Manusia selalu butuh simbolisasi, meski kadang simbol itu
kurang memberi arti bahkan kadang kontroversi. Arus globalisasi kadang mengalir
deras tanpa pernah dapat terbendung, jangankan kawasan perkotaan,
perkampunganpun sering harus kehilangan identitasnya demi sebuah fanatisme
perubahan yang disebut hidup modern.
Tiga ratus limapuluh tahun Indonesia dijajah, mungkin
inilah salah satu alasan hingga saat ini masih banyak tersisa feodalisme di
tengah masyarakat : Bos seperti Tuhan yang bebas berkehendak, sedangkan bawahan
hanyalah tempat eksploitasi dan kadang objek penderita. Jauh dari ideal, karena
bawahan seharusnya menjadi asset bukan omset. Bukan hanya itu, perampasan hak-hak
rakyat dan destruksi intelektual pada rakyatpun sering menjadi alasan legal
untuk sebuah gaya hidup modern. Semua seakan mengakar dan berurat, menghunjam
jauh hingga ke inti bumi, membakar dan menggoyang tanah hingga harus semburat
menghambur laksana terpompa hempasan ledakan dinamit!
Sudah sepuluh hari rumah kontrakan baru ini kami diami,
sudah sepuluh pagi pula kulihat selalu
berserakan buah rambutan setengah mengering berjatuhan di depan halaman rumah,
sudah sepuluh pagi pula kubiarkan buah rambutan itu mengering dan kemudian
disapu sang empunya tanpa boleh disentuh siapapun samasekali. Bertumpuk sudah
buahnya bercampur abu bekas pembakaran daun, namun itu sudah tidak mengusikku
untuk mengambil buahnya apalagi memakannya. Cukuplah sudah penderitaanku
sepuluh hari yang lalu : dipelototi dan dibentak karena mengambil buah yang
kering oleh gadis cantik anak sang empunya rumah.
Sepuluh hari sesungguhnya hari yang menyakitkan bila
mengingat buah rambutan kering yang kulitnya sudah dibuka dan siap masuk ke
mulut terpaksa harus gagal dimakan karena ditepis oleh dayang itu! Namun
tak perlulah kuingat mendalam karena rasa sakit pasti akan tambah menyakitkan.
“Janganlah kita
menyenangi segala sesuatu itu secara berlebihan, karena boleh jadi ada
keburukan di dalamnya. Janganlah pula kita membenci sesuatu itu secara
berlebihan, karena boleh jadi ada kebaikan yang terkandung di dalamnya,” begitulah ucapan Kik Kambut lebih dari
dua tahun yang lalu saat kami harus kehilangan adik bungsuku Faruz yang
meninggal sepulang dari Rumah Sakit Manggar
waktu itu.
“Tapi bagaimana caranya
pak?” tanya umak saat itu.
“Balikkan saja
situasinya, pandang dengan cara berbeda. Artinya bila kita berbahagia, ingatlah
saat kita sedang sedih. Begitu pula sebaliknya, saat sedang sedih selalu
ingatlah hal-hal yang membahagiakanmu dan menyenangkanmu”.
Inilah yang kulakukan saat ini, tanpa disadari sudah
kubalikkan fakta yang ada: Kesakitan dan kesedihan telah kurubah menjadi
kebahagiaan dan kemudahan. Kubayangkan betapa indahnya pengalaman pertamaku
menjalani Pelataran Samak seminggu yang lalu, mengingat dayang ayunan yang
asyik berayun di bawah pohon seri yang rindang di rumahnya yang megah, besar
dan luas. Melihat keajaiban pemandangan lengkap dengan gedung-gedung yang
tigaribu enam ratus derajat berbeda dengan kampungku; gubuk reot dan tak bercat
berganti rumah beton berarsitektur Eropa, rumah membarongan· berganti pondok lesehan dikelilingi patung-patung indah
yang mengelilingi kolam ikan, jalanan becek selebar tigapuluh sentimeter berbataskan
rumput ilalang berganti jalan aspal selebar tiga meter berbataskan parit semen
selebar duapuluh sentimeter dan setinggi hampir limapuluh sentimeter.
lap golf itu kini tinggal cerita |
Semakin indah bayanganku, semakin ingin kuraih lanjutan
perjalanannya. Perjalanan yang masih tersisa menjelajahi Pelataran Samak,
Kuboran Belande, Rumah Kawilasi, Batu Keramat, hingga Padang Golf yang katanya
luas menghijau seperti lapangan bola yang tak bertepi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar