Bagi yang menyekolah anaknya, bukan berarti mereka dari
kalangan berduit atau gedongan, namun sering harus menukar beras mereka dengan
sejumlah uang di toko-toko Cina. Beras yang akhirnya berubah menjadi celana
jeans atau celana cutbray, baju kemeja tangan panjang, sepatu sirat·, sandal daimatu, hingga kecap dan garam pemuas nafsu
pembebas lapar. Nasi bercampur taburan garam dan kuah kecap, makanan favorit
seribu kampong!
Pagi itu sebelum jam setengah tujuh, Aku sudah berada di
rumah Kik
Syamsu untuk menumpang naik motor beliau, duduk di depan persis di tangki
bensin; tempat duduk favorit tiada terhingga!
Aku teringat, suatu sore beberapa bulan yang lalu saat
kami sedang duduk berdua di tepi pagar depan rumahnya, Teri pernah bertanya padaku, “Fath, mengapa kalau
naik motor kau senang duduk di tangki bensinnya? Padahal kan kalau duduk di situ akan terasa sakit karena
tak ada busanya. Kalau kau duduk di belakang kan pasti akan lebih nyaman karena
busanya tebal dan ngeper”.
“Ah kau Teri, tak tahu selera kau ini. Duduk di depan itu
seperti naik kuda; rambut melambai-lambai, baju berkibar-kibar, dan akupun bisa
berdendang ria. Tak takut kena asap rokok,
pandangan terasa luas, dan bisa bergaya”.
“Bisa bergaya? Maksudmu gaya seperti apa?” terbelalak matanya
mendengar jawabanku. Kedua bola matanya benar-benar besar, mirip mata pelilikan.
Mungkin karena inilah ia sering dipanggil Teriandul, Teri dengan mata besar!
”Nah, ayo ikut aku ke rumah kakik,” kutarik
tangannya.
”Itu kau lihat gambar gede di dinding rumah kakek,”
tanganku menunjuk sebuah gambar yang menempel di dinding ruang tengah rumah
Kakek; sebuah gambar seorang koboi yang sedang menunggang kuda.
Rambutnya melambai-lambai, tali kekangnya ia pegang erat-erat, bajunya yang
putih dan celananya yang memakai tali disilangkan di belakang tubuhnya.
Semuanya tampak menambah gagah sang koboi.
”Gambar itu maksudmu? Tak ada yang bagus dengan gambar
itu. Kertasnya saja sudah lulus dan berwarna kuning, ada bekas tetesan air
hujan dari atap lagi. Belum lagi sudah banyak langas·.Benar-benar aku tak mengerti maksudmu”.
“Dasar kau dayang
yang tak berjiwa seni. Gambar sebagus itu malah kau sebut gambar tak berselera.
Cobalah kau perhatikan kembali gambar itu, pasti kau akan dapat menangkap apa
yang aku maksudkan itu”.
“Tak tahu aku Fath. Gambar itu memang ada tulisan, tapi
aku tak tahu bagaimana cara membacanya, apalagi artinya,” jawabnya sambil
menunjukkan sederet tulisan berwarna kuning tua bercampur putih di
pinggirannya.
“Okelah, kalau begitu sekarang aku jelaskan padamu ya.
Kita duduk dulu di kursi itu,” kuajak ia duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya
hampir tiga meter, kursi yang tidak ada sandarannya karena hanya terdiri atas
kaki berjumlah empat buah dan sekeping papan yang dipakukan di atasnya. Itulah kursi
makan kebanggaan kik Syamsu; Sang Lurah yang hidup penuh kesederhanaan.
“Sekarang kau lihatlah gambar itu, jangan kau lihat
kertasnya yang kuning bercampur hitam langas dari dapur dan ada bekas tetesan
air hujan dari atap sirap yang bocor di atasnya, tapi lihatlah nilai seninya
yang tinggi itu”.
Mendengar perkataan ini, terlihat sekali Teri
membelalakkan matanya dan berusaha sekeras-kerasnya untuk memahami apa yang aku
katakan.
“Kau lihatlah gaya sang koboi itu, lihatlah dengan penuh
kecermatan! Lihatlah ia berbaju putih dibungkus rompi, topi diikatkan di
pinggang kiri yang ukurannya selebar telapak tangan, tali kekang dipegang
dengan tangan kiri, tangan kanan memegang pistol, sepatunya tinggi, dan kuda
putihnya yang bulunya bersurai-surai di lehernya itu. Wuih...sungguh gambar
yang hebat!” lanjutku.
“Sekarang sudahkah kau faham yang aku maksudkan itu?”.
Hanya menggelengkan kepala saja, dedikitpun tak keluar
pendapat apapun dari lidahnya. Sungguh
mengecewakan, harusnya wanita lebih sensitif pada seni daripada bujang kecit
anak Melayu. Ia memang tak berjiwa seni!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar