Meski Indonesia hanya mengalami dua musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau, namun banyak dari penduduknya yang bermanja diri
dengan kenyamanan dan kemudahan yang ada. Seringkali terjadi bila musim hujan
maka akan banjir sejadi-jadinya, dan saat musim kemarau akan kering
sejadi-jadinya pula.
Hampir tak ada antisipasi yang berarti telah dilakukan
oleh generasi kini dalam menghadapi siklus alam yang sudah pasti datang setiap
tahunnya. Benarlah bila sebagian besar orang tua mengatakan bahwa generasi
sekarang kurang bisa menghargai alam, jarang belajar dari alam, dan kurang
mampu memaknai tanda-tanda alam. Benarlah pula bila ada dari mereka juga
mengatakan bahwa generasi sekarang hidup hanya pada alamnya saja, hidup hanya
saat ia hidup, hidup di masa kini dan tanpa mempersiapkan bekal yang cukup
kepada generasi setelah mereka!
Di kampungku, sungguh cukup banyak bukti bahwa generasi pendahulu
telah memikirkan tentang semua anak cucunya kelak. Mulai dari kebun durian yang
pohonnya berdiameter hampir satu meter dan berumur puluhan tahun, kebun duku
yang berjajar rapi di sepanjang pinggiran jalan, hingga hutan rimba yang
berjarak kurang dari setengah kilometer di belakang rumahku.
*************
“Oi banyak benar dapatnya, kalau begitu dapatlah kita
berbagi dengan tetangga kita. Cik Kasni kita beri yang sudah mengembang lima
buah, yang masih kemumoknya lima juga. Cik Denan juga sama, kalau cik Ai tak
usah karena ia sedang tidak ada di rumah malam ini. Besok untuk cik Ai baru kita beri”.
“Kan susah mak mencarinya, mengapa mesti dibagi-bagi. Untuk lauk kita makan malam ini kan bisa tak cukup, kita
kan ramai mak. Semuanya di rumah ini kan ada enam orang”.
“Sedikit atau banyak, kita tetaplah harus berbagi. Kalau
sedikit yah kita bagi sedikit, kalau banyak ya kita bagi banyak juga. Rezeki
kita tidaklah akan berkurang kalau dibagikan, malah akan selalu bertambah.
Kalaupun tak bertambah di dunia, Insya Allah di akhirat kelak akan bertambah.
Tapi ingat, semuanya haruslah ikhlas. Tanpa keikhlasan, semuanya tidak akan
berarti samasekali,” lanjutnya.
************
“Banyak ya Pak jenis kulat ini? Kalau yang tadi namanya
kulat pelandok, adakah nama kulat yang lain?” tanyaku saat kami
semua sedang beristirahat sambil menikmati lagu keroncong persembahan Waljinah
berjudul Pahlawan Merdeka dari sebuah radio Telesonic; Satu-satunya barang
elektronik termewah di rumahku saat ini.
“Oh banyak sekali. Ada kulat pelandok yang sering disebut
jamur merang, yang kalau di hutan hidupnya banyak di bawah pohon yang sangat
rindang seperti pohon kabal; Lalu ada kulat kawan· yang warnanya kecoklatan dan hidupnya selalu dengan
banyak kelompok, dan setiap kelompoknya bisa ratusan jumlahnya. Kulat ini
banyak hidup di bawah rindangnya pohon pelempang hitam; Kemudian ada kulat
tiong· yang ukuran kecil-kecil sebesar jari kaki dan berwarna
merah, ini kulat yang tumbuhnya sembarang tempat tapi paling banyak di padang
ilalang; Ada juga kulat pepa yang sekilas mirip dengan kulat pelandok, hidupnya
juga bergerombol, warnanya persis seperti kulat pelandok namun akarnya atau
tampuknya tak berkaos kaki atau berbungkus. Ini kulat beracun; selain itu ada
juga kulat tahun yang sering kau makan dengan dipanggang itu. Kulat tahun
adalah kulat yang tumbuh sepanjang tahun, banyak hidup di tanah berpasir
seperti di bawah rumah kita yang masih berpanggung dulu atau di pinggir rumah
sekarang ini,” jelasnya.
“Tapi sayang pak, tak ada satupun dari kulat ini yang
kokoh, semuanya cepat sekali remuk, rapuh, dan hancur. Seandainya saja.....”
“Eit...eit...janganlah kau berpikir bahwa karena kulat
terlihat lemah, rapuh dan cepat hancur itu menjadi kekurangannya. Itulah
kelebihannya! Karena kulatlah maka banyak sampah yang akhirnya bisa cepat jadi
penyubur tanah, karena kulat juga kehidupan ini jadi berwarna warni. Mungkin
karena rapuhnya itulah ia ingin mengatakan pada dunia bahwa dibalik kekurangan
fisik yang dimilikinya, ia punya kelebihan yang tak dimiliki tanaman manapun!” seperti Filsuf
kudengar ucapan bapak.
Socrates yang ia kagumi sejak masih Sekolah Rakyat di jaman
Belanda dulu ternyata tak pernah pupus dari pikirannya. Kata-katanya tetap
menari-nari, teori-teori kehidupannya mengalir deras, dan idiom-idiom penuh
makna terus dikumandangkannya. Sungguh Ia pengagum sejati!