipkan jajanan lain di keranjang pempangmu, bahkan mungkin juga jajanannya tak pernah laku hingga membusuk dan menjadi makanan cacing-cacing tanah. Tak usah abang pikirkan hal itu karena semuanya sudah rencana Tuhan. 

Biarlah Syair Keranjang Pempang berjalan menurut apa yang sudah ditapakinya selama ini. Ia telah menemukan wujudnya, ia telah menemukan takdirnya, saatnya ia memenuhi takdirnya. 
Semangat terus untuk Syair Keranjang Pempang, aku bangga memilikinya!

Salam,

RTO

Sabtu, 26 Mei 2012

Pertemuan dengan Sang Penyair

"Rencana manusia jelas tak pernah sebaik rencana Sang Maha Perencana. Skenario kehidupan jelas bukanlah sebuah proses yang kebetulan, semuanya sudah direncanakan oleh Sang Maha Perencana. Kita sebagai manusia hanya menjalani semuanya dengan penuh keikhlasan".

Kali ini ingin kuceritakan sebuah pertemuan yang sangat luar biasa dengan Sang Penyair itu, ia pekerja seni yang beberapa tahun lalu baru kudengar namanya, namun kemudian menjadi nyata dan ada di hadapan mata saat campaign "Yin Galema" pada akhir tahun Duaribu sembilan lalu di sebuah toko buku terkenal di Palembang. Pertemuan pertama yang sangat berkesan, karena saat melihatnya seperti melihat sebuah energi yang sangat luar biasa, kekuatan tuturan itu memang ada disini.


Saat itu, "Syair Keranjang Pempang" baru memasuki bulan kelima penulisannya, nyaris belum sampai duaratus halaman. Sebuah perjalanan penulisan yang sebelumnya pernah kuragu untuk melanjutkannya, bukan karena ketakutan akan dihantam badai kritik dan cemoohan banyak orang, namun lebih karena kekhawatiranku banyak tuturannya yang menjadi jauh dari kearifan lokal negeri Belitong.

Namun saat kukatakan kekhawatiranku pada beliau, dengan tersenyum ia berkata, "Tuliskan saja apa yang mau kau tuliskan, selanjutnya biarkan tangan Tuhan yang menyelesaikannya". Pelan namun pasti, Syair Keranjang Pempang mulai menemukan wujudnya.Lembar demi lembar mulai menemukan bentuknya, tuturan demi tuturan mulai kugoreskan dengan penuh kemantapan, dan alhasil....enamratus delapan puluh enam halaman akhirnya mencapai bentuknya!

Tangan Tuhan, jelas ini kurasakan saat jari ini mulai menarikan tuturannya di qwerty ini. Semua mengalir, hanya perlu memulainya, maka selanjutnya tangan Tuhan yang akan melanjutkannya. Persis sebagaimana yang telah dikatakan oleh beliau.

Mau bukti? saat ini belum saatnya kukatakan bahwa di tengah keheningan malam saat tuturan demi tuturan menggores pada Syair Keranjang Pempang, ada banyak wujud dan tuturan yang kudengar langsung. Bukan hanya tuturan kearifan, namun juga tuturan koreksi. "Aku tidak sebagaimana ungkapan dan sangkaanmu," kadang kalimat demikian kudengar langsung berupa bisikan di telinga kananku. Sebuah perjalanan spiritual yang nanti akan kutuliskan dalam cerita khusus.

Tiga hari yang lalu, tepat tanggal duapuluh tiga mei kembali Tuhan mempertemukanku dengan beliau. Hari dimana beliau sedang berulang tahun, dalam keheningan suasana rumah yang membuatku merasa iri; iri dengan begitu kuatnya energi yang merangsang diriku untuk menarikan qwerty, berimajinasi memenuhi ruang gerak dan waktu dengan banyak tuturan kearifan yang kuinginkan.

Ada sebuah kebanggaan yang luar biasa saat bertemu dengannya, dua setengah tahun akhirnya mampu kuberikan sebuah buku yang semula sempat kuragu untuk kulanjutkan tulisannya. Syair Keranjang Pempang kini ada di tangannya, seorang Penyair Negeri, Pekerja Seni yang sangat luar biasa, baik secara lahir maupun secara bathin.

Entahlah apa yang ada dalam pikiran beliau saat kuberikan buku itu padanya, hanya sebuah kalimat singkat kugaris bawahi,"Banyak cara kita menuturkan dan menceritakan kearifan negeri Belitong, dan dirimu telah menuturkan dengan cara yang indah".

Alhasil, tak ingin diri ini membusungkan dada. Kesombongan itu tak pernah ada dalam tuturan Syair Keranjang Pempang, maka dalam wujud nyatapun diriku tak boleh menampakkannya.

Sebuah ucapan ikhlas kusampaikan pada beliau,"Bang Ian, terima kasih telah banyak membantuku dengan banyak inspirasi, keheningan, dan renungan. Terima kasih hingga akhirnya tuturan dari banyak orang yang ingin kututurkan akhirnya mampu kututurkan. Permintaan mereka telah kupenuhi".




Kamis, 24 Mei 2012

Syair Keranjang Pempang # 4


Alam terbentang menjadi pelajaran
Manusia berjalan menjadi bintang
Menjemput cita-cita menghindar bayangan
Itulah harap yang terus ditiupkan

Hidup berarak laksana awan
Cobaan membayang tanpa terhalang
Kehidupan yang lebih baik tentu kita inginkan
Siapkan diri sepenuh kemampuan

Tulang berpadu ototpun mengencang
Berkayuh mimpi bersama impian
Harap ditahtakan semangat digoreskan
Berselaput jiwa mengharap kemuliaan


Rabu, 23 Mei 2012

Liu Tui


Bagi yang menyekolah anaknya, bukan berarti mereka dari kalangan berduit atau gedongan, namun sering harus menukar beras mereka dengan sejumlah uang di toko-toko Cina. Beras yang akhirnya berubah menjadi celana jeans atau celana cutbray, baju kemeja tangan panjang, sepatu sirat·, sandal daimatu, hingga kecap dan garam pemuas nafsu pembebas lapar. Nasi bercampur taburan garam dan kuah kecap, makanan favorit seribu kampong!

Pagi itu sebelum jam setengah tujuh, Aku sudah berada di rumah Kik Syamsu untuk menumpang naik motor beliau, duduk di depan persis di tangki bensin; tempat duduk favorit tiada terhingga!

Aku teringat, suatu sore beberapa bulan yang lalu saat kami sedang duduk berdua di tepi pagar depan rumahnya,  Teri pernah bertanya padaku, “Fath, mengapa kalau naik motor kau senang duduk di tangki bensinnya? Padahal kan kalau duduk di situ akan terasa sakit karena tak ada busanya. Kalau kau duduk di belakang kan pasti akan lebih nyaman karena busanya tebal dan ngeper”.

“Ah kau Teri, tak tahu selera kau ini. Duduk di depan itu seperti naik kuda; rambut melambai-lambai, baju berkibar-kibar, dan akupun bisa berdendang ria. Tak takut kena asap rokok, pandangan terasa luas, dan bisa bergaya”.

“Bisa bergaya? Maksudmu gaya seperti apa?” terbelalak matanya mendengar jawabanku. Kedua bola matanya benar-benar besar, mirip mata pelilikan. Mungkin karena inilah ia sering dipanggil Teriandul, Teri dengan mata besar!

”Nah, ayo ikut aku ke rumah kakik,” kutarik tangannya.

”Itu kau lihat gambar gede di dinding rumah kakek,” tanganku menunjuk sebuah gambar yang menempel di dinding ruang tengah rumah Kakek; sebuah gambar seorang koboi yang sedang menunggang kuda. Rambutnya melambai-lambai, tali kekangnya ia pegang erat-erat, bajunya yang putih dan celananya yang memakai tali disilangkan di belakang tubuhnya. Semuanya tampak menambah gagah sang koboi.

”Gambar itu maksudmu? Tak ada yang bagus dengan gambar itu. Kertasnya saja sudah lulus dan berwarna kuning, ada bekas tetesan air hujan dari atap lagi. Belum lagi sudah banyak langas·.Benar-benar aku tak mengerti maksudmu”.

“Dasar kau  dayang yang tak berjiwa seni. Gambar sebagus itu malah kau sebut gambar tak berselera. Cobalah kau perhatikan kembali gambar itu, pasti kau akan dapat menangkap apa yang aku maksudkan itu”.

“Tak tahu aku Fath. Gambar itu memang ada tulisan, tapi aku tak tahu bagaimana cara membacanya, apalagi artinya,” jawabnya sambil menunjukkan sederet tulisan berwarna kuning tua bercampur putih di pinggirannya.

“Okelah, kalau begitu sekarang aku jelaskan padamu ya. Kita duduk dulu di kursi itu,” kuajak ia duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya hampir tiga meter, kursi yang tidak ada sandarannya karena hanya terdiri atas kaki berjumlah empat buah dan sekeping papan yang dipakukan di atasnya. Itulah kursi makan kebanggaan kik Syamsu; Sang Lurah yang hidup penuh kesederhanaan.

“Sekarang kau lihatlah gambar itu, jangan kau lihat kertasnya yang kuning bercampur hitam langas dari dapur dan ada bekas tetesan air hujan dari atap sirap yang bocor di atasnya, tapi lihatlah nilai seninya yang tinggi itu”.

Mendengar perkataan ini, terlihat sekali Teri membelalakkan matanya dan berusaha sekeras-kerasnya untuk memahami apa yang aku katakan.

“Kau lihatlah gaya sang koboi itu, lihatlah dengan penuh kecermatan! Lihatlah ia berbaju putih dibungkus rompi, topi diikatkan di pinggang kiri yang ukurannya selebar telapak tangan, tali kekang dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan memegang pistol, sepatunya tinggi, dan kuda putihnya yang bulunya bersurai-surai di lehernya itu. Wuih...sungguh gambar yang hebat! lanjutku.

“Sekarang sudahkah kau faham yang aku maksudkan itu?”.

Hanya menggelengkan kepala saja, dedikitpun tak keluar pendapat apapun dari lidahnya. Sungguh mengecewakan, harusnya wanita lebih sensitif pada seni daripada bujang kecit anak Melayu. Ia memang tak berjiwa seni!


· sepatu sirat : sepatu kulit khas Belitong (lihat kamus)
· langas : jelaga

Senin, 21 Mei 2012

Launching Buku

Mengutip apa yang pernah dikatakan oleh seorang pakar marketing, yang mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menentukan suksesnya sebuah produk, diantaranya adalah produk itu sendiri, aktifitas promosi yang dibangun, harga yang ditawarkan, dan orang yang memasarkannya  (dalam hal ini siapa penulisnya, bila mengacu pada Syair Keranjang Pempang).

Secara khusus sesungguhnya dapatlah kita bahas bahwa dari sisi produk, jelas Syair Keranjang Pempang merupakan sebuah produk yang  bernuansa kedaerahan, mengangkat berbagai kearifan lokal, berisi tuturan-tuturan sederhana yang dipadukan dengan syair dan pantun dengan nuansa Melayu Belitong yang sangat kental. Produk ini menjadi langka karena memang berbeda dengan produk kebanyakan; Diferensiasi memang penting untuk sebuah produk.

Selanjutnya menyangkut aktifitas promosi yang dilakukan, jelas juga Syair Keranjang Pempang selalu dan terus mencoba untuk merangkul banyak pihak, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Melalui dunia maya, selain melalui media sosial berupa FB, juga dengan blog dan twitter yang sengaja diaktifkan untuk media komunikasi dan promosi; Branding jelas merupakan hal yang tak bisa dipisahkan dalam aktifitas promosi agar selalu dan terus terbangun dengan baik dan tetap sesuai jalur yang diinginkan. Kemudahan dihubungi, tentu menjadi pertimbangan utamanya.

Kemudian menyangkut harga. Mengacu apa yang dikatakan dalam buku "Blue Ocean Strategy" bahwa harga bukan merupakan faktor utama sebuah produk itu dapat dibeli orang lain. Namun image, branding, positioning, dan promotion-lah yang memegang peranan penting. Menurut diriku, seratus duapuluh lima ribu rupiah jelas harga yang sangat layak untuk sebuah buku setebal 688 halaman yang mengangkat banyak kearifan lokal di negeri Belitong. Waktu penulisannya yang memakan waktu nyaris dua tahun, menjadi pertimbangan lainnya. Selain itu pencetakan di nulisbukudotcom yang menganut sistem POD (print on demand) dengan kertas berkualitas HVS dan lem terbaik serta perlakukan pengiriman terbaik menjadi pertimbangan selanjutnya hingga harga akhirnya ditentukan seperti itu.

Lantas apalagi?
Jelas, sebagai sebuah produk maka Syair Keranjang Pempang tak kan pernah lepas dari keseharian sang Penulis. Buku ini seperti menjadi wujud nyata diriku dalam keseharian yang bergelut dengan dunia training dan marketing di satu sisi, dan dunia pemberdayaan dan pengamatan prilaku sosial di sisi yang lainnya. Buku ini menjadi perpaduan dari kedua hal tersebut. Transformasi demi transformasi tuturan, terkadang memang nyaris sulit ditangkap karena tertutur dalam banyak bahasa kiasan. Namun kadang juga lugas bila menyangkut prilaku sosial yang diamati.

Suatu saat memang akan dilakukan aktifitas "Launching" secara resmi untuk buku ini. Namun semua tahapan launching tentu secara bertahap, pelan namun pasti dan terukur. Beberapa aktifitas launching ini akan dimulai tentu saja di Palembang, tempat keseharian diriku bertutur dan mendalami dunia training. Aktifitas ini direncanakan akan dilakukan bersama kelompok NulisbukuClub Palembang pada tanggal 24 Juni 2012 yang akan datang.

Selanjutnya direncanakan akan juga dilakukan launching di Belitong, pastinya di kampongku Batu Penyu di kecamatan Gantong kabupaten Belitung Timur. Aktifitas sederhana dengan cara launch yang sederhana pula; hanya berupa bedah buku singkat dan penyerahan beberapa buah buku untuk perpustakaan sekolah, perpustakaan mesjid, dan perpustakaan desa.

Mungkin juga nanti akan dilakukan launching bersama Alumni SMA Negeri Manggar utamanya angkatan '88 di sebuah tempat yang sedang direncanakan (mungkin di SMAN Manggar, Pantai Lalang, atau tempat lainnya). Mengenai waktu, sedang direncanakan bertahap dan tentunya meski pelan namun terukur.

Apakah kemudian akan dilakukan launching di tempat lain?
Sangat mungkin bisa juga dilakukan launching tambahan di Tanjongpandan ataupun di Jakarta, Pangkalpinang dan tempat lainnya. Namun hal ini belumlah prioritas, karena yang paling prioritas adalah launch di komunitas NulisBukuClub Palembang dan di kampong Batu Penyu-Gantong-Belitong.

Launching di NulisBukuClub Palembang karena merekalah salah satu motor hingga terbitnya buku ini, sedangkan launching di kampong karena pada mereka yang ada di kamponglah sesungguhnya tujuan utama buku ini ditulis selain sebagai jejak untuk keluarga terdekat.

Saatnya mereka semua yang di kampong Batu Penyu (insya Allah siapapun yang tinggal di Belitong, dan termasuk urang Belitong di tanah perantauan) untuk bangga dan terus mengangkat banyak kearifan lokal di Belitong.

Semoga...!






Sabtu, 19 Mei 2012

SKP, wujud kekuatan dan tekad diri

Kando....
Ada kebanggaan dan salut yang sangat luar biasa saat diri ini menerima sebuah buku darimu, buku yang sejak awal kuyakin akan dapat diselesaikan meski dengan banyak pengorbanan di tengah banyak siklus kehidupan yang telah kau jalani.

Dua tahun yang lalu, secara langsung kudengar rencanamu yang telah mulai menuliskan sebuah buku kehidupan. Semula tak dapat kubayangkan bagaimana isi dan tuturan di dalamnya. Hanya sebuah bocoran yang tanpa sengaja saat itu meluncur darimu, sebuah buku kehidupan yang mengangkat kearifan lokal di kampung halamanmu Belitong, tempat yang sangat kau banggakan sejak dulu.

Sangat kudukung hal ini, karena memang keseharianmu selalu penuh emosi yang meledak-ledak bila bicara kearifan lokal. Pengamatan dan renunganmu pada banyak kejadian keseharian memang sering berbeda dengan apa yang banyak kami tangkap. Motivasimu nyaris seperti tak pernah padam, bahkan sempat kuingkari bahwa dirimu laksana sinar yang tak pernah meredup. Nyaris tak pernah tampak rasa duka.

Beberapa penggalan cerita pernah secara sengaja kubaca di notes facebookmu, sempat tak mampu kupercayai bila itu tulisan-tulisanmu. Namun ternyata memang itulah tulisanmu, tulisan kehidupan orisinil yang memang lahir dan dilahirkan secara sengaja dengan menggali banyak pengalaman dalam perjalanan kehidupan selama dirimu hidup di Belitong.

Cerita yang kau tuturkan kala itu, selalu mengundang imajinasi kami untuk merasa seolah berada di antara mereka yang sedang kau tuturkan, benar-benar tokoh kehidupan yang hidup diantara kami. Entah kekuatan apa yang membuatmu menjadi menuliskannya dengan karakter yang begitu kuat, sulit kujawab. Hingga muncullah perkiraanku bahwa dirimu menulis di tengah keheningan malam, dengan tubuh yang penuh wudhu, bersih dari nafsu duniawi. Tuturan yang semakin hari semakin kuyakin bahwa memang beginilah harusnya kita hidup di dunia, menjadi manusia sesungguhnya dengan banyak kearifan yang kita tebarkan.

Secara pribadi aku sangat salut dengan upaya-upayamu, benar-benar salut. Meski sebenarnya ada kekhawatiran yang sangat mendalam saat Bapakmu mengalami sakit dan kemudian memenuhi panggilan Sang Maha Pemilik, dirimu seperti orang yang sangat berduka. Benar-benar duka yang sangat dalam.

Sangat kuingat kala itu dirimu lebih banyak berdiam diri, hening, nyaris tanpa bunyi. Kekhawatiranku ternyata juga dirasakan oleh sebagian besar dari kami, hingga beberapa sahabat memintaku untuk datang secara khusus menghiburmu. Namun aku tak pernah memenuhi apa yang diinginkan mereka, bukan karena rasa sungkan, namun lebih karena keyakinan bahwa dirimu pasti mampu melewatinya dengan lebih baik.

Ternyata dugaanku benar, selepas 100 hari meninggalnya Bapakmu, tulisan Syair Keranjang Pempang kembali kau lanjutkan. Bahkan makin dalam dan makin tajam saja. Memang ada sejumlah pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu bagaimana mengatasi dan mengisi rasa duka yang mendalam itu, dan kemudian membalikkannya menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar hingga buku ini mampu kau selesaikan. Namun kembali pertanyaan itu tak kutanyakan padamu, dan berharap akan kutemukan dalam bukumu.


Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu, buku ini benar-benar memenuhi kodratnya; Syair Keranjang Pempang telah menjadi salah satu koleksi utamaku di lemari ini. Ada kebanggaan yang sangat luar biasa, sulit diucapkan dengan kata-kata.

Alhamdulillah pula, beberapa pertanyaanku saat dukamu sedang mendalam kala itu juga menemukan jawabannya. Sebuah bagian dari buku Syair Keranjang Pempang yang berjudul "Heninglah, maka akan kau temukan esensi diri" ternyata adalah jawaban yang sangat luar biasa atas keheningan yang telah kau alami selama Bapakmu sakit hingga seratus hari beliau meninggal. Keheningan yang tentu saja sangat berarti bagimu, juga bagi kami yang telah membacanya.

Selamat Kando, telah kau tuturkan indahnya kehidupan ini. kearifan-kearifan lokal itu memang harus dituturkan untuk perenungan, penghibur, dan penyemangat diri.
Semoga Syair Keranjang Pempang terus memenuhi kodratnya sebagaimana yang telah kau sampaikan padaku. Sukses!!

Dindo,


JMR



Jumat, 18 Mei 2012

Transformasi Judul dan cover

Pagi tadi sesungguhnya sangat indah, bangun tidurku telah dihadirkan sebias pelangi indah di belahan bumi barat. Meski goresannya tak lengkap, namun langit cerah di sekelilingnya telah memancingku untuk terus berimajinasi menggoreskan seperangkat tuturan dalam blog sederhana yang sekarang sudah mulai menjadi menu keseharian bagi beberapa orang. Mereka mulai rutin mengunjunginya, dan untuk merekalah kutuliskan tuturan ini malam ini.

Ingin kuceritakan bahwa di awal penulisan Syair Keranjang Pempang, ada sebuah kekhawatiran saat tuturan yang kuangkat berkisah tentang banyak kearifan di negeri Belitong. Sesungguhnya bukan tuturannya yang kukhawatirkan, juga bukan orang-orang di dalamnya yang sebagian besar (masih) menggunakan nama aslinya. Namun kekhawatiranku adalah karena ada nama besar Belitong di dalamnya.

Belitong, tidak dipungkiri dalam dua sampai tiga tahun terakhir ini menjadi sangat terkenal oleh sebuah novel yang sangat fenomenal. Belitong yang semula hanyalah sebuah pulau kecil yang nyaris tak dikenal samasekali oleh banyak orang di Indonesia apalagi di luar negeri, akhirnya mulai mendunia. Banyak orang bertanya padaku, banyak orang berencana datang, dan makin banyak orang mengagumi keindahannya. 

Saat kukatakan pada seorang teman di Sragen di akhir tahun 2009 lalu bahwa diriku mulai menulis buku yang rencananya berjudul "Syair Keranjang Pempang" yang mengangkat berbagai kearifan lokal di negeri Belitong, ia menyatakan kegembiraannya. Jarak itu menjadi begitu dekat saat ia mulai menjadi penikmat cerita-ceritaku saat itu, meski sering ia harus sabar menunggu hingga tengah malam (karena sering cerita kuposting jelang tengah malam sebelum kulanjutkan tulisanku). 

Cerita akhirnya semakin banyak, hingga nyaris 500 halaman A4 kuselesaikan hingga Mei 2010, saat dimana kami dipertemukan Tuhan di bumi Belitong. Tahap finishing kala itu, namun ternyata harus tertunda karena sebaik-baik Perencana hanya Sang Maha Perencana.

Almarhum Bapakku kala itu bertanya tentang rencana judulnya. Kujawab rencananya  "Syair Keranjang Pempang" dan ia menyetujuinya. Hanya saat kukatakan bahwa di sampul depannya akan ada tulisan "Sebuah novel berlatarbelakang kearifan lokal di negeri Belitong" wajahnya sedikit mengernyit. Jelas ada kekhawatiran bila suatu saat buku ini diterbitkan dan dibaca khalayak ramai seolah "aji mumpung".

Saat kujelaskan padanya bahwa diriku bangga lahir sebagai "urang Belitong" dengan segala kearifan kehidupan yang kutemui selama perjalanan hidupku di Belitong, barulah ia memahaminya. Beliau memang sangat khawatir bila ada wajah-wajah dan cibiran-cibiran atas apa yang telah kutuliskan.

Sahabatku dari Sragen juga mendukungku, iapun mengatakan tak usah takut tentang apa yang akan terjadi atas buku yang nanti akan diterbitkan. Tetaplah jalan, tetaplah tuliskan, tetaplah tuturkan. Bukankah buku ini lahir karena bakti diri pada bumi Belitong yang telah melahirkan kita?

Alhasil, butuh satu setengah tahun bagi diriku untuk menguatkan diri menyelesaikan buku ini dan menerbitkannya di nulisbuku. Tak mudah memang, karena dalam perjalanannya sempat ingin kuganti namanya menjadi "Syair Keranjang Hati", lalu "Nyanyian Keranjang", atau "Syair Kehidupan"

Namun, tetap panggilannya harus "Syair Keranjang Pempang".
Banyak kebanggaan lahir di dalamnya. Kebanggaan sebagai orang Belitong, kebanggaan karena keranjang pempang bermakna sebuah perjuangan mencapai tujuan dengan segala rintangan dan tetesan keringat lengkap dengan airmata. 

Wujud syukur kupanjatkan, akhirnya nama itu tak berubah samasekali. 
"Syair Keranjang Pempang --sebuah novel berlatarbelakang kearifan lokal negeri Belitong" jauh dari dugaan ataupun sangkaan mengaitkannya dengan popularitas Belitong. Juga jauh dari keinginan untuk tampil mendampingi beberapa Penulis terkenal dari negeri Belitong (Andrea Hirata, Ian Sancin, Fithrorozi, dan Roxana). 

Syair Keranjang Pempang sekarang sudah memenuhi kodratnya. Ia telah menjadi sebuah buku sejarah kehidupan bagi istri, anak-anak, dan keluargaku. Syair Keranjang Pempang yang telah menjadi besar karena mereka semua telah memilikinya. Ia menjadi bukti bahwa di dunia ini pernah hidup seorang lelaki kampung asal Batu Penyu yang dalam kesehariannya tak pernah lepas dari keranjang pempang.

Keranjang pempang yang selalu menjadi nyawa kehidupan, tidak saja bagiku, namun bagi banyak orang di Belitong. 
Selamat berjuang wahai Syair Keranjang Pempang, teruslah menebarkan keranjang-keranjang kearifanmu ke seluruh penghuni negeri. Semoga!



Kamis, 17 Mei 2012

Syair Keranjang Pempang # 3

Kering....
Keriput....
Gurat dahi terus berkerut
Kaki dan tangan makin mengeriput

Putih...
Mulus....
Tak sedikitpun hitam terbentang
Tak sebutirpun pasir menghadang
Hanyalah wajah putih berselimut rambut penuh uban

Pecah...
Kawahpun menganga...
Hitam tergores korengpun membekas
Varises menggumpal laksana gunung saling menggulung

Satu bermakna tunggal
Dua bermakna kekuatan
Bapak dan Umak terus setia
76 tahun sudah menghamba pada Sang Pencipta

Tetes keringat terus setia
Meski tetesan air mata sudah tertunda
Senyum merekah yang ia damba
Di sisa hidup penuh rencana

Hidup dan mati milik Sang Kuasa
Butiran air mataku tetap ada
Menatap wajah berjuta pahala
Mengantarkan diriku hingga tak bermuram durja

Tak tahu kapan maut menjelma
Meski 76 bermakna luar biasa...
Meski gurat sang maut telah kurasa...
Meski kesedihan datang tiada disangka...

Laksana nyanyian pohon kelapa
Putik dan buah jatuh tiada terencana
Semua sudah digariskan Sang Maha Bernyawa

Doa dan harap terus ditorehkan di dalam asa
Semoga kelak kita kan berjumpa pula
Dalam pelukan indah Sang Maha Bijaksana

Rabu, 16 Mei 2012

Pucuk Karet, Ujian Kesombonganmu


“Nah itu dia maksudku Fath...lihatlah gagangnya berbahan dasar plastik bekas potongan pipa tebal yang mulus karena kuamplas. Beda sekali dengan gagang ketapelmu yang dari kayu kelebantui· yang tidak sama ukuran sisi kanan dan kirinya, gagangnyapun kasar tak pernah kau amplas dengan beling”.

“Karetnya rapi dan lentur karena aku ambil dari bekas karet ban dalam sepeda motor kik Mahidin. Sengaja aku minta pada beliau karena karet ban motor jauh lebih baik daripada karet ban sepeda,” lanjutnya.


“Tempat batu  ketapelnya aku pakai bekas kulit sepatu bola cik Usa yang tak dia pakai lagi. Lalu batunya untuk peluru sengaja aku siapkan lebih dulu. Aku pilih batu yang ukurannya sesuai, bentuknya agak bulat, dan beratnya sesuai. Jadi pas dilontarkan akan bagus lari arahnya,” lanjutnya lagi.

“Wah..hebat ini. Aku jadi tahu caranya. Artinya kalau ketapelku sudah sebagus punyamu, maka aku pasti akan menang dalam setiap pertandingan kan?”.

 “Oh belum tentu”.

“Mengapa belum tentu? Artinya aku masih bisa kalah juga?”.
sumber : www.kaskus.us

“La iyalah...masih tergantung seberapa sering kau berlatih. Bukan hanya berlatih membidik, namun juga berlatih mengontrol diri”.

“Kalau yang itu sih aku yakin bisalah melakukannya,jawabku sombong karena terlalu yakin bisa melakukannya dengan baik.

“Kurasa meskipun kau melakukan semua yang aku sarankan tadi dengan baik, Kau tak akan pernah jadi pemenang pertarungan-pertarungan seperti ini,” kata Cuam sambil mencibir, mulutnya monyong dan wajahnya nampak kecewa mendengar perkataanku tadi. Iapun segera berlalu dari hadapanku tanpa menghiraukan sedikitpun Aku yang sedang kebingungan melihat sikapnya.

“Oke teman, tunggu dulu. Jadi aku benar-benar tak akan menang? tanyaku penuh penasaran.

“Ya, kau tak akan pernah menang selama dalam pikiranmu masih ada kepicikan-kepicikan, sikap meremehkan dan menganggap enteng, kesombongan, dan ketidakmampuanmu akhirnya akan mengendalikan rasa senangmu,” jawab Cuam sambil membuka baju dan bersiap-siap untuk menceburkan diri ke pemandian Kik Canan yang sudah berada dihadapan matanya.

· kelebantui : sejenis pohon perdu (lihat kamus)

Selasa, 15 Mei 2012

Penyair Kehidupan dan Sepotong Daging bernama Hati


Gurindam 12, tentu hampir semua dari kita pernah mendengar, bahkan mungkin ada beberapa orang yang pernah membaca dan melakonkannya. Gurindam 12 merupakan puisi karya sastrawan asal pulau Penyengat kepulauan Riau yaitu Sultan Ali Haji, yang berisi petuah bijak bagi kehidupan manusia.  Untuk mengingatnyalah, maka di kota Bintan kemudian dibuat tugu besar yang berisi Gurindam 12 secara lengkap.

Namun pada tulisan kali ini, tak akan kutuliskan isi Gurindam 12. Hanya ingin kusampaikan bahwa Puisi dan Penyair mirip golok dengan sarungnya, pistol dengan pelurunya, lampu dengan laronnya, bulan dengan bumi, wanita dan pria, ataupun banyak perumpamaan lainnya ; selalu tak terpisahkan dan saling melengkapi. Kekuatannya sungguh sangat luar biasa, meskipun terkadang terkesan ”aneh” dan sulit difahami oleh beberapa orang.

”Puisi adalah alat komunikasi purba yang statis, yang monologis. Sehingga bila kita menulis sebuah puisi lalu tak seorangpun yang memahami apa yang diinginkan dalam puisi tersebut, maka karya sastra itu gagal ” (Nurhayat Arif Permana dalam Stanza Lara halaman 9).

Mungkin kesan inilah yang muncul pada beberapa orang yang sudah membaca sebagian atau keseluruhan isi Syair Keranjang Pempang. Bisa jadi karya sastra ini gagal, bila tak mampu difahami oleh pembacanya. Melihat judulnyapun, banyak yang masih mengernyitkan kening; berpikir keras tentang maknanya. Apalagi setelah membaca bahwa Syair Keranjang Pempang adalah sebuah novel kehidupan yang mengangkat kearifan lokal di negeri Belitong. Jelas makin tinggi alis mengernyit, makin banyak tanda tanya yang muncul, bahkan mungkin ada beberapa Penyair yang gusar dan mempertanyakan eksistensi dan hakekatnya. 

Namun hal ini ”terpaksa” harus kuabaikan lebih dulu dengan menciptakan blog sederhana ini. Paling tidak, apa yang kupikirkan tentang berbagi keindahan, berbagi rasa, berbagi semangat, dan berbagi kekuatan akan terus berjalan dan berputar dalam lingkar hidup yang telah digariskan oleh Sang Maha Penyair.

Lantas mengapa di dalam judulnya harus ada kata ”syair”? Bukankah ujarannya terlalu berat, apalagi diriku tak ada dasar dan pengalaman sebagai Penyair?
Sederhana saja, kehidupan itu sendiri sesungguhnya adalah ujaran dan tuturan yang bila dirangkaikan akan menjadi sebuah kekuatan yang indah untuk menggugah dunia. Rangkaian kata dan kalimat sederhana sekalipun, tetaplah mampu digoreskan dalam banyak syair kehidupan tiada terbandingkan!

Seorang Penyair kawakan asal Palembang yang merupakan sahabat Penyair Nurhayat Arif Permana yaitu M. Iqbal J.Permana yang baru saja meluncurkan syairnya berupa buku berjudul ”Seluang Poetica”  yang diterbitkan Tavern Artwork beberapa minggu yang lalu mengatakan dalam kata pengantarnya :

”Menjadi Penyair barangkali bukanlah sebuah cita-cita yang menjanjikan dan karena itu para orang tua menjadi khawatir jika ada anak mereka yang tiba-tiba mengatakan ingin jadi Penyair. Profesi Penyair kalah populer ketimbang dokter, pilot, astronot, atau presiden. Bahkan juga masih kalah populer dibandingkan pengacara, petani, dan pedagang.

sumber: dzikirpengobatqalbu.com
Tetapi Penyair harus tetap ada di dalam sebuah negara atau pemerintahan, baik klasik maupun modern. Penyair hadir untuk menjadi penyeimbang agar sistem yang berjalan tidak berat sebelah. Penyair dibutuhkan untuk mengingatkan manusia bahwa ada benda kecil di bawah jantung bernama hati yang harus dipelihara, agar aliran darah berjalan normal dan semua perintah dapat dikontrol”.

Meski secuil, semoga Syair Keranjang Pempang akan terus menemui banyak makna dan memenuhi kodratnya menebarkan ujaran dan tuturan berbungkus kearifan lokal di negeri Belitong, amien....!


Senin, 14 Mei 2012

SKP, Bukti Baktimu Pada Negeri Belitong


Kawan Sekampong,

Sangat tak terkirakan pertemuanku hari ini denganmu, Tuhan ternyata telah punya rencana yang sangat luar biasa dengan pertemuan kita. Nyaris 2 tahun lalu kita pernah bertemu di Belitong, pertemuan yang menurutku luar biasa karena merupakan pertemuan pertama kita setelah 22 tahun berpisah. Tak ada lagi yang kuperkirakan akan lebih hebat dari pertemuan saat itu di Pantai Nyiur Melambai, Lalang - Manggar - Belitung Timur. 

Namun siang ini, diriku benar-benar sangat terkejut, dirimu menunjukkan sebuah buku. Semula tak kuketahui siapa Penulisnya, apa saja yang ditulis di dalamnya, dan apa maksud ditulisnya buku itu. Hanya saat kupegang buku itu, ada getaran aneh yang kurasa saat membaca sampulnya "Syair Keranjang Pempang - Sebuah novel berlatarbelakang kearifan lokal Negeri Belitong".

Langsung bangga kubaca covernya, Negeri Belitong makin banyak didengungkan, hingga makin banyak buku yang bicara Belitong. Kubolak-balikkan beberapa halaman penting, daftar isi, ucapan terima kasih, dan beberapa cerita di dalamnya. Singkat kubaca, sekedar menuntaskan rasa ingin tahu saja. Namun sudah ada keinginan untuk memilikinya, meski masih ada rasa malu untuk menanyakannya bagaimana cara mendapatkannya.

Hampir sepuluh menit kubaca beberapa bagian penting itu, hingga akhirnya terpaparlah halaman terakhir bernomor 686. Profil Penulis itu sangat mengagetkanku, ternyata.... Dirimulah Penulisnya!!

Sangat tak terduga, dirimu yang kukenal sejak SMA tak ada bakat samasekali dalam menulis, tiba-tiba telah berhasil menulis buku setebal ratusan halaman. Berlatarbelakang Belitong pula! Makin menarik untuk kubaca.

Banyak sesungguhnya yang ingin kutanyakan dan kuungkapkan padamu, namun makin banyak kupikirkan, malah makin tak terpikirkan bagian mana yang terpenting. Hanya satu hal yang membuatku salut saat kau katakan ,"Buku ini kutulis demi baktiku pada tanah Belitong. Aku tak tinggal di Belitong, tak mampu membangun Belitong secara langsung sepertimu dan kawan-kawan yang lain. Hanya dengan menulis tentang Belitong inilah salah satu caraku membangun Belitong. Baktiku pelan namun pasti telah kutunaikan".

Selamat Kawan, kau telah menunjukkan baktimu. Aku yang tak punya kemampuan menuturkan apa yang kupikirkan, hanya bisa mendukungmu dengan membeli dan menuturkannya pada semua kerabat dan sahabat di Belitong. Membeli bukumu, sudah merupakan kebanggaan yang sangat luar biasa. Aku mendukungmu sepenuh hati, mari kita membangun Belitong meski sering dengan cara yang berbeda. 

Tak usah kau khawatir tentang perjalanan bukumu, Ia telah memenuhi kodratnya. Kami semua kerabat, sahabat, dan perenggu Belitong akan terus mendukungmu. Membeli bukumu, inilah yang bisa kami perbuat saat ini.

Selamat sukses kawan!

Sahabatmu,
HDI

Minggu, 13 Mei 2012

SKP terus bermetamorfosis memenuhi kodratnya

Ada sedikit kesulitan untuk menuliskan ini, namun nampaknya memang harus kutuliskan mengingat sejak prelaunch "Syair Keranjang Pempang" seminggu yang lalu, cukup banyak curahan hati dari banyak sahabat. Beragam yang mereka katakan, namun sebagian besar semuanya bermuara pada "Mengapa Syair Keranjang Pempang hanya dijual di www.nulisbuku.com dan tidak dijual di toko buku umum".

Beberapa hari yang lalu, seorang teman berdiskusi denganku. menurutnya harga buku ini dapat lebih ditekan sedemikian rupa hingga akan lebih mudah didapatkan. Bahkan bukan hanya di toko buku, setiap pemesanan khususpun (peminat memesan langsung ke Penulis) dapat langsung dipenuhi dan diberikan harga khusus dan lengkap dengan tandatangan dan kata penyemangat dari Penulis.

Ia menyodorkan salah satu solusinya : real self publishing, pakai modal sendiri. Harga lebih murah, pakai marketing sendiri, "titip" di toko buku, roadshow diatur sendiri, dan harga juga diatur sendiri. Keuntungan? jelas lebih besar! Resiko, juga lebih besar! Hukum ekonomi memang berlaku disini.

Senang kudengar sarannya, bukan karena itu salah satu solusi terbaik yang menurutnya bisa ditempuh, namun itulah salah satu cara agar Syair Keranjang Pempang dapat lebih mengglobal dan tak terkesan eksklusif.

Langsung kuterima? jelas tidak, namun diriku sangat berbangga memiliki sahabat yang sangat peduli pada diriku dan Syair Keranjang Pempang yang sedang memenuhi kodratnya. Kodrat yang bagi sebagian orang akan menjadi sebuah buku yang "booming" dan menjadi "trending topic". Sesuatu yang tak pernah kupikirkan sejak awal, karena bagiku bukan itu tujuan kutulis buku ini.

Ada juga seorang sahabat menyarankan agar buku ini diserahkan saja secara bebas kepada Penerbit Umum yang berminat. Selanjutnya biarkan Penerbit itu yang memenuhi kodratnya. Simpel sih sarannya, namun jelas sangat tak simpel perjalanannya.

Saran lain? cukup banyak, namun intinya adalah meringankan apa yang kupikirkan dan kurasakan, begitu menurut mereka. Sayang, belum ada satupun diantara mereka yang menanyakan mengapa buku ini kutulis dan kuterbitkan dengan cara yang agak berbeda dari beberapa Penulis Belitong yang sudah ada. Padahal inilah yang paling penting untuk mereka fahami, karena dasar inilah yang menjadi pijakan awal lahirnya buku ini.

Sesungguhnya, buku ini kutulis adalah demi baktiku pada tanah kelahiran. Memberikan naskah lengkap pada keluarga terdekat dalam bentuk "skripsi Syair Keranjang Pempang" di akhir tahun lalu bagiku jelas sudah merupakan bukti bahwa Syair Keranjang Pempang telah memenuhi kodratnya. Selebihnya adalah bonus dari Yang Maha Kuasa.

Buku ini memang hanya tiga bulan berdiam diri dalam bentuk skripsi, dan di awal Mei ia sudah merintis diri menjadi sebuah buku novel yang dapat direngkuh oleh banyak orang di luar keluarga, kerabat, dan sahabat dekat. Cover membungkusnya menjadi indah, taburan kertas HVS menjadikannya putih bersih dan rapi dipandang, dan ketebalannya hingga 688 halaman menjadikannya mirip sebuah buku suci dari negeri Belitong.

Kearifan lokal itu akhirnya menjelma menjadi sebuah buku eksklusif dengan harga yang eksklusif, diterbitkan oleh Penerbit eksklusif, dan tentunya untuk Pembaca eksklusif karena harus bersedia berkorban banyak hal : uang dan kesabaran.

Semoga bukan kekecewaan karena alur di Syair Keranjang Pempang tak seperti novel kebanyakan yang banyak memuat kisah cinta, dan happy ending di akhir cerita. Syair Keranjang Pempang tetaplah menjadi sebuah novel perenungan, novel kehidupan, novel kenangan, dan novel kebahagiaan atas banyaknya kemirisan hidup yang saat ini banyak kita temui di sekeliling kita.
Syair Keranjang Pempang kini terus memenuhi kodratnya, terus dan terus hingga akan bermetamorfosis menjadi banyak bentuk. Mungkin suatu saat ia akan terpajang dengan bangga di sebuah rak buku di toko buku terkenal, mungkin juga ia menjadi buku langka yang hanya terpajang eksklusif di rak buku pribadi, hanya dimiliki beberapa orang saja yang memesannya di nulisbuku. Mungkin juga nanti ia hanya dibaca secara lengkap oleh beberapa orang saja, orang-orang terdekatku. Itupun mungkin karena mereka mendapatkannya secara khusus dariku.

Namun bisa juga buku ini kemudian melengkapi takdirnya menjadi buku yang menjadi perdebatan baru di dunia sastra, karena ia meninggalkan banyak kaidah kesusasteraan alami. Nyaris belum ada sebuah buku novel yang mengangkat kisah nyata dimana di dalamnya ada syair, pantun, dan repetisi yang diujarkan dalam tuturan sederhana berbungkus kearifan lokal.

Kini, Syair Keranjang Pempang akan terus berjalan memenuhi takdirnya. Terima kasih pada Kerabat dan Sahabat yang telah ikut dalam proses metamorfosis buku ini. Semua yang telah dilakukan oleh kerabat dan sahabat, jelas sangat bermanfaat untuk buku ini.

Semoga!




Sabtu, 12 Mei 2012

Syair Keranjang Pempang # 2

Waktu tetaplah rahasia Sang Maha Pencipta
Kelahiran melengkapinya
Harap dan cemas bergema disetiap tangisannya
Rahasia hidup dimulai mengikuti arah kehendak Sang Kuasa

Garis tegas yang diharap
Garis tipis yang kadang didekap
Kehidupan penuh suka yang diharap
Duka menyelimuti langit kadang yang diungkap

Manusia hanyalah menjalankan apa yang telah menjadi takdirNya
Manusia hanyalah berikhtiar menjemput nasib yang telah digariskanNya

Jumat, 11 Mei 2012

Kek Ledok

Di belakangnya nampak seorang lelaki yang lebih tua dari usia bapakku, juga dengan langkah lebih terseok-seok lagi. Kulitnya yang sudah mengeriput sungguh lengkap dengan warnanya yang hitam legam. Limapuluhtahunan kurasa usianya, namun tak sedikitpun terpancar kesedihan di wajahnya.

Ia tampak berseri-seri, keringat yang membasahi tubuhnya yang berotot sebagai pertanda bahwa ia adalah pekerja keras sejak dulu. Tak ada pakaian bersih dan bagus membalut tubuhnya, kecuali sebuah baju kaos bergambar angsa yang sudah sobek di bagian punggung, dada dan belakangnya. Bukan baju layak pembungkus tubuh, hanya baju penutup aurat seadanya.

”Fath, ini kik Ledok yang bapak ceritakan tadi pagi,” bang Faridz berkata padaku.

”Hebat bang ya, orangnya memang sudah tua. Kurus badannya, tapi berotot. Hitam legam kulitnya, tapi bersih. Ia masih sangat gagah membawa dua buah balok sebesar itu,” ujarku sambil menunjuk balok sepanjang empat meter dan berdiameter tak kurang dari sepuluh sentimeter.

”Assalamualaikum....,” sapa bapak dengan tersenyum. Disandarkannya kerite itu ke pohon kelapa, lalu satu persatu balok yang tadi terikat dilepaskannya.

” Waalaikum salam...,” serentak kami menjawab.

”Apa kabar cu,” kik Ledok menyapa kami dan melakukan hal yang sama seperti bapak.

Disandarkannya sepeda ke pohon kelapa lainnya, tak jauh dari tempat kami berdiri, kurang dari sepuluh meter. Tarikan nafas dalam terdengar dengan jelas beberapa saat setelah kedua balok kayu itu berhasil diturunkannya. Entah sudah yang keberapa kali ia melakukan hal yang sama sepanjang hidupnya, kurasa beliaupun tak pernah menghitungnya. Bukan karena ketidakinginannya menghitung, tapi beliau tak mau keikhlasannya ternodai dengan menghitung-hitung pekerjaan dan pengorbanan yang telah dilakukannya demi keluarga dan orang lain.

”Ikhlaskan saja apa yang kita telah perbuat, hanya dengan ikhlas kita akan berbahagia dengan apa yang kita kerjakan dan kita jalani dalam hidup ini,” begitulah kurasa prinsip hidupnya.