Selasa, 31 Maret 2015

Dialog Batu

Kami teriak
Ia tetap diam
Kami meminta
Iapun diam tanpa kata
Kami memelas
Jiwa ini belumlah berbalas
Tetaplah berdiam

Perangai bersifat
Nalar menyiksa
Taburan keramatpun kian tak dimaknai
Entah.....

Tanah merekah
Kering mengoyak
Lapar kian menyambar
Nanar......
Tiada lagi berbinar
Kelam menghadap hitam di hadapan

Tak kutahu mengapa ia kini membatu
Nafas tertarik, namun tetap harus melaju
Laju diri di pengharapan
Laju mimpi nan kian tersimpan

Tak kami sandarkan hidup tiada berbulu
Meski rambu hidup tak lagi berkibar sempurna

Rekah...
Jauhi berkah
Meski kini kami hanya mampu tengadah
Dalam kelam selalu ada pengharapan

Minggu, 29 Maret 2015

Para Penemu Makna : Mata Air Kesejahteraan


"Kita saat ini sedang memasuki abad baru, abad para pencipta! Mereka yang empati, merekalah yang menikmati. Mereka yang mencipta, merekalah yang mengolah rasa. Mereka yang berinovasi, maka merekalah yang menggapai prestasi".

*****

Sederet kalimat berapi, kubaca siang ini. Deretan kalimat yang sudah kesekian kalinya sering menggelorakan diri, hingga entah sudah berapa kali kalmiat yang sama kutuliskan ataupun kutayangkan pada berbagai acara pelatihan. Kalimat yang beratus hari lalu juga telah menggelorakanku di jelang sisa rambut hitam yang masih ada. Kalimat yang sengaja diucapkan oleh seorang novelis wanita di hadapanku saat diriku menjadi salah satu peserta pelatihan inspiratif yang dibawakannya.


"Ah....Trainer itu bisanya dia saja, hanya bisa bicara, namun jarang ada bukti nyata," begitulah ucapan dalam hati beberapa dari mereka saat kutatap matanya pada pelatihan yang kuawali beberapa tahun lalu.
Tak kupungkiri, ada sederet wajah ragu dari tatapan mereka padaku. Tatapan yang pada awalnya bagi banyak orang malah akan membuat kita kian ragu, namun tidak bagiku. Tatapan itu malah semkain meyakinkanku untuk megolah rasa mereka agar makin memahami maksud dari deretan kalimat tersebut.

"Saudara sekalian, menyambung apa yang baru kita baca tadi, mari kita ulas dan diskusikan bersama," begitulah ujarku mengawali sesi pagi ini.
"Mari kita lanjutkan slide berikutnya.........."

"Kalau kita fahami slide ini, dapat kita pertegas bahwa hingga abad ke-20, perubahan yang terjadi sangatlah lambat, hanya evolusi. Mereka yang bertahan hingga kini adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan baik pada alam. Bila mereka tak mampu beradaptasi, maka akan punah. Jerapah akan memanjangkan lehernya untuk mencapai ketinggian daun-daun muda, bukan pohonnya yang memendek agar jerapah-jerapah pendek dapat menikmati banyak daun muda dengan mudah dan bermalas ria". Kulihat beberapa dari mereka kini mulai memaksakan diri untuk membuka mata lebar-lebar, menyimak dengan sebenarnya.


"Pada abad ke-18, para petanilah yang menjadi pemilik negeri ini. Mereka yang menjadi tuan tanah, jelas adalah tuan dari segala tuan di negeri ini. Petani penggarap hanyalah penghias negeri yang kadang kurang dihargai, kecuali hanya dengan sedikit rezeki penghapus lapar di terik mentari.


Kemudian di abad ke-19, sejak revolusi industri, para buruhlah yang menjadi pemilik negeri. Para Tuan Kuasa, Anemer, pemborong, dan pengusaha industri menjadi pemilik sejati. Merekalah para penguasa buruh tiada terkirakan.

Lalu pada abad ke-20, para intelektual yang menjadi pemilik sesungguhnya. Merka yang menemukan, berinovasi, dan berimprovisasi hingga diciptakan beragam alat dan teknologi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka yang ber-IQ tinggi, jelaslah mereka yang menjadi pemilik kehidupan sejati. Sayang kini kita telah memasuki abad ke-21. Kuulangi...abad ke-21!," ujarku sedikit meninggi.

"Kini kita memasuki era baru, abad ke-21 adalah zaman baru bagi masyarakat baru yang sadar diri. Lebih banyak dibutuhkan para kreator, inovator, dan penemu makna. Para kreator yang akan selalu mengkreasikan banyak ekspresi diri dengan segenap kesungguhan hati. Mereka-mereka yang mempertajam dan mengasah diri, tidak hanya ketajaman intelegensi, namun juga ketajaman emosional, juga spiritual".

"Para inovator yang selalu meningkatkan dan menambahkan nilai tambah yang signifikan, menciptakan bentuk-bentuk baru yang unik, lucu, berarti dan kian bermartabat. Listrik memang telah ditemukan sejak Thomas Alva Edison bermandi ria kala hujan berpetir di lapangan terbuka, bola lampu pijarpun telah ditemukannya meski konon katanya harus melewati 999 kali kegagalan hingga ditemukan metode dan cara menciptakan bola pijar yang dapat kita nikmati hingga kini. Namun hal ini belumlah cukup, para inovatorlah yang kemudian menjadikannya semakin bernilai tambah, berlipat-lipat. Lampu hemat energi, teknologi lampu LED, dan berbagai varia, jenis, dan bentuk bola lampu telah menjadi bukti hebatnya para inovator di abad ke-21 ini. Amati, tiru, dan modifikasi benar-benar telah menemukan makna sesungguhnya."

Beberapa dari mereka kini mulai merubah cara duduknya, entah karena serius, atau karena pantatnya kian terasa panas sebab sudah hampir duapuluh menit ucapanku terus mengucur tanpa henti. Mungkin bukan ucapanku yang menarik, namun karena gambar slide yang baru kutampilkan : deretan perubahan dari seekor monyet hingga menjadi seorang lelaki metroseksual bergadget ria!

"Akibat perkembangan teknologi yang sangat luar biasa di abad ke-20, gol oriented, usaha berbasis hasil menjadi standar yang harus dicapai. Dampaknya, lahirlah generasi yang tajam, cerdas, namun memilah dan memisah. Di sisi lain, mereka menjadi generasi yang pasti, analitik, lembut namun keras, dan tanpa basa basi. Berhubungan dengan orang lain bila ada kepentingan, dan mengukur kesuksesan dari apa yang dicapai, bukan apa yang dirasakan dan dimaknai.

Akibatnya, muncullah generasi goal oriented yang lebih mendahulukan IQ ketimbang EQ,  hari dan emosi dipandang sebagai hambatan, hatipun menjadi lembek dan lemah," sedikit kuturunkan suara saat mengatakan hal ini. Ada tarikan nafas dalam saat kuucapkan, tak mampu kusembunyikan ada rasa kecewa mendalam melihat kerapuhan yang banyak kusaksikan di sepanjang perjalanan kehidupan.

"Para Penemu Makna, merekalah yang kini lebih banyak kita butuhkan, Mereka yang mampu menemukan, menyatukan, hangat, gembira, indah dan bersahabat. Mereka yang melihat dunia dengan kegembiraan, bukan karena keserbalengkapan, namun juga saat dalam serba ketiadaan, karena ketiadaan adalah kenisbian, bukan tidak ada samasekali.

Para Penemu Makna, merekalah yang empati, ahli merasakan hati sesama. Kegembiraan berbagai, kegembiraan menikmati, dan kegembiraan berempati. Mereka yang bukan hanya berhubungan, namun merawat hubungan. Relationship dalam arti sebenarnya, persaudaraan sesama dalam cinta dan kebersamaan.

Para Penemu Makna adalah mereka yang bukan hanya berhubungan karena ada kepentingan, namun memberikan hadiah atas keindahan kebersamaa, karena kita dan dunia adalah hadiah tak ternilai dari Sang Maha Pencipta".

Pada bagian ini, kubiarkan mereka merenung dan hening atas apa yang kukatakan, juga kutuliskan di hadapan. Sebuah instrumen tunggal Kenny G "innocence: kini mengalun sempurna, mengiringi mereka yang mulai memejamkan mata demi penyadaran diri. Kenikmatan yang segera kuhantarkan untuk menikmati alfa dan tetha yang sangat luar biasa. Penyadaran atas banyak diri yang tak dimaknai, gelora rasa yang kadang tak dikenali, dan luapan makna yang sering tak ditandai.

Orizzuru kini mengalun lemah, tenang, dan menghantarkan.
"Sahabat sekalian....
Sudah puluhan tahun kita disini, di bumi indah yang diciptakan Tuhan sebagai hadiah untuk kita. Sudah puluhan tahun pula kita berbuat, banyak bagi kita, namun masih sedikit bagi orang lain. Juga sudah puluhan tahun kita menebar rasa, namun masih sedikit rasa jiwa yang kita tandai.

Puluhan tahun kita berbuat.....
Namun fahamilah, semua yang telah kita perbuat itu seperti air hujan yang jatuh di pegunungan ataupun dataran tinggi. Air yang turun, akan mengalir di permukaan tanah, membasahi bumi, mengairi sawah, menembus semak belukar, berkumpul menjadi anak sungai, hingga akhirnya ke muara dan menyatu bersama laut. Kemudian membentuk uap air dan awan, akhirnya kembali menjadi hujan. Berpuluh kali, beratus kali, hingga beribu-ribu, atau malah jutaan kali hal ini terjadi, sepanjang takdir penciptaaan!

Bila apa yang kita perbuat, tindakan yang kita lakukan, dan prestasi yang kita raih ini diumpakan air hujan, maka air yang di permukaan bumi itulah yang kita nikmati saat ini berupa uang, gaji, bonus, jabatan, penghargaan dan kebanggaan. Hanya akan berlaku saat, hanya akan dikenang sesaat, karena air hujan itu akan segera menghilang, berlaku sesaat, bahkan bisa menghanyutkan, menjadikan longsor dan musibah bila tak dikelola dengan baik.

sumber gambar : pompa-air.blogspot.com
Namun tahukah sahabat sekalian........
Air hujan yang jatuh di pegunungan atau dataran, ada yang akan masuk ke dalam perut bumi. Makin subur permukaan, rumput-rumput kian hijau, dan akar-akar pohon kian kokoh dan menjadikan semakin banyak air permukaan yang masuk ke dalam perut bumi. Air ini kemudian akan menyatu di dalam bumi, menjadi banyak mata air, membentuk sungai-sungai bawah tanah, dan airnya yang jernih akan menjadi sumber kehidupan tak ternilaikan, apalagi di saat kekeringan menjelma.

Lantas apakah makna mata air tersebut?

Inilah yang kita sebut mata air kesejahteraan yang tak akan pernah kering, amal-amal yang telah kita perbuat di setiap tindakan perbuatan yang kita lakukan. Perbuatan yang tak kita perlihatkan pada orang lain, amal-amal yang tak kita pertontonkan pada orang lain. 
Inilah mata air kehidupan yang tak akan pernah kering, mata air yang sangat jernih dan menyehatkan. Bukan hanya melepas haus dan dahaga, namun mata air untuk kesejahteraan di masa mendatang.........."

Kamis, 26 Maret 2015

Deritamu adalah Dosaku

Awalnya, ada rasa geli membaca sebaris kalimat di atas pada bagian belakang sebuah mobil pengangkut air isi ulang yang bercengkrama dengan panas dan teriknya sinar mentari siang ini. Deru dan debu, terik dan peluh, klakson dan teriakan yang kadang disertai sumpah serapah, jelaslah selalu menjadi sahabat setianya di sepanjang hari. Kuyakin, tulisan sarat makna ini bukanlah dihadirkan tanpa kesengajaan, apalagi ditemukan tanpa disadari. 

Deritamu adalah dosaku....
Seperti merefleksikan beberapa kilasan kehidupan dari banyak lelaki sang empunya jiwa. "Bangun sebelum ayam berkokok, dan pulang selepas semua ayam sudah kembali ke kandang," begitulah ujaran yang dulu sering kudengar dari almarhum bapakku, sang lelaki yang menuliskan. Menuliskan demi jejak diri, menasbihkan jiwa berdiri, dan menapakkan lengan hingga beratus sendi. Kemiskinan, kemelaratan, jelas bukanlah keabadian. 

Deritamu adalah dosaku.....
Istri adalah kebahagiaan, anak-anak adalah kebanggaan, dan keluarga besar adalah kerukunan. Mereka adalah sekian perumpamaan untuk tapakkan diri, menggilas kemalasan nurani, menyobekkan dalih tak bernurani, dan menorehkan sifat antara diri. Tak kan tenang bila jiwa terbenamkan, tak kan puas bila otot tak berkalung nyeri, juga tak kan merekah asa bila keringat tak melumat diri. 

Deritamu adalah dosaku.....
sumber gambar: menjaringimpian.blogspot.com
Hajarkan diri dari kemalasan, tamparkan diri dari kedalaman mimpi nan jauh dari pemahaman, dan sindirkan sifat menghitung hari. Rezeki bukanlah dicari, rezeki bukanlah jauhkan nyali, karena rezeki adalah jemputan diri. Mereka yang menjemput, merekalah yang menjadi pemilik negeri. Mereka yang melarut, merekalah yang mengisi negeri. Mereka yang melemparkan selaput, jelas merekalah yang menciptakan negeri.

Deritamu adalah dosaku....
Kita menebarkan, kita yang menggelorakan, dan kita yang memprasastikan. Fatamorgana adalah impian bermalas diri, tak kan pernah menepikan goresan tulisan di sepanjang jalan negeri. Hanya penglihatan, kemudian pemikiran, lalu perbuatan, akhirnya pendapatan, dan diakhiri dengan torehan nasib yang telah kita tentukan. 

Deritamu adalah dosaku....
Kalimat berderet di sepanjang perjalanan terik hari ini, kini telah kami ubah menjadi :
BAHAGIAMU ADALAH PAHALAKU....!!

Senin, 23 Maret 2015

Take a Breath, and then Take a Break

     "Jenuh.....Jenuh sekali sobat, kali ini Aku benar-benar sudah jenuh!", begitu ucapan seorang sahabat tadi siang. 
    "Ah, jenuh dipermasalahkan. Memang kalau sudah jenuh harus bagaimana? diselesaikan? diabaikan? atau diapakan?", tanyaku.
       "Ya diselesaikanlah....masak dibiarkan!," ujarnya dengan agak kesal.
       " Okelah, kalau mau diselesaikan, baca saja apa yang mau kau baca, nikmati saja apa yang kamu mau nikmati, dan jalani saja apa yang mau dijalani. It's simple friend. You're what u think!"

*****

Bagi banyak orang, obrolan tadi seperti hanya sebuah nukilan cerita kosong saja di jelang sore. Mirip sebuah drama kehidupan yang baginya tak penting samasekali, apalagi harus dimaknai dengan hati bersatunya body - mind - soul; tiga kata mirip tiga serangkai yang baru kunikmati beberapa waktu terakhir ini, itupun mengutip dari ucapan seorang motivator yang secara rutin menghiasi talkshow jumat pagi di sebuah jaringan radio swasta nasional yang cukup keren.

Bagi mereka yang lain, obrolan tadi seperti menampakkan sebagian nukilan cerita kehidupan yang memang benar sedang mereka alami, entah kemaren, atau juga hari ini. Nukilan cerita yang mirip seperti saat mereka sedang berkaca, menampakkan wajah dan tubuh yang sesungguhnya, meski "isi dalamnya" sering sekali tidak mereka kenali samasekali. Refleksi dan warna diri yang kian hari menjadi kian tak mereka kenali.

Jenuh...., hanya lima huruf, namun berdampak besar bagi sebuah perjalanan kehidupan seseorang. Jenuh...., kata yang pada akhirnya akan mengundang banyak kata lanjutan yang kadang hadir tiada diharapkan : kesal, kecewa, sakit, dismotivasi, hingga berantakannya masa depan dan cita-cita. Banyak dari kita pasti sudah menemukannya, mendapatkannya, menjalaninya, dan bahkan merawatnya hingga kini!

Merawatnya? ya! kita telah merawatnya sejak dari bayi hingga menjadi besar, bahkan mungkin hingga menua bersama hidup kita!
Terbayangkan? atau samasekali tak kita sadari dan maknai?

Pada suatu sesi pelatihan, saat salah seorang peserta pelatihan menanyakan hal ini, diriku menjawab :
"Bila kita berenang menyeberangi sebuah danau yang tenang, meski kita telah memilih gaya renang terbaik dan paling tepat kita pilih, tetap saja di tengah perjalanan kita harus mengambil nafas : Take a breath! Nafas yang kita ambil, memastikan akan tersedia cukup banyak oksigen yang masuk dan memenuhi seluruh urat nadi dan sel di seluruh tubuh, juga membiarkan karbon dioksida keluar dari tubuh meluruh kembali bersama alam. Namun janganlah kita menarik nafas lebih banyak dari apa yang kita butuhkan, juga menarik nafas lebih dalam dari apa yang kita inginkan, sebab hal ini akan membuat nafas kita tersengal-sengal, bahkan semakin cepat air masuk memenuhi paru-parumu.Jadi, bernafaslah sesuai kebutuhanmu, bukan keinginanmu, selanjutnya indahnya pulau di tengah danau akan kau nikmati dengan kebahagiaan penuh dan tiada terbantahkan".


sumber gambar : oladoo.com
Kemudian kulanjutkan :
"Bila sudah sampai di seberang, Take a Break! Rehatlah, nikmati indahnya kehidupan, nikmati indahnya perjalanan yang telah kau lewati, dan nikmati riak danau yang telah kau timbulkan hingga ke tepian. Sekecil apapun riak itu, dirimu telah membuatnya, meski kadang bangunan pasir yang baru kau ciptakan rubuh dan hancur diterpa riak itu. Heninglah sejenak, karena dalam hening akan makin kau temukan dan kau maknai indahnya perjalanan. Perjalanan yang sudah kau tentukan awalnya, tengahnya, dan akhirnya, meski kadang belum mampu diraih namun selalu ada banyak keindahan dan kegembiraan di semua perjalanannya".

Jumat, 20 Maret 2015

Pernikahan adalah Sinergisitas Matematika Kehidupan

Bila ia wanita.....
Tentu ia telah menjadi remaja yang cantik, manis, berpikiran maju, juga menjelang matang.
Baju yang berlobang, telah mampu ia jahit sendiri, meski kadang harus dengan jahitan tangan. Bukan hanya itu, baju barupun telah mampu dibuatnya dengan pola baru bermutiara bak mutu manikam. Bila tak mampu membuat baju,  memilih baju yang tepat tentu sudah akan dikuasainya.
Tidak hanya itu, meracik makanan tentu juga telah dikuasainya. Menentukan menu yang tepatpun sudah dimilikinya. Bila belum mampu memasak, setidaknya ia telah mampu menentukan tempat makan yang sehat dan bermanfaat.
Akan halnya dandanan, tubuhnya tak hanya tertutup pakaian, namun semua auratnya telah dipastikan tak ditampakkan. Paduan warna telah mampu dikombinasikan dengan penuh rasa bangga, keindahan yang dimaknai. Wujud rasa syukur tiada terperi.

Bila ia lelaki....
Tentu iapun telah menjadi lelaki perkasa, dapat diandalkan, bertanggungjawab penuh atas dirinya, juga orang di sekitarnya. Otot-ototnya telah menjadi sangat kuat untuk memikul beban, tak hanya sekarung beras, namun hingga berpuluh-puluh beban kehidupan. Bahunya telah mampu menopang beban rasa, tidak hanya untuk seorang wanita idamannya, namun juga untuk keluarganya. 
Langkahnya telah tegap, hunjaman bumi, bukan hantaman bumi. Langkah mantap penuh sikap, kemudahan ada pada setiap mereka yang mau berusaha, dan keindahan dan kebahagiaan akan diraih pada akhirnya.
Suaranya sopran menggema, memecah kesunyian rasa, laksana titah bertuah dari sang raja penguasa raya. Kebijaksaaan, kearifan tuturan, dan kemantapan jiwa, jelas terpancar dari sikap sempurna sang empunya jiwa.

Bila ia keluarga.....
Jelas tawa ceria telah menjadi penghias duka yang telah dirasa. Anak yang telah jelang dewasa, penghias rasa di penghujung masa, siap mewujudkan banyak mimpi mereka yang telah tertitah sejak dahulu kala. Bukan titah kedua orang tua, namun titah mimpi sang empunya jiwa. Mimpi, yang pada akhirnya akan menjadi kehidupan nyata. Kegembiraan bagi semua.
Cincin yang melekat sejak akad ditasbihkan, tidak hanya prasasti wujud cinta yang telah ditorehkan, namun wujud jiwa yang telah dipereratkan dalam wadah sakral pernikahan. Tubuh, pikiran, dan jiwa yang dipersatukan, namun bukan dipersamakan. Laksana balon yang terbang di keindahan langit biru, bukan persamaan warnanyalah yang menggembirakan, namun perbedaan warnalah yang mengundang tepuk riang penikmat kehidupan.

Bila ia angka.....
Duapuluh satu bukanlah angka yang panjang, karena selepasnya selalu akan ada lanjutan berderet panjang. Angka yang tentunya bukanlah awal, namun juga bukan akhir. Berhitung masa hingga ke angka seratus, tentu bukan kemusykilan semata. Selalu ada harapan, hitungan sempurna akan ditampakkan, meski kesempurnaan itu hanya milik Sang Maha Pemberi.
Duapuluh satu juga bukan angka yang pendek, karena sebelumnya selalu ada angka berderet. Selalu ada nol di awalnya, masa-masa saat dua jiwa belum menyatu dalam rasa dan raga, meski Tuhan telah menuliskannya sejak penciptaan itu dituliskan. Nol hanyalah kenisbian, tak bermakna bagi sebagian orang, namun akan meningkatkan nilai bagi yang memaknai. Jadilah angka nol di belakang, bukan di depan! 
\
sumber gambar : apr 03 love wallpaper for facebook
Pernikahan.....
Satu jiwa bertambah satu jiwa, jelas hasilnya bukanlah dua jiwa, karena pernikahan adalah sinergisitas, bukan deret hitung ataupun deret ukur. Hasilnya bukanlah satu atau dua, namun selalu tak terhingga, karena pernikahan bukanlah matematika keilmuan, namun matematika kehidupan.
Perjalanan kehidupan laksana menambahkan angka nol di belakang, semakin berderet jelas akan semakin bernilai. Nilai yang akan semakin dimaknai bagi sang empunya jiwa ; dua manusia berlainan namun telah ditakdirkan untuk disamakan dalam wadah sakral kehidupan. Tubuh, pikiran, dan rasa yang awalnya banyak berbeda, namun keegoan yang kian luruh di sepanjang usia. Perbedaan yang selalu memperindah rasa, mengelorakan asa, karena nuansa jiwa yang kian indah dirasa.
 
Duapuluh satu....
Seperti telah menambahkan duapuluh satu angka nol di belakangnya.
Hari ini kami telah menambahkan angka nol yang keduapuluh satu.
Alhamdulillah...........


Senin, 16 Maret 2015

Sore Ini, Kesadaran Mimpi Itu Telah Bernyali

"Menulis buku dan menjadi motivator adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan saya"
 (Izadian Zaini Fahroji)
------

Dua bulan, blog ini nyaris tak bergores sedikitpun. Mimpi berlarut dalam lelap malam, berkarung harap makin berkerakap dalam gelap, dan kerinduan jejak kian bertampuk dalam gelar mata tak berperinduan. 

Dua bulan menari dalam mimpi, tak sebongkah langkah berprasasti dalam diam, dan nyali kian berjejak dalam nalar tak bersendi. Hanya ada gelap, nyamuk bernyanyi kian merdu, hingga larut mengkerutkan asa kian terbenam.

Dua bulan, mimpi itu bersalut kian dalam. Hingga sore ini, keterbangunan bersandi diorama kehidupan yang terhutang di sepenggalah nyali. Dua bulan tidaklah lama, dua bulan tidaklah sama, dan dua bulan tidaklah bermata. Namun dua bulan, tidur yang panjang bagi seorang pemimpi sejati. Dua bulan dilewati tanpa nyali bertarian. Dua bulan yang berharap sirna selepas kalimat berteguh dari seorang pemberi motivasi.

Membaca nukilan kalimat Sang Motivator, seperti berkaca pada diri. Ia kini sudah bukan pemimpi, telah dijejaknya banyak negeri berpelangi. Juga telah ditebarnya banyak kata bijak berperi. Mungkin sudah puluhan ribu hari, ribuan minggu, ratusan bulan, atau puluhan tahun. Mungkin pula ia telah memulainya jauh sebelum diriku memulai, mungkin pula ia justru mempersilahkan diriku untuk memulai, namun akhirnya diriku tetap tertinggal. Bukan untuk ditinggalkan, namun karena diriku tak menyadari telah meminta ditinggalkan.

Tak ada tautan nyawa, tautan rasa, apalagi tautan kata. Diriku adalah lelaki di sepenggalah waktu, diriku adalah lelaki di sekelumit mimpi, dan diriku adalah lelaki di penghujung mimpi. Hanya bermimpi, meski ribuan hari telah menghias diri dengan banyak kalimat motivasi.

Motivasi untuk menyemangati, motivasi untuk memberi, dan motivasi untuk menghiasi hari. Jejak hari ini, jejak esok hari, dan jejak di kemudian hari. Jejak raga, jejak rasa, juga jejak jiwa. 

Ribuan hari, banyak kalimat mimpi yang telah disemburatkan. Ribuan hari yang sesungguhnya banyak bermakna bagi ratusan atau ribuan jiwa tak bernyali, hingga mereka menjadi petarung sejati. Mereka yang menjejak negeri, kian hari kian nyata mewujudkan mimpi. Langkah berurai bertatap tegap, karena mimpi telah mereka raih kini.

Akan halnya diriku, tetap berdiri disini. Mengenang mimpi yang kian mengabur, namun kembali harus diperjelas dan diwarnai. Menjadi motivator bukanlah sebiduk mimpi, namun biduk penulis adalah mimpi di senja hari. 

Menemukan kebijaksanaan adalah sebuah proses panjang, dan diriku sedang berproses meski hingga penghujung hari. Menciptakan keabadian di penghujung diri, jelas seberkas mimpi yang kian ditatahkan. Sekali berarti, sudah itu mati. Kalimat berpuisi ini akan terbantahkan bila tulisan dan narasi telah terciptakan.

"Menulislah, selanjutnya biarkan tangan Tuhan memelukmu dalam keabadian"
-Ase El Kalami-