Selasa, 15 Mei 2012

Penyair Kehidupan dan Sepotong Daging bernama Hati


Gurindam 12, tentu hampir semua dari kita pernah mendengar, bahkan mungkin ada beberapa orang yang pernah membaca dan melakonkannya. Gurindam 12 merupakan puisi karya sastrawan asal pulau Penyengat kepulauan Riau yaitu Sultan Ali Haji, yang berisi petuah bijak bagi kehidupan manusia.  Untuk mengingatnyalah, maka di kota Bintan kemudian dibuat tugu besar yang berisi Gurindam 12 secara lengkap.

Namun pada tulisan kali ini, tak akan kutuliskan isi Gurindam 12. Hanya ingin kusampaikan bahwa Puisi dan Penyair mirip golok dengan sarungnya, pistol dengan pelurunya, lampu dengan laronnya, bulan dengan bumi, wanita dan pria, ataupun banyak perumpamaan lainnya ; selalu tak terpisahkan dan saling melengkapi. Kekuatannya sungguh sangat luar biasa, meskipun terkadang terkesan ”aneh” dan sulit difahami oleh beberapa orang.

”Puisi adalah alat komunikasi purba yang statis, yang monologis. Sehingga bila kita menulis sebuah puisi lalu tak seorangpun yang memahami apa yang diinginkan dalam puisi tersebut, maka karya sastra itu gagal ” (Nurhayat Arif Permana dalam Stanza Lara halaman 9).

Mungkin kesan inilah yang muncul pada beberapa orang yang sudah membaca sebagian atau keseluruhan isi Syair Keranjang Pempang. Bisa jadi karya sastra ini gagal, bila tak mampu difahami oleh pembacanya. Melihat judulnyapun, banyak yang masih mengernyitkan kening; berpikir keras tentang maknanya. Apalagi setelah membaca bahwa Syair Keranjang Pempang adalah sebuah novel kehidupan yang mengangkat kearifan lokal di negeri Belitong. Jelas makin tinggi alis mengernyit, makin banyak tanda tanya yang muncul, bahkan mungkin ada beberapa Penyair yang gusar dan mempertanyakan eksistensi dan hakekatnya. 

Namun hal ini ”terpaksa” harus kuabaikan lebih dulu dengan menciptakan blog sederhana ini. Paling tidak, apa yang kupikirkan tentang berbagi keindahan, berbagi rasa, berbagi semangat, dan berbagi kekuatan akan terus berjalan dan berputar dalam lingkar hidup yang telah digariskan oleh Sang Maha Penyair.

Lantas mengapa di dalam judulnya harus ada kata ”syair”? Bukankah ujarannya terlalu berat, apalagi diriku tak ada dasar dan pengalaman sebagai Penyair?
Sederhana saja, kehidupan itu sendiri sesungguhnya adalah ujaran dan tuturan yang bila dirangkaikan akan menjadi sebuah kekuatan yang indah untuk menggugah dunia. Rangkaian kata dan kalimat sederhana sekalipun, tetaplah mampu digoreskan dalam banyak syair kehidupan tiada terbandingkan!

Seorang Penyair kawakan asal Palembang yang merupakan sahabat Penyair Nurhayat Arif Permana yaitu M. Iqbal J.Permana yang baru saja meluncurkan syairnya berupa buku berjudul ”Seluang Poetica”  yang diterbitkan Tavern Artwork beberapa minggu yang lalu mengatakan dalam kata pengantarnya :

”Menjadi Penyair barangkali bukanlah sebuah cita-cita yang menjanjikan dan karena itu para orang tua menjadi khawatir jika ada anak mereka yang tiba-tiba mengatakan ingin jadi Penyair. Profesi Penyair kalah populer ketimbang dokter, pilot, astronot, atau presiden. Bahkan juga masih kalah populer dibandingkan pengacara, petani, dan pedagang.

sumber: dzikirpengobatqalbu.com
Tetapi Penyair harus tetap ada di dalam sebuah negara atau pemerintahan, baik klasik maupun modern. Penyair hadir untuk menjadi penyeimbang agar sistem yang berjalan tidak berat sebelah. Penyair dibutuhkan untuk mengingatkan manusia bahwa ada benda kecil di bawah jantung bernama hati yang harus dipelihara, agar aliran darah berjalan normal dan semua perintah dapat dikontrol”.

Meski secuil, semoga Syair Keranjang Pempang akan terus menemui banyak makna dan memenuhi kodratnya menebarkan ujaran dan tuturan berbungkus kearifan lokal di negeri Belitong, amien....!


6 komentar:

  1. Tukang Syair... seperti hujan yang merundukkan telinga dan menutupkan mata... derainya membuat henyak... maka ketika terbangun... seperti pagi dengan hangat yang berbeda.

    Berbeda bukanlah perbedaan padahal kata-kata dirangkai dari huruf yang sama... maka yang disebut berbeda adalah rasa... seperti racikan bumbu menggoda selera... syair adalah rasa... di kedalamannya ia bicara... di permuakaannya terkadang tenang, terkadang pula berupa alun, ombak, bahkan gelombang... maka jika sedang berperahu, hanyutlah ke ujung dunia

    Tukang syair yang menghanyutkan... meski sesungguhnya kau sedang diam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Bang Ian: Sungguh Penyair adalah seorang rasa, ia tak kan redam dibuai sanjung penuh rencana, kata-kata penuh rayu tetaplah penyejuk jiwa, dalamnya bicara tampakkan jiwa yg telah dewasa, jauh dari cerca dan riaknya dunia... tks, sungguh bangga blog ini mendapat kunjungan dari bang Ian, tukang syair yang sudah banyak melanglang buana, menyemangatiku dengan banyak cara yang bijaksana, hingga terlahir Syair Keranjang Pempang ke hadapan diri penuh gelora...Alhamdulillah

      Hapus
  2. kutulis bait-bait karena ada yang menggoda pikiran
    lalu turun menggugah jiwa dalam dekapan
    aku tak peduli bait-bait yang terhidang pada akhirnya
    karena itu hanyalah soal olah rasaku semata

    bila syair adalah keindahan kata
    maka lagu adalah keharmonisan birama
    amatlah sayang bila sebuah maksud disampaikan hanya sekedar
    terhitung waktu pasti akan segera pudar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasan jiwa terhadir dalam rangkaian kata yg diujarkan
      Tak kan ia berlari jauhkan makna meski kadang liar berujar
      Syair kehidupan tetaplah seindah-indahnya hamparan
      Tebarkan makna berjiwa dalam keteraturan penyeimbang dunia

      Alam terkembang selalu taburkan birama nan berirama
      Tiupan angin menyanyikan kehidupan dalam kegembiraan
      Keringat itu kini tak kan lagi kering
      Mulut itupun kini kan terus berujar.

      (tks pak Effendi, selalu syair yang indah untuk dimaknai)

      Hapus
  3. congratulation for the work ... it was born. let it life with its destiny, couse... the work of art is organism, independently life with its own. and the author is dead.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Life is a journey and be an author Will make someone to find his destiny, tq

      Hapus