Jumat, 11 Mei 2012

Kek Ledok

Di belakangnya nampak seorang lelaki yang lebih tua dari usia bapakku, juga dengan langkah lebih terseok-seok lagi. Kulitnya yang sudah mengeriput sungguh lengkap dengan warnanya yang hitam legam. Limapuluhtahunan kurasa usianya, namun tak sedikitpun terpancar kesedihan di wajahnya.

Ia tampak berseri-seri, keringat yang membasahi tubuhnya yang berotot sebagai pertanda bahwa ia adalah pekerja keras sejak dulu. Tak ada pakaian bersih dan bagus membalut tubuhnya, kecuali sebuah baju kaos bergambar angsa yang sudah sobek di bagian punggung, dada dan belakangnya. Bukan baju layak pembungkus tubuh, hanya baju penutup aurat seadanya.

”Fath, ini kik Ledok yang bapak ceritakan tadi pagi,” bang Faridz berkata padaku.

”Hebat bang ya, orangnya memang sudah tua. Kurus badannya, tapi berotot. Hitam legam kulitnya, tapi bersih. Ia masih sangat gagah membawa dua buah balok sebesar itu,” ujarku sambil menunjuk balok sepanjang empat meter dan berdiameter tak kurang dari sepuluh sentimeter.

”Assalamualaikum....,” sapa bapak dengan tersenyum. Disandarkannya kerite itu ke pohon kelapa, lalu satu persatu balok yang tadi terikat dilepaskannya.

” Waalaikum salam...,” serentak kami menjawab.

”Apa kabar cu,” kik Ledok menyapa kami dan melakukan hal yang sama seperti bapak.

Disandarkannya sepeda ke pohon kelapa lainnya, tak jauh dari tempat kami berdiri, kurang dari sepuluh meter. Tarikan nafas dalam terdengar dengan jelas beberapa saat setelah kedua balok kayu itu berhasil diturunkannya. Entah sudah yang keberapa kali ia melakukan hal yang sama sepanjang hidupnya, kurasa beliaupun tak pernah menghitungnya. Bukan karena ketidakinginannya menghitung, tapi beliau tak mau keikhlasannya ternodai dengan menghitung-hitung pekerjaan dan pengorbanan yang telah dilakukannya demi keluarga dan orang lain.

”Ikhlaskan saja apa yang kita telah perbuat, hanya dengan ikhlas kita akan berbahagia dengan apa yang kita kerjakan dan kita jalani dalam hidup ini,” begitulah kurasa prinsip hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar