Seminggu berlalu penuh rasa sepi, sunyi dan sedih hingga
jauh ke lubuk hati. Permainanpun terasa hambar, mandi di air kik Canan terasa
dingin, canda tawapun terasa telah terkubur jauh ke sudut bumi. Petak umpet,
main kemiri, sendetopan·, panah pucuk karet, apalagi perang-perangan. Semua
benar-benar tanpa gairah.
Harusnya pindah dari kampong ke kota sering menjadi
impian banyak orang, namun bagi kami semuanya seperti berjalan dalam gelap,
dalam ketakutan, dan dalam tanda tanya nyaris tanpa ujung. Banyak pertanyaan
tertulis besar dan bergaris bawah di dalamnya.
Sandauan·, inilah salah satu ketakutan yang paling besar. Celana drill, berkaki ayam, kulit hitam legam, perut
buncit seperti cacingan, mungkin nanti akan terasa sangat berbeda dengan mereka
yang tinggal di Manggar. Benar-benar
sandaun seperti satu kata penuh makna yang pantas ditakuti anak kampong!
”Jadi besok subuh minggu kau akan berangkat ke Manggar ya
Fath?”
tanya Cumik yang baru datang ke rumahku malam sabtu itu.
Ia mengenakan kain sarung bermotif burung merak, berbaju
kaos berwarna putih bermotif kembang matahari berwarna kuning. Bukan hanya sang
bunga yang berwarna kuning, namun sudut leher dan lengan bajunya juga telah
menguning; kuning bermotif lurik-lurik, mencipta dan membentuk guratan-guratan
jejak seperti sebuah pulau. Itulah bekas iler yang ia ciptakan semalam.
”Ya mik, besok subuh aku berangkat bersama umak, abang,
dan bapak. Bang Farabi tetap tinggal di rumah,” jawabku sambil
melihat wajahnya di keremangan lampu minyak dari sebuah kaleng bekas ikan
sarden.
“Akan jarang bertemulah kita, belum pisah sudah terasa
rindunya,” ujarnya sambil menunduk lesu. Badinpun ikut tertunduk di
sampingnya, demikian pula Pian, Teri, dan Titik.
”Iyalah…. tapi aku yakin tak akan lama kami di Manggar,
hanya sebentar saja. umak dan bapak hanya ingin mengenalkan kami dengan dunia
luar, agar kami selalu bersemangat meraih impian,” bang Faridz menyambung
di belakang.
“Ya kan Fath?” tanyanya sambil mengedipkan mata.
”Benar bang, benar sekali”.
”Tak usahlah kita sedih dengan perpisahan, kami pindah ke
Manggar juga hanya hijrah. Nanti kalau sudah kelas empat SD akan ada pelajaran
agama tentang kisah perjalanan hijrah Rasulullah, kalian semua akan faham
maksudku,” lanjutnya.
”Ya sudah, hari sudah malam. Cepatlah kalian tidur,
sebentar lagi kita mau berangkat ke Manggar,” umak berkata dari
kejauhan, persis saat ia sedang duduk di pintu dapur yang berjarak hampir
sepuluh meter dari tempat kami sedang berkelakar saat itu di pinggir pintu
samping rumah sebelah kiri, sebuah pintu yang langsung menghadap rumah Teri dan
Titik. Satu-satunya pintu samping yang paling bersih dan paling aman dari bau
pesing bekas kencing para Lima Satria Melayu dari dusun Batu Penyu!
Cumik, Badin, Pian, Teri, dan Titik akhirnya berpamitan.
Tak ada cium pipi kanan maupun pipi kiri, apalagi pelukan rindu dari Cumi, Teri
ataupun Titik, karena itu semua diharamkan oleh agama dan telah menjadi norma
masyarakat Melayu Belitong yang sangat tabu untuk dilakukan. Agama dan hukum
adat tetaplah hukum yang tertinggi. Tak ada satupun yang berani dengan sengaja
melawannya. Dukun kampong, Kik Nuje·, dan Kepala Kampong sering jauh lebih dihormati dan
dihargai daripada pejabat formal. Kepatuhan pada mereka tetaplah nomor satu,
karena semua melambangkan kepatuhan pada aturan agama dan adat istiadat yang
perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Indoktrinisasi tiada interupsi, begitulah
yang sering disebutkan oleh Kik Syamsu.
*******
Bang Fatani sudah siap di sepedanya, sebuah sepeda
terundol. Di stang depannya bergelayut sebuah tas goni timah berwarna coklat
bertuliskan Tin Ore Bag. Sebuah tas kebanggaan masa itu yang penuh sesak
dengan muatan berisi dua buah celana panjang baru berbahan dasar drill berwarna
krem jatah Bapak sebagai buruh rendahan di UPT Belitung, satu baju kemeja
putih, satu kemeja coklat berkantong besar dan celana training berwarna hitam
pemberian kik Syamsu. Sepasang sepatu hitam idolanya tergantung rapi di batang
sepedanya, sepasang sepatu yang sengaja dibelikan kik Syamsu karena sang
cucu pernah berkata kalau ia ingin punya sepatu seperti Bruce Lee.
Bang Faridz duduk di jok belakang sepeda bapak, sebuah
sepeda berwarna hitam karena telah dicat sendiri berkali-kali dengan cat minyak
cap kuda terbang, tanpa kuas dan tanpa kompresor, karena sepedanya dicat dengan
hanya dengan sepotong jari telunjuk. Itulah salah satu kelebihan laki-laki
Melayu Belitong dalam mengecat sepeda kebanggaannya. Sebuah logo mirip kepakan
sayap terpampang persis di dekat sambungan besi di bawah stang, Mister
tulisannya. Sepeda Mister berbahan besi padat, sangat kuat membawa beban karena
ia adalah sepeda beban terhebat mirip kepunyaan kik Lepok tempo hari.
Kaki Bang Faridz diikatkan dengan sebuah kain serbet makan
berwarna krem ke batang sepeda di bawah jok, sebuah kain serbet buatan Emak
dari sisa potongan celana bapak yang tak terpakai lagi.
“Tetap harus diikat kakimu meskipun kau sudah naik kelas
5 SD sekarang ini. Perjalanan kita jauh, kalau tak diikat nanti kau mengantuk
maka bisa masuk kakimu ke dalam jari-jari sepeda ini. Untuk menghindarkan bala,” ujar Bapak seolah ingin menjawab protesnya.
“Kau dengan Umak ya Fath, masuk dalam keranjang pempang. Badanmu masih muat di
sisi sebelahnya. Untuk mengimbangi muatan yang diisi di sisi sebelah kanannya,“
tersenyum kulihat abangku mendengar ucapan bapak.
Apa hendak dikata, aturan tetaplah aturan, tak ada protes
menggema, karena satu-satu aturan yang perlu dipatuhi hanyalah aturan nomor
satu dan satu-satunya aturan: Harus patuh pada bapak!
******
“Fath..... sudah mengantukkah?”
“Belum mak, ini masih menghitung bintang. Tak bisa dihitung mak, tapi bintangnya telah berpindah
beberapa kali sejak tadi.” jawabku yang sedari tadi sangat asyik melihat
bintang-bintang yang bertebaran di atas langit tiada berbatas, berselimut kabut
putih, berikatkan pinggang berupa bintang-bintang gemerlap, meski bulan sudah
tak nampak sejak tadi.
“Kita baru sampai pasar Gantong”.
Kulihat ke kanan kiri, memang sedang berderet toko-toko
menghias jalanan. Persis di sebelah kananku, berdiri kokoh sebuah bangunan yang
sedikit lebih tinggi dari bangunan sekitarnya. Itulah sebuah gedung bioskop
kelas pribumi yang selalu memutar film-film Indonesia terkenal di masanya,
tempat Rhoma Irama mendendangkan lagu Gitar Tua, Penasaran, Begadang, Hujan
Duit, dan Berkelana bersama hajjah Veronika dan Rika Rachim ataupun Yati
Oktavia. Juga tempat melompat-lompatnya Benyamin Syueb sambil menari,
memperolok Ida Royani dan Mak Wok maupun Aminah Cendrakasih dalam setiap
filmnya.
Tentu saja tak ketinggalan tempat bersandiwaranya
Widiawati dan Sophan Sophiaan, Tang Ceng Bok, Slamet Rahardjo, Baron Hermanto,
Sohia WD, Hendra Cipta Si Buta dari Goa Hantu, WD Mochtar, ataupun bintang film
Ratapan Anak Tiri yang tak pernah lagi kuingat namanya karena selalu menjadi
inspirasi kekejaman sang ibu tiri dan selalu menjadi alasan sang anak untuk
mengatakan ibu tirinya adalah manusia paling kejam sedunia. Meskipun hal ini
berarti pembelajaran kesalahan pertama dalam kehidupan bersama ibu tiri!
“Waw, bagus benar kapal ini pak, belum pernah aku
melihatnya.” terbelalak mata bang Fatani saat ia baru saja melewati
jembatan sungai Lenggang yang letaknya persis dua ratus meter dari ujung pasar
Gantong atau hampir tiga ratus meter dari gedung bioskop yang baru saja kami
lewati; sebuah pasar yang unik berbentuk huruf T dengan gedung-gedung yang berjajar di sepanjang jalan,
persis seperti pasar yang pernah kulihat di gambar komik The Lone Ranger waktu
mampir ke rumah Pak Mok Masri pada hari terakhir sekolah TK.
![]() |
sumber: fb Ayep Kusmaryadi |
“Hebat kapalnya ya pak, itu ada tiang yang tinggi di
bagian belakangnya. Ada jaring yang besar sedang tergantung”.
Ia menghentikan
sepedanya di ujung jembatan. Matanya sangat takjub melihatnya, kapal yang besar
dan gagah. Pantaslah tiga tahun kemudian ia sangat mendambakan sekali ingin
menjadi pelaut, meski akhirnya tidak pernah kesampaian karena ia tak pernah
berhasil lulus pada tes yang dilakukan, baik itu di Semarang maupun di Jakarta.
“Jaring yang tergantung di belakang itu namanya pukat
harimau. Tak boleh lagi siapapun menggunakan pukat itu karena akan menghabiskan
semua ikan yang terjaring. Tidak hanya ikan besar, namun juga ikan yang kecil
juga terambil. Karangpun akan rusak, ikan akhirnya akan lari dari terumbu
karang yang telah rusak, dan lautpun jadinya miskin,” jelas bapak.
Sungguh ia memang seorang laki-laki desa yang nampak
biasa saja, sungguh ia hanyalah laki-laki yang sudah jadi anak yatim sejak usia
13 tahun, dan sungguh ia hanyalah tamatan SR yang sekarang ini menjadi SDN 2
Gantong. Namun wawasannya sungguh luar biasa, benar-benar cerminan laki-laki
Melayu Belitong yang haus dengan ilmu pengetahuan, meski sering didapatkan dari
begalor· tiada pangkal dan tiada ujung bahkan hingga melewati
sepenuh malam hingga kokok ayampun berbunyi menjelang pagi. Teori Ilmu Kelautan
telah ia lahap, bahkan prakteknyapun telah ia garap meski hanya sebagai nelayan
dadakan saat angin barat belum kalap.
Kampung seberang masih jelas terlihat olehku, deretan
perumahan karyawan timah kelas menengah itulah tandanya. Cahaya dari Pelataran
Timah Wilasi Lenggang jelas terang benderang di belakangku; Perumahan elit
kelas satu, lengkap dengan Wisma Ria, selimbat·, lapangan tenis, SDPN, TKPN, dan rumah sakit. Namun
Rumah Dua, Lapangan Golf, Tanjakan Selumar, Tanjakan, Selinsing, Tebat Gang,
Kuburan Cina, dan kampung Ngarauan tidak terlihat olehku. Mata ini sungguh begitu
berat, keranjang pempangpun menjadi mahligai indah untuk beradu dan berpadu,
menyatu ke alam mimpi indah itulah yang sedang terjadi.
Tak ada kesedihan melanda, tak ada kesakitan tercipta,
tak ada kegetiran yang dimakna, meski diriku terhunjam dan terbenam di salah
satu sisi keranjang pempang yang ukurannya tak lebih dari tigapuluh sentimeter
dikali empatpuluh sentimeter dan tingginya kurang dari limapuluh sentimeter!
“Fath…. Sudah bangunkah? Itu kau lihatlah ke sebelah
kananmu, cahaya di langit terang benderang, itulah kota Manggar anakku....”
kata Umak.
“Mana mak, mana kota Manggar?”.
“Itu...kau lihatlah ke sebelah kananmu”.
“Waaaawwww......terang benar. Lailatul Qodar itu ya mak?”.
“Mana ada lailatul
qodar di bulan Desember ini nak, sekarang belum bulan puasa. Kalau lailatul qodar itu malam penuh rahmat,
malam yang sangat mulia karena malam seribu bulan. Semua amal dan doa kita di
malam itu akan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa,” jawabnya
sambil kakinya terus mengayuh sepeda.
Masih seperti saat berangkat tadi, sesekali ia turun dari
sadel sepeda untuk mengayuhnya. Tentu saja bukan karena kecapekan, tapi lebih
karena kakinya terlalu pendek untuk mencapai pedal sepeda tadi. Setiap kali
jalannya mulai menanjak, pastilah umak mengayuh sepeda tidak dari sadelnya,
karena ia butuh tenaga yang lebih agar tanjakan dapat dilewati dengan sempurna!
“Ah mak, anggap saja memang malam ini Lailatul Qodar. Aku mau panjatkan doa kepada Allah agar keinginan kita
terkabul. Bukankah baru sekali ini kulihat langit terang benderang, jadi inilah
malam Lailatul Qodar buatku!,“
gumamku dalam hati sambil menadahkan tangan meski tubuhku masih terlilit dengan
sempitnya keranjang pempang. Doa yang hanya diriku sendirilah yang tahu, doa
yang tak kan pernah kuungkapkan pada siapapun dalam hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar