Sabtu, 30 Juni 2012

Mana Jejakmu??


Sudah berapa tahun usiamu?
Tahukah kau kapan dirimu akan meninggal?
Seandainya dirimu mati hari ini, adakah yang mengenangmu?
Apakah hidupmu akan dikenang orang setelah dirimu meninggal?
Adakah jejak hidupmu memang sudah ada hingga dikenang orang?
Mengapa dirimu tak meninggal jejak untuk orang banyak?
Sudahkah waktumu yang singkat ini telah dimanfaatkan untuk kehidupan banyak orang?
Tidakkah dirimu akan menyesali hidupmu tak berjejak ini?
Sudahkah kau yakini bahwa dirimu akan dikenang?
Yakinkah?
Sungguh?
Benar?
??????
????????
??????????

Puluhan pertanyaan tiba-tiba muncul di keheningan malam ini. Tak mampu kujawab satupun, kecuali pertanyaan pertama : usiaku sudah empat puluh tahun dan belum meninggalkan jejak apapun. Selebihnya jawabannya gelap, jauh lebih gelap dari malam ini.

sumber: baltyra.com
Bulan sabit malam ketujuh baru saja kembali ke peristirahatannya, ia kini benar-benar telah meninggalkan jejak. Memberikan kerinduan bagi beberapa penjaga malam yang baru saja memukulkan pipa besi ke tiang listrik. Jejak yang sesungguhnya akan terus dilakonkannya esok malam, kembali menerangi semesta alam dengan kegembiraan. Kurasa ia memang sangat gembira karena setiap malam diberikan keleluasaan oleh Sang Maha Pengatur untuk kembali menunaikan tugasnya, terang benderang adalah hakikat hidupnya.

Duapuluh delapan hari siklus hidupnya; lahir, menjejak langit, menawarkan senyum dengan sebilah sabit, lalu membesar menjadi dewasa, hingga mencapai kegembiraan dalam kematangan jiwa berbentuk bulat sempurna, akhirnya kembali mengecil, dengan mata yang semakin menyipit, dan menutup diri dengan memejamkan mata sepenuh jiwa. Menghadap Sang Maha Pemilik memohon untuk dilahirkan kembali demi tunaikan kegembiraan esok hari. Ia hanya hening semalam saja, mengumpulkan energi sepenuh jiwa, untuk lahir kembali esok hari sebagai wujud yang sama : bulan baru!

Rabu, 27 Juni 2012

Bola Golf


Manusia selalu butuh simbolisasi, meski kadang simbol itu kurang memberi arti bahkan kadang kontroversi. Arus globalisasi kadang mengalir deras tanpa pernah dapat terbendung, jangankan kawasan perkotaan, perkampunganpun sering harus kehilangan identitasnya demi sebuah fanatisme perubahan  yang disebut hidup modern.

Tiga ratus limapuluh tahun Indonesia dijajah, mungkin inilah salah satu alasan hingga saat ini masih banyak tersisa feodalisme di tengah masyarakat : Bos seperti Tuhan yang bebas berkehendak, sedangkan bawahan hanyalah tempat eksploitasi dan kadang objek penderita. Jauh dari ideal, karena bawahan seharusnya menjadi asset bukan omset. Bukan hanya itu, perampasan hak-hak rakyat dan destruksi intelektual pada rakyatpun sering menjadi alasan legal untuk sebuah gaya hidup modern. Semua seakan mengakar dan berurat, menghunjam jauh hingga ke inti bumi, membakar dan menggoyang tanah hingga harus semburat menghambur laksana terpompa hempasan ledakan dinamit!

Sudah sepuluh hari rumah kontrakan baru ini kami diami, sudah sepuluh pagi pula kulihat  selalu berserakan buah rambutan setengah mengering berjatuhan di depan halaman rumah, sudah sepuluh pagi pula kubiarkan buah rambutan itu mengering dan kemudian disapu sang empunya tanpa boleh disentuh siapapun samasekali. Bertumpuk sudah buahnya bercampur abu bekas pembakaran daun, namun itu sudah tidak mengusikku untuk mengambil buahnya apalagi memakannya. Cukuplah sudah penderitaanku sepuluh hari yang lalu : dipelototi dan dibentak karena mengambil buah yang kering oleh gadis cantik anak sang empunya rumah.

Sepuluh hari sesungguhnya hari yang menyakitkan bila mengingat buah rambutan kering yang kulitnya sudah dibuka dan siap masuk ke mulut terpaksa harus gagal dimakan karena ditepis oleh dayang itu! Namun tak perlulah kuingat mendalam karena rasa sakit pasti akan tambah menyakitkan.

Janganlah kita menyenangi segala sesuatu itu secara berlebihan, karena boleh jadi ada keburukan di dalamnya. Janganlah pula kita membenci sesuatu itu secara berlebihan, karena boleh jadi ada kebaikan yang terkandung di dalamnya,” begitulah ucapan Kik Kambut lebih dari dua tahun yang lalu saat kami harus kehilangan adik bungsuku Faruz yang meninggal sepulang dari Rumah Sakit Manggar  waktu itu.

Tapi bagaimana caranya pak?” tanya umak saat itu.

Balikkan saja situasinya, pandang dengan cara berbeda. Artinya bila kita berbahagia, ingatlah saat kita sedang sedih. Begitu pula sebaliknya, saat sedang sedih selalu ingatlah hal-hal yang membahagiakanmu dan menyenangkanmu”.

Inilah yang kulakukan saat ini, tanpa disadari sudah kubalikkan fakta yang ada: Kesakitan dan kesedihan telah kurubah menjadi kebahagiaan dan kemudahan. Kubayangkan betapa indahnya pengalaman pertamaku menjalani Pelataran Samak seminggu yang lalu, mengingat dayang ayunan yang asyik berayun di bawah pohon seri yang rindang di rumahnya yang megah, besar dan luas. Melihat keajaiban pemandangan lengkap dengan gedung-gedung yang tigaribu enam ratus derajat berbeda dengan kampungku; gubuk reot dan tak bercat berganti rumah beton berarsitektur Eropa, rumah membarongan· berganti pondok lesehan dikelilingi patung-patung indah yang mengelilingi kolam ikan, jalanan becek selebar tigapuluh sentimeter berbataskan rumput ilalang berganti jalan aspal selebar tiga meter berbataskan parit semen selebar duapuluh sentimeter dan setinggi hampir limapuluh sentimeter.
lap golf itu kini tinggal cerita

Semakin indah bayanganku, semakin ingin kuraih lanjutan perjalanannya. Perjalanan yang masih tersisa menjelajahi Pelataran Samak, Kuboran Belande, Rumah Kawilasi, Batu Keramat, hingga Padang Golf yang katanya luas menghijau seperti lapangan bola yang tak bertepi!



· membarongan : pondok di kebun atau ladang

Syair Keranjang Pempang # 7

sumber: rennyedward.blogspot.com


Kawan....
Suatu ketika Aku pernah bermimpi
Mimpi indah tentang kehidupan
Mimpi bahagia tentang persahabatan
Mimpi menyenangkan melihat senyum semua kawan

Banyak keinginan untuk menggoreskan kehidupan
Mencercah semangat mencipta harapan
Menggali kehidupan dalam kebersamaan
Memberi dan berbagi bersama dirimu kawan
Mencerahkan kehidupan dalam temaram kehidupan

Namun kawan.....
Kehidupan memang harus diperjuangkan
Kebersamaan tetap harus digairahkan
Keinginan membangkitkan diri jauhkan  keterpurukan
Hingga kebodohan sirna melambung ke awan
Hingga kemiskinan hanyalah tulisan di atas secarik kertas yang melayang

Meski kadang harus berhadapan dengan batu karang
Meski kadang harus bertemu dengan banyak teori kehidupan
Meski kadang harus menyingkirkan ego dan perasaan
Heningkan diri menanti sebuah jawaban

*****

Senin, 18 Juni 2012

Hijrah ke Manggar


Seminggu berlalu penuh rasa sepi, sunyi dan sedih hingga jauh ke lubuk hati. Permainanpun terasa hambar, mandi di air kik Canan terasa dingin, canda tawapun terasa telah terkubur jauh ke sudut bumi. Petak umpet, main kemiri, sendetopan·, panah pucuk karet, apalagi perang-perangan. Semua benar-benar tanpa gairah.

Harusnya pindah dari kampong ke kota sering menjadi impian banyak orang, namun bagi kami semuanya seperti berjalan dalam gelap, dalam ketakutan, dan dalam tanda tanya nyaris tanpa ujung. Banyak pertanyaan tertulis besar dan bergaris bawah di dalamnya.

Sandauan·, inilah salah satu ketakutan yang paling besar. Celana drill, berkaki ayam, kulit hitam legam, perut buncit seperti cacingan, mungkin nanti akan terasa sangat berbeda dengan mereka yang tinggal di Manggar. Benar-benar sandaun seperti satu kata penuh makna yang pantas ditakuti anak kampong!

”Jadi besok subuh minggu kau akan berangkat ke Manggar ya Fath? tanya Cumik yang baru datang ke rumahku malam sabtu itu.

Ia mengenakan kain sarung bermotif burung merak, berbaju kaos berwarna putih bermotif kembang matahari berwarna kuning. Bukan hanya sang bunga yang berwarna kuning, namun sudut leher dan lengan bajunya juga telah menguning; kuning bermotif lurik-lurik, mencipta dan membentuk guratan-guratan jejak seperti sebuah pulau. Itulah bekas iler yang ia ciptakan semalam.

”Ya mik, besok subuh aku berangkat bersama umak, abang, dan bapak. Bang Farabi tetap tinggal di rumah, jawabku sambil melihat wajahnya di keremangan lampu minyak dari sebuah kaleng bekas ikan sarden.

“Akan jarang bertemulah kita, belum pisah sudah terasa rindunya,” ujarnya sambil menunduk lesu. Badinpun ikut tertunduk di sampingnya, demikian pula Pian, Teri, dan Titik.

”Iyalah…. tapi aku yakin tak akan lama kami di Manggar, hanya sebentar saja. umak dan bapak hanya ingin mengenalkan kami dengan dunia luar, agar kami selalu bersemangat meraih impian,bang Faridz menyambung di belakang.

“Ya kan Fath? tanyanya sambil mengedipkan mata.
”Benar bang, benar sekali”.

”Tak usahlah kita sedih dengan perpisahan, kami pindah ke Manggar juga hanya hijrah. Nanti kalau sudah kelas empat SD akan ada pelajaran agama tentang kisah perjalanan hijrah Rasulullah, kalian semua akan faham maksudku,” lanjutnya.

”Ya sudah, hari sudah malam. Cepatlah kalian tidur, sebentar lagi kita mau berangkat ke Manggar,” umak berkata dari kejauhan, persis saat ia sedang duduk di pintu dapur yang berjarak hampir sepuluh meter dari tempat kami sedang berkelakar saat itu di pinggir pintu samping rumah sebelah kiri, sebuah pintu yang langsung menghadap rumah Teri dan Titik. Satu-satunya pintu samping yang paling bersih dan paling aman dari bau pesing bekas kencing para Lima Satria Melayu dari dusun Batu Penyu!

Cumik, Badin, Pian, Teri, dan Titik akhirnya berpamitan. Tak ada cium pipi kanan maupun pipi kiri, apalagi pelukan rindu dari Cumi, Teri ataupun Titik, karena itu semua diharamkan oleh agama dan telah menjadi norma masyarakat Melayu Belitong yang sangat tabu untuk dilakukan. Agama dan hukum adat tetaplah hukum yang tertinggi. Tak ada satupun yang berani dengan sengaja melawannya. Dukun kampong, Kik Nuje·, dan Kepala Kampong sering jauh lebih dihormati dan dihargai daripada pejabat formal. Kepatuhan pada mereka tetaplah nomor satu, karena semua melambangkan kepatuhan pada aturan agama dan adat istiadat yang perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Indoktrinisasi tiada interupsi, begitulah yang sering disebutkan oleh Kik Syamsu.

*******
Bang Fatani sudah siap di sepedanya, sebuah sepeda terundol. Di stang depannya bergelayut sebuah tas goni timah berwarna coklat bertuliskan Tin Ore Bag. Sebuah tas kebanggaan masa itu yang penuh sesak dengan muatan berisi dua buah celana panjang baru berbahan dasar drill berwarna krem jatah Bapak sebagai buruh rendahan di UPT Belitung, satu baju kemeja putih, satu kemeja coklat berkantong besar dan celana training berwarna hitam pemberian kik Syamsu. Sepasang sepatu hitam idolanya tergantung rapi di batang sepedanya, sepasang sepatu yang sengaja dibelikan kik Syamsu karena sang cucu pernah berkata kalau ia ingin punya sepatu seperti Bruce Lee.

Bang Faridz duduk di jok belakang sepeda bapak, sebuah sepeda berwarna hitam karena telah dicat sendiri berkali-kali dengan cat minyak cap kuda terbang, tanpa kuas dan tanpa kompresor, karena sepedanya dicat dengan hanya dengan sepotong jari telunjuk. Itulah salah satu kelebihan laki-laki Melayu Belitong dalam mengecat sepeda kebanggaannya. Sebuah logo mirip kepakan sayap terpampang persis di dekat sambungan besi di bawah stang, Mister tulisannya. Sepeda Mister berbahan besi padat, sangat kuat membawa beban karena ia adalah sepeda beban terhebat mirip kepunyaan kik Lepok tempo hari.

Kaki Bang Faridz diikatkan dengan sebuah kain serbet makan berwarna krem ke batang sepeda di bawah jok, sebuah kain serbet buatan Emak dari sisa potongan celana bapak yang tak terpakai lagi.

“Tetap harus diikat kakimu meskipun kau sudah naik kelas 5 SD sekarang ini. Perjalanan kita jauh, kalau tak diikat nanti kau mengantuk maka bisa masuk kakimu ke dalam jari-jari sepeda ini. Untuk menghindarkan bala,”  ujar Bapak seolah ingin menjawab protesnya.

“Kau dengan Umak ya Fath, masuk dalam keranjang pempang. Badanmu masih muat di sisi sebelahnya. Untuk mengimbangi muatan yang diisi di sisi sebelah kanannya,“ tersenyum kulihat abangku mendengar ucapan bapak.

Apa hendak dikata, aturan tetaplah aturan, tak ada protes menggema, karena satu-satu aturan yang perlu dipatuhi hanyalah aturan nomor satu dan satu-satunya aturan: Harus patuh pada bapak!

Satu persatu barang di sisi keranjang kuhitung, ternyata ada tujuh macam muatan; Tiga buah rantang yang dua bagiannya telah diisi nasi putih dan satu bagiannya berisi dua telur rebus berikut garam dan cabe tumbuk, sepasang sepatu sekolahku berbahan dasar kain mirip sepatu Bruce Lee berwarna hitam, sepasang pakaian sekolah, sepasang baju kaos idolaku yang bergaris-garis seperti narapidana di buku TTS, baju terusan umak berwarna putih bergambar bunga krisan yang berwarna biru tua, sebuah kain panjang  berwarna coklat tua pemberian nenek Juna, dan dua buah tas sekolah berbentuk koper berwarna hitam seukuran buku gambar dan tebalnya sekitar lima sentimeter.

******
“Fath..... sudah mengantukkah?”
“Belum mak, ini masih menghitung bintang. Tak bisa dihitung mak, tapi bintangnya telah berpindah beberapa kali sejak tadi.” jawabku yang sedari tadi sangat asyik melihat bintang-bintang yang bertebaran di atas langit tiada berbatas, berselimut kabut putih, berikatkan pinggang berupa bintang-bintang gemerlap, meski bulan sudah tak nampak sejak tadi.

“Kita baru sampai pasar Gantong”.
Kulihat ke kanan kiri, memang sedang berderet toko-toko menghias jalanan. Persis di sebelah kananku, berdiri kokoh sebuah bangunan yang sedikit lebih tinggi dari bangunan sekitarnya. Itulah sebuah gedung bioskop kelas pribumi yang selalu memutar film-film Indonesia terkenal di masanya, tempat Rhoma Irama mendendangkan lagu Gitar Tua, Penasaran, Begadang, Hujan Duit, dan Berkelana bersama hajjah Veronika dan Rika Rachim ataupun Yati Oktavia. Juga tempat melompat-lompatnya Benyamin Syueb sambil menari, memperolok Ida Royani dan Mak Wok maupun Aminah Cendrakasih dalam setiap filmnya.

Tentu saja tak ketinggalan tempat bersandiwaranya Widiawati dan Sophan Sophiaan, Tang Ceng Bok, Slamet Rahardjo, Baron Hermanto, Sohia WD, Hendra Cipta Si Buta dari Goa Hantu, WD Mochtar, ataupun bintang film Ratapan Anak Tiri yang tak pernah lagi kuingat namanya karena selalu menjadi inspirasi kekejaman sang ibu tiri dan selalu menjadi alasan sang anak untuk mengatakan ibu tirinya adalah manusia paling kejam sedunia. Meskipun hal ini berarti pembelajaran kesalahan pertama dalam kehidupan bersama ibu tiri!

“Waw, bagus benar kapal ini pak, belum pernah aku melihatnya.” terbelalak mata bang Fatani saat ia baru saja melewati jembatan sungai Lenggang yang letaknya persis dua ratus meter dari ujung pasar Gantong atau hampir tiga ratus meter dari gedung bioskop yang baru saja kami lewati; sebuah pasar yang unik berbentuk huruf  T dengan gedung-gedung yang berjajar di sepanjang jalan, persis seperti pasar yang pernah kulihat di gambar komik The Lone Ranger waktu mampir ke rumah Pak Mok Masri pada hari terakhir sekolah TK.

sumber: fb Ayep Kusmaryadi
“Oh itu...itu kapal bajak laut dari Thailand atau Vietnam. Merekalah pencuri kekayaan laut kita. Kapal itu baru saja ditangkap oleh tentara di sekitar laut Gusong Cine, sekarang sedang ditahan di dok pelabuhan timah dekat gudang timah di seberang jembatan ini. Itu yang disebelah adalah kapal patroli.” kata bapak sambil menunjukkan sebuah kapal berbendera merah putih dan di lambungnya bertuliskan nomor 806.

“Hebat kapalnya ya pak, itu ada tiang yang tinggi di bagian belakangnya. Ada jaring yang besar sedang tergantung”.

 Ia menghentikan sepedanya di ujung jembatan. Matanya sangat takjub melihatnya, kapal yang besar dan gagah. Pantaslah tiga tahun kemudian ia sangat mendambakan sekali ingin menjadi pelaut, meski akhirnya tidak pernah kesampaian karena ia tak pernah berhasil lulus pada tes yang dilakukan, baik itu di Semarang maupun di Jakarta.

“Jaring yang tergantung di belakang itu namanya pukat harimau. Tak boleh lagi siapapun menggunakan pukat itu karena akan menghabiskan semua ikan yang terjaring. Tidak hanya ikan besar, namun juga ikan yang kecil juga terambil. Karangpun akan rusak, ikan akhirnya akan lari dari terumbu karang yang telah rusak, dan lautpun jadinya miskin, jelas bapak.

Sungguh ia memang seorang laki-laki desa yang nampak biasa saja, sungguh ia hanyalah laki-laki yang sudah jadi anak yatim sejak usia 13 tahun, dan sungguh ia hanyalah tamatan SR yang sekarang ini menjadi SDN 2 Gantong. Namun wawasannya sungguh luar biasa, benar-benar cerminan laki-laki Melayu Belitong yang haus dengan ilmu pengetahuan, meski sering didapatkan dari begalor· tiada pangkal dan tiada ujung bahkan hingga melewati sepenuh malam hingga kokok ayampun berbunyi menjelang pagi. Teori Ilmu Kelautan telah ia lahap, bahkan prakteknyapun telah ia garap meski hanya sebagai nelayan dadakan saat angin barat belum kalap.

Kampung seberang masih jelas terlihat olehku, deretan perumahan karyawan timah kelas menengah itulah tandanya. Cahaya dari Pelataran Timah Wilasi Lenggang jelas terang benderang di belakangku; Perumahan elit kelas satu, lengkap dengan Wisma Ria, selimbat·, lapangan tenis, SDPN, TKPN, dan rumah sakit. Namun Rumah Dua, Lapangan Golf, Tanjakan Selumar, Tanjakan, Selinsing, Tebat Gang, Kuburan Cina, dan kampung Ngarauan tidak terlihat olehku. Mata ini sungguh begitu berat, keranjang pempangpun menjadi mahligai indah untuk beradu dan berpadu, menyatu ke alam mimpi indah itulah yang sedang terjadi.

Tak ada kesedihan melanda, tak ada kesakitan tercipta, tak ada kegetiran yang dimakna, meski diriku terhunjam dan terbenam di salah satu sisi keranjang pempang yang ukurannya tak lebih dari tigapuluh sentimeter dikali empatpuluh sentimeter dan tingginya kurang dari limapuluh sentimeter!

“Fath…. Sudah bangunkah? Itu kau lihatlah ke sebelah kananmu, cahaya di langit terang benderang, itulah kota Manggar anakku....” kata Umak.
“Mana mak, mana kota Manggar?”.
“Itu...kau lihatlah ke sebelah kananmu”.
“Waaaawwww......terang benar. Lailatul Qodar itu ya mak?”.

“Mana ada lailatul qodar di bulan Desember ini nak, sekarang belum bulan puasa. Kalau lailatul qodar itu malam penuh rahmat, malam yang sangat mulia karena malam seribu bulan. Semua amal dan doa kita di malam itu akan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa,” jawabnya sambil kakinya terus mengayuh sepeda.

Masih seperti saat berangkat tadi, sesekali ia turun dari sadel sepeda untuk mengayuhnya. Tentu saja bukan karena kecapekan, tapi lebih karena kakinya terlalu pendek untuk mencapai pedal sepeda tadi. Setiap kali jalannya mulai menanjak, pastilah umak mengayuh sepeda tidak dari sadelnya, karena ia butuh tenaga yang lebih agar tanjakan dapat dilewati dengan sempurna!

“Ah mak, anggap saja memang malam ini Lailatul Qodar. Aku mau panjatkan doa kepada Allah agar keinginan kita terkabul. Bukankah baru sekali ini kulihat langit terang benderang, jadi inilah malam Lailatul Qodar buatku!,“ gumamku dalam hati sambil menadahkan tangan meski tubuhku masih terlilit dengan sempitnya keranjang pempang. Doa yang hanya diriku sendirilah yang tahu, doa yang tak kan pernah kuungkapkan pada siapapun dalam hidup ini.


· sendetopan : setopan (lihat kamus)
· sandauan : kampungan
· nuje : ketue mesjid, orang yang dituakan 
· begalor : berkelakar ngalor ngidul
· selimbat : zwimbath, kolam renang

Kamis, 14 Juni 2012

Mimpi, Inspirasi, dan Motivasi


Hari minggu yang lalu, diriku terhenyak saat berkumpul dengan beberapa Penulis muda di sebuah forum bertajuk “Workshop Kepenulisan” yang diselenggarakan oleh NBC Palembang, sebuah klub nulis buku. Keterhenyakan lebih karena begitu mudanya usia mereka, nyaris setengah usiaku. Usia muda yang sangat kreatif, punya banyak mimpi, juga banyak inspirasi dan motivasi yang sedang meletup-letup.

Empat orang dari mereka,  tiga orang jelas wanita-wanita cantik dengan gaya metropolis. Memang berusaha tampil minimalis, namun tetap belum mampu menutupi bahwa mereka adalah wanita-wanita yang sangat luar biasa brilian. Orang keempat jelas lelaki hebat, kacamatanya yang agak tebal lebih mencerminkan ia adalah lelaki yang banyak membaca, minimal banyak menatap layar komputer atau sejenisnya. Beda kulihat penampilan mereka berempat, namun dua kesamaan yang kemudian kutahu : mereka semua adalah presenter di acara workshop ini, dan mereka semua telah menjadi Penulis yang sesungguhnya karena telah memiliki buku yang dipublish.

Suzan Oktaria, sang presenter pertama berbicara banyak tentang tips menulis non fiksi. Banyak yang ia bicarakan, namun satu hal yang paling kuingat : cerita non fiksi banyak memberi inspirasi untuk cerita fiksi. Bahkan pada banyak hal, tinggal butuh letupan dan luapan emosi dan dramatisasi saja, maka semuanya menjadi makin indah. Pantaslah ia setidaknya telah mempublish empat buku, salah satu diantaranya berjudul “Belajar Lebih Bijak”. Ia benar-benar telah mengajarkan bagaimana cara agar diriku lebih bijak belajar menandai banyak pelajaran kehidupan di sekitarku.

Mizzsekar, ia presenter kedua. Topik yang dibicarakannya tentang tips menulis fiksi. Outline cerita, bisa menjadi dasar alur pengembangan skenario tulisan fiksi yang ingin kita buat. Bahkan, sangat banyak delik dan skenario yang dapat kita ciptakan saat duduk di sebuah mall atau rumah makan. Pertengkaran dan pembicaraan sepasang remaja muda, jelas menjadi dialog yang dapat memperkaya cerita fiksi yang sedang ditulis. Tipsnya : Catat setiap ide yang kita temukan, fahami ide tersebut, dan kembangkan menjadi ide yang dapat ditulis. Sangat pantaslah bila ia juga telah mempublish buku novel yang sangat menggoda berjudul “Prewedding – the series” yang kurasa juga diinspirasikan banyak perjalanan cinta di sekitarnya.

Presenter ketiga, Rachmi Zen, jelas sangat menarik. Hentakan di awal, sungguh mengagetkanku. Hanya dua slide, namun jelas BEDA. Topik yang dibicarakannya juga tentang BEDA (Be different, Empathy, confiDence, and  enthusiAstic ). Sama bedanya dengan tampilannya yang bersepatu boat! Ia juga telah mempublish bukunya yang berjudul ”Long Distance Relation” sebuah novel yang kurasa diangkat dari banyak pengalaman pribadi dan pengalaman banyak orang di sekitarnya. "Dengan membaca kita mengetahui dunia, dengan menulis dunia mengenal kita". Sungguh ucapannya yang sangat memotivasi banyak orang untuk terus dan terus menulis.

Orang keempat, Andhika Wijaya, jelas paling nyentrik. Ia seorang lelaki yang menurutku jelas tak mampu menutupi kepintarannya. Pelajaran yang kuambil dari seorang Habibie : orang pintar lebih cepat otaknya yang berbicara dibandingkan mulutnya yang bersuara! Ia juga telah mempublish bukunya yang berjudul ”Mendulang Dolar dengan Fi-Ver”. Salah satu tips sukses menjadi penulis : Publish karya kita ke banyak media sosial. Belum lengkap seorang Penulis bila belum memiliki facebook, twitter, dan blog. Jangan pernah berhenti dan menyerah mempublishnya, apa yang kita tuliskan hari ini jelas bukti nyata jejak kita hari ini!

Lantas mengapa yang kutuliskan ini termasuk pernak-pernik? 
Sederhana jawabannya : Mereka semua berangkat dari titik awal yang sama yaitu Mimpi. Mimpi yang kemudian merangsang banyak inspirasi, dan akhirnya menguatkan banyak motivasi mereka untuk menulis dan menerbitkannya. Buku yang akan menjadi jejak sejarah bahwa mereka pernah hidup, pemikiran-pemikiran mereka akan selalu hidup selama buku-bukunya ada yang membaca dan mengulasnya!

Kemudian apa kaitan mimpi dengan inspirasi dan motivasi?
Sebuah tulisan di Media Indonesia hari ini, Kamis 14 Juni 2012 halaman 27 menuliskan sebagai berikut :

sumber: fraithzone.blogspot.com
”Semua orang pernah bermimpi. Hanya orang-orang yang kurang sempurnalah yang sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun bermimpi. Orang seperti itu mungkin saja ada, boleh jadi juga tidak. Itu bagian misteri yang menghinggapi manusia.

Mimpipun hingga kini masih tetap misteri, belum ada satupun ilmu pengetahuan dan peralatan tercanggih mampu mengungkap apa itu mimpi. Namun, sebagian pakar menganggap mimpi tidak lain buah permainan alam bawah sadar manusia yang memadukan pergulatan pikiran dan perasaan dalam kehidupan sehari-hari ketika manusia tertidur. Itu sebabnya sebagian orang lebih senang menyebutkan mimpi sebagai bunga-bunga tidur.

Bagi sebagian orang, mimpi yang kemudian menjadi kenyataan sungguh sebuah anugerah yang tak terkirakan. Mimpi yang mampu membangkitkan inspirasi, yang mendorong orang terus berkreasi.

Mimpi mampu menciptakan emosi dan inspirasi, serta membangkitkan gairah dan harapan. Maka, jangan sungkan bermimpi!”

Singkatnya, mereka berempat, diriku, anda semua, dan kita semua jelas berhak dan boleh bermimpi apapun. Makin banyak mimpi yang kita ciptakan, makin banyak inspirasi yang kita hamparkan. Motivasi kitapun akan makin meningkat, dan alhasil....banyak hal yang mampu kita raih.

Mereka berempat telah menerbitkan buku, sangat sah mereka menyandang titel sebagai Penulis. ”Syair Keranjang Pempang” yang kutulis hampir dua tahun juga telah berhasil kuterbitkan menyusul mereka berempat. Buku yang kemudian melengkapi mimpiku untuk menjadi seorang WTS (Writer – Trainer – Speaker) !

Mengutip apa yang dikatakan Suzan Oktaria sebelum menutup sesi pertamanya :
”Kita sangat kreatif, tapi kita tidak cukup berani untuk menulis. Sesungguhnya kita mampu merubah dunia dengan menulis. Menulis dan abadilah!”

Syair Keranjang Pempang # 6


Harap itu hanya lidah
Juga pikiran
Juga hati
Juga jiwa

Kala hadap hanya harap
Kala dekap hanya sikap
Kala pasrah dilindas amarah
Kala itulah pikiran diuji
Hati diuji
Jiwapun diuji

Nanar
Merah
Amarah
Sumpah serapah
Hanya sempitkan diri

Tak ada lapangnya diri
Jadikan diri tak berperi
Saatnya tanyakan pada diri
sumber: adjavas.blogdetik.com
Layakkah diri hidup di bumi?

Selasa, 12 Juni 2012

Feodalisme Tak Terbantahkan !



Segala sesuatu di dunia ini selalu ada awal dan akan ada akhir. Malam akan diakhiri oleh siang, gelap akan diselesaikan oleh terang, dan masalah selalu diganti dengan penyelesaian. Gemuruh berganti hening, kilatan berakhir hujan, keputusasaan berganti kegembiraan, impian digantikan kenyataan.

Siang ini, baru saja aku pulang dari TK Kartini Gantong. Telah setahun jalanan sejauh hampir enam kilometer kulalui setiap harinya, pergi setiap pagi dengan kik Syamsu, dan pulangnya dengan bang Farabi dan kadang bersama umak. Pagi yang indah selalu kulewati, teriakan yang hebat selalu siap kuperdengarkan, tali-tali laso sang koboi selalu dilemparkan, karena diriku adalah sang koboi yang sedang duduk di atas kuda tunggangan favorit tahun tujuhpuluhan; motor kik Syamsu berwarna merah penuh menyala, dan duduk di tangki bensin laksana sang penunggang kuda tiada tara!

******

Hanya butuh lima belas menit untuk menghabiskan sepiring nasi di atas piring kaleng berwarna terang dan bergambar tiga buah bunga mawar di setiap pinggirannya, ikan goreng sepotongpun tumpas bablas hingga tiada bersisa kecuali tulang tengahnya yang besar dan menusuk diri!

Di sebelahku, abang tak kalah lahapnya. Lima belas menit ia lewati untuk menghabiskan dua piring nasi, namun hanya dengan lauk setengah potongan ekor ikan goreng. Sungguh berbeda denganku, beda nasi dan beda ikan goreng. Namun kami tetaplah sama; selalu bersemangat bila makan dan selalu bersyukur atas nasi yang telah dihidangkan hari ini.

“Mak....aku pergi dulu,” ujarnya setengah jam kemudian, berpamitan pada Umak karena ia kembali harus menyusuri jalan yang sama seperti tadi pagi; bersepeda sejauh hampir sejauh enam kilometer lagi untuk bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong.

“Ya, hati-hati di jalan. Jalan lupa berdoa, belajar yang rajin”.
“Ya mak...”

Aku tahu, setiap hari kalimat yang sama selalu diucapkan oleh mereka berdua, Abang berpamitan dan Umak berpesan. Sungguh inilah atmosfir keseharian yang menjadi rutinitas tiada henti. Bukan rutinitas yang membosankan, karena ini adalah rutinitas dari sebuah tatanan tatakrama seorang anak pada orang tua, dan rutinitas pesan sekaligus doa dari orang tua pada sang anak; rutinitas demi keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.

Siang itu berlalu seperti biasanya, tak ada yang spesial terjadi. Semuanya berjalan normal, diriku bermain dengan Badin, Cunan, Cuai, Cumi, Cunok, Cuam, Teri, Titik, Itin, Arjo, Mitak, dan Pian. Mandi di aik kik Canan, adu buah karet, main kelereng, benteng-bentengan, dan petak umpet; permainan tradisional yang mungkin suatu saat tinggal cerita tuturan dari mulut ke mulut tanpa pernah dikenal oleh generasi baru.

sumber : islamtimes.org
Kemajuan memang seperti pisau bermata dua, tradisi lama bisa terlupakan dengan tradisi baru yang penuh kegamangan. Sosialisasi dan kegotongroyongan akan tergantikan dengan individualisme yang kadang membutakan. Kepedulian berganti keegoisan personal yang kadang tiada bandingan. Bahkan manusia yang semula adalah asset kemudian sering beralih menjadi omset. Eksploitasi demi eksploitasi, modernisasi demi modernisasi, yang kadang tiada batas dan tiada aturan. Homo homini socius segera bertransformasi diri menjadi Homo homini lupus

******

Minggu, 10 Juni 2012

Beda Generasi, Beda Keranjang Pempang


Siang ini, diriku terhenyak, sangat !
Di saat moment gathering "One Day with LIA", sebuah renungan tiba-tiba muncul saat melihat mereka, anak-anak di level EC menampilkan performancenya. Bukan indahnya performance mereka yang membuatku terhenyak, namun penguasaan bahasa yang sangat kukagumi.

Pikiranku teringat pada masa-masa saat masih seusia mereka, jangankan berbahasa Inggris, berbahasa Indonesia saja masih sulit melafazkannya meskipun kami sesungguhnya keturunan Melayu Belitong yang notabene banyak menjadi akar rumput bahasa Indonesia. Jelas tak akan lebih sulit dalam penguasaan bahasa dibandingkan dengan suku lainnya.

Di usia seperti mereka, kami yang tinggal di kampung harus berjuang mengisi perut melawan kebodohan. Tak ada yang namanya les, pendidikan dasarpun sudah cukup kami nikmati alakadarnya meski belumlah gratis. Sering uang SPP yang jumlah kurang dari tigaratus rupiah harus kami gantikan dengan menjual dua kilogram beras, itupun kalau ada. Bila belum ada, maka ubi kayulah yang harus kami jual, atau diolah menjadi jajanan kampung sederhana : Talam menggale alias talam ubi kayu. 

Sepulang sekolah, keranjang pempang jelas menjadi menu wajib. Keranjang pempang ini diikatkan di sadel belakang sepeda, bukanlah sepeda yang layak karena hanya sepeda "terundol". Nyaris hanya ada dua roda, pedal, rantai, dan batang besinya saja. Kadang freewellnya harus dipukul dulu berkali-kali agar dapat dikayuh. Jauh dari layak, namun yang penting sepedanya masih bisa jalan!

Kini, anak seusiaku yang kala itu terus berjuang membela hidup dan meraih impian, telah berjuang dengan cara yang berbeda. Keranjang pempang telah berubah menjadi sebuah tas sandang, ubi kayu dan hasil bumi lainnya telah berubah menjadi setumpuk buku wajib dan buku les, sepatu "cokhai" telah berubah menjadi sepatu fashion berharga selangit, bahasa kampung telah berubah menjadi bahasa Inggris, dan kompetisi berbasis alam telah berubah menjadi kompetisi berbasis mall. Banyak yang berubah, namun yang benar-benar berubah adalah perubahan itu sendiri. Siaplah kita punah bila tidak berubah!

Banyak pelajaran dan renungan yang ingin kutuliskan, gatal jari-jari ini ingin menumpahkannya. Namun harus kutunda karena riuhan tepuk tangan di mall ini sungguh mengganggu konsentrasiku yang sesungguhnya butuh keheningan saat menulis. 

Namun satu hal yang kumaknai, beda generasi jelas beda keranjang pempangnya. Berbeda, namun satu hal yang sama : Meraih kehidupan yang lebih baik itulah tujuannya.

Indahnya Syair Keranjang Pempang, alhamdulillah........

Sabtu, 09 Juni 2012

Inspirasi dari seorang Entrepreneur

Sore ini, sebuah perjumpaan sangat luar biasa kembali terjadi. Perjumpaan yang sesungguhnya telah lama kurencanakan, namun baru dapat terealisasi di tengah banyak kesibukan duniawi menggoreskan banyak tuturan indah di sepanjang perjalanan. Tuturan yang makin hari makin asyik saja dituturkan, hingga nyaris kulupakan ada sekian banyak kerabat dan sahabat yang akhirnya "merasa diterbengkalaikan" karena sudah beberapa kali membuka blog ini, namun isinya masih kosong melompong; tak ada yang baru!

Sesungguhnya bukan hening yang kulakukan, bukan pula surut ke belakang, apalagi menyerah pada keadaan. Namun sesungguhnya dalam setiap episode kehidupan manusia, selalu dibutuhkan langkah mundur beberapa langkah untuk kemudian meloncat dan berlari lebih jauh dan terus lebih jauh. Lompatan dan lari yang jelas akan makin "full power" dan "full inspiration".

Dalam kerangka inilah, maka kemudian diriku sengaja bertemu dan berdiskusi dengan seorang sahabat, lebih tepat disebut kerabat karena sejak tujuh tahun yang lalu persahabatan kami sudah begitu dekat, hingga lebih layak saat ini disebut kerabat. Kami awalnya melangkah bersama di sebuah unit bisnis yang sama, saling mengisi dengan banyak ide-ide yang terkadang aneh dan diluar pemikiran banyak orang. Ia kemudian sempat berguru hingga ke tanah Jawa, hingga kemudian beberapa tahun yang lalu kembali ke Palembang dengan segala idenya yang banyak merefresh diriku.

Kami sempat berjalan bersama sekitar dua tahun, namun beberapa bulan yang lalu ia memutuskan "lulus sebagai karyawan" dan mulai menekuni profesi barunya sebagai Entrepreneur. Benar-benar entrepreneur yang sesungguhnya karena meski beberapa tawaran pernah datang padanya, termasuk menjadi seorang kepala cabang sebuah unit bisnis yang menjanjikan, ia belum memutuskannya. Bahkan menurutku ia tak akan memutuskannya untuk kembali menyandang kembali profesi sebagai "karyawan".

Kulihat sebelumnya ia pernah gamang, namun ucapannya padaku saat ia memohon doa agar tetap dan selalu dikuatkan untuk menekuni profesinya sebagai entrepreneur meski dengan banyak resiko, makin yakinlah diriku bahwa ia benar-benar sudah memutuskannya. Keputusan yang sesungguhnya sangatlah tidak mudah!

Namun bukan ini yang ingin kututurkan kali ini. Diriku hanya ingin tuturkan bahwa ada banyak ide brilian darinya menyangkut Syair Keranjang Pempang. Baik itu sounding dan campaign melalui blog ini, maupun dari banyak jejaring sosial lainnya. Alhasil, tidak ada perjuangan yang mudah untuk menguatkan diri memperjuangkan "syair-syair kehidupan yang sebagian dituturkan di Syair Keranjang Pempang". Butuh kekuatan moral, butuh keikhlasan, butuh kesabaran, butuh ketabahan, apalagi usaha yang terus menerus. 

"Syair Keranjang Pempang sudah menjadi sebuah produk, brand name, dan trade mark. Tinggal memastikan upaya dan jejaknya terus mengalir menjadi brand image," ujarnya menguatkanku. 

Ia lalu menceritakan bahwa sejak awal tahun ini sudah sangat banyak yang dilakukannya. Jauh lebih banyak dari yang pernah ia rencanakan, jauh lebih banyak dari apa yang ia pernah perkirakan, dan jauh lebih berat dari apa yang pernah ia bayangkan. Siap menang berarti siap kalah, siap benar berarti siap salah, siap bertutur juga berarti siap diam. Siap menanggalkan "baju karyawan" berarti siap menjadi entrepreneur sejati! Tak pernah ada perjuangan yang mudah untuk memperjuangkan sesuatu yang mulia. Tak kan pernah ada tuturan yang terabaikan dari sebuah perjalanan banyak tokoh dengan banyak kearifan lokal, dimanapun mereka berada. Tidak hanya di negeri Belitong, namun di banyak negeri lainnya.

Ia kemudian melanjutkan ucapannya,"Kenikmatan itu bukanlah dari berapa banyak buku yang terjual, bukan pada berapa banyak profit materi yang diraih, juga bukan pada berapa banyak orang mengenal sang Penutur. Keberhasilan itu justru terletak pada berapa banyak tuturan yang terinspirasi dari Syair Keranjang Pempang, karena tuturan dalam keranjang pempang adalah tuturan kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada rekayasa samasekali!"
sumber: Syuhada17.com

Sabtu, 02 Juni 2012

Syair Keranjang Pempang # 5


sumber: quranic-healing.blogspot.com

Keterbatasan gerak berbanding lurus dengan fisik
Keterbatasan pikiran berbanding lurus dengan kecerdasan intelektual
Keterbatasan hati berbanding lurus dengan budi pekerti.

Butuh energi yang besar untuk menaklukkan dunia
Butuh energi yang lebih besar untuk menaklukkan orang lain
Butuh energi yang sangat besar untuk menaklukkan diri sendiri.

Pertarungan demi pertarungan
Dari merangkak hingga bertongkat
Dari terbit mentari hingga tenggelamnya bulan
Satu demi satu saling berganti.

Keterbatasan fisik karunia Illahi
Kerdilnya jiwa jangan ditampakkan
Besar dan kecil sudah guratan
Tetap jadikan diri beriman.

Penciptaan diri tetap yang terbaik
Karena diri kita adalah yang terbaik
Karena diciptakan oleh Sang Maha Terbaik

*****