Gurindam 12,
tentu hampir semua dari kita pernah mendengar, bahkan mungkin ada beberapa
orang yang pernah membaca dan melakonkannya. Gurindam 12 merupakan puisi karya
sastrawan asal pulau Penyengat kepulauan Riau yaitu Sultan Ali Haji, yang
berisi petuah bijak bagi kehidupan manusia. Untuk mengingatnyalah, maka di kota Bintan
kemudian dibuat tugu besar yang berisi Gurindam 12 secara lengkap.
Namun pada
tulisan kali ini, tak akan kutuliskan isi Gurindam 12. Hanya ingin kusampaikan
bahwa Puisi dan Penyair mirip golok dengan sarungnya, pistol dengan pelurunya,
lampu dengan laronnya, bulan dengan bumi, wanita dan pria, ataupun banyak
perumpamaan lainnya ; selalu tak terpisahkan dan saling melengkapi. Kekuatannya sungguh sangat luar biasa,
meskipun terkadang terkesan ”aneh” dan sulit difahami oleh beberapa orang.
”Puisi adalah
alat komunikasi purba yang statis, yang monologis. Sehingga bila kita menulis
sebuah puisi lalu tak seorangpun yang memahami apa yang diinginkan dalam puisi
tersebut, maka karya sastra itu gagal ” (Nurhayat Arif Permana dalam Stanza
Lara halaman 9).
Mungkin kesan
inilah yang muncul pada beberapa orang yang sudah membaca sebagian atau
keseluruhan isi Syair Keranjang Pempang. Bisa jadi karya sastra ini gagal, bila
tak mampu difahami oleh pembacanya. Melihat judulnyapun, banyak yang masih
mengernyitkan kening; berpikir keras tentang maknanya. Apalagi setelah membaca
bahwa Syair Keranjang Pempang adalah sebuah novel kehidupan yang mengangkat
kearifan lokal di negeri Belitong. Jelas makin tinggi alis mengernyit, makin
banyak tanda tanya yang muncul, bahkan mungkin ada beberapa Penyair yang gusar
dan mempertanyakan eksistensi dan hakekatnya.
Namun hal ini ”terpaksa” harus kuabaikan lebih dulu dengan menciptakan blog sederhana ini. Paling tidak, apa yang kupikirkan tentang berbagi keindahan, berbagi rasa, berbagi semangat, dan berbagi kekuatan akan terus berjalan dan berputar dalam lingkar hidup yang telah digariskan oleh Sang Maha Penyair.
Namun hal ini ”terpaksa” harus kuabaikan lebih dulu dengan menciptakan blog sederhana ini. Paling tidak, apa yang kupikirkan tentang berbagi keindahan, berbagi rasa, berbagi semangat, dan berbagi kekuatan akan terus berjalan dan berputar dalam lingkar hidup yang telah digariskan oleh Sang Maha Penyair.
Lantas mengapa di
dalam judulnya harus ada kata ”syair”? Bukankah ujarannya terlalu berat,
apalagi diriku tak ada dasar dan pengalaman sebagai Penyair?
Sederhana saja,
kehidupan itu sendiri sesungguhnya adalah ujaran dan tuturan yang bila
dirangkaikan akan menjadi sebuah kekuatan yang indah untuk menggugah dunia. Rangkaian
kata dan kalimat sederhana sekalipun, tetaplah mampu digoreskan dalam banyak
syair kehidupan tiada terbandingkan!
Seorang Penyair
kawakan asal Palembang yang merupakan sahabat Penyair Nurhayat Arif Permana
yaitu M. Iqbal J.Permana yang baru saja meluncurkan syairnya berupa buku
berjudul ”Seluang Poetica” yang diterbitkan
Tavern Artwork beberapa minggu yang lalu mengatakan dalam kata pengantarnya :
”Menjadi Penyair
barangkali bukanlah sebuah cita-cita yang menjanjikan dan karena itu para orang
tua menjadi khawatir jika ada anak mereka yang tiba-tiba mengatakan ingin jadi
Penyair. Profesi Penyair kalah populer ketimbang dokter, pilot, astronot, atau
presiden. Bahkan juga masih kalah populer dibandingkan pengacara, petani, dan
pedagang.
![]() |
sumber: dzikirpengobatqalbu.com |
Meski secuil,
semoga Syair Keranjang Pempang akan terus menemui banyak makna dan memenuhi
kodratnya menebarkan ujaran dan tuturan berbungkus kearifan lokal di negeri
Belitong, amien....!
Tukang Syair... seperti hujan yang merundukkan telinga dan menutupkan mata... derainya membuat henyak... maka ketika terbangun... seperti pagi dengan hangat yang berbeda.
BalasHapusBerbeda bukanlah perbedaan padahal kata-kata dirangkai dari huruf yang sama... maka yang disebut berbeda adalah rasa... seperti racikan bumbu menggoda selera... syair adalah rasa... di kedalamannya ia bicara... di permuakaannya terkadang tenang, terkadang pula berupa alun, ombak, bahkan gelombang... maka jika sedang berperahu, hanyutlah ke ujung dunia
Tukang syair yang menghanyutkan... meski sesungguhnya kau sedang diam...
@Bang Ian: Sungguh Penyair adalah seorang rasa, ia tak kan redam dibuai sanjung penuh rencana, kata-kata penuh rayu tetaplah penyejuk jiwa, dalamnya bicara tampakkan jiwa yg telah dewasa, jauh dari cerca dan riaknya dunia... tks, sungguh bangga blog ini mendapat kunjungan dari bang Ian, tukang syair yang sudah banyak melanglang buana, menyemangatiku dengan banyak cara yang bijaksana, hingga terlahir Syair Keranjang Pempang ke hadapan diri penuh gelora...Alhamdulillah
Hapuskutulis bait-bait karena ada yang menggoda pikiran
BalasHapuslalu turun menggugah jiwa dalam dekapan
aku tak peduli bait-bait yang terhidang pada akhirnya
karena itu hanyalah soal olah rasaku semata
bila syair adalah keindahan kata
maka lagu adalah keharmonisan birama
amatlah sayang bila sebuah maksud disampaikan hanya sekedar
terhitung waktu pasti akan segera pudar
Biasan jiwa terhadir dalam rangkaian kata yg diujarkan
HapusTak kan ia berlari jauhkan makna meski kadang liar berujar
Syair kehidupan tetaplah seindah-indahnya hamparan
Tebarkan makna berjiwa dalam keteraturan penyeimbang dunia
Alam terkembang selalu taburkan birama nan berirama
Tiupan angin menyanyikan kehidupan dalam kegembiraan
Keringat itu kini tak kan lagi kering
Mulut itupun kini kan terus berujar.
(tks pak Effendi, selalu syair yang indah untuk dimaknai)
congratulation for the work ... it was born. let it life with its destiny, couse... the work of art is organism, independently life with its own. and the author is dead.
BalasHapusLife is a journey and be an author Will make someone to find his destiny, tq
Hapus