Rabu, 22 Januari 2014

Tiga Jurus

Hujan belumlah reda,  sudah sejak jelang subuh ia terus meneteskan diri hingga kini.  Hari sebetulnya sudah nyaris lewat tengah hari,  namun belum sedikitpun nampak matahari akan menawarkan senyumnya. Jangankan senyuman,  salamnyapun nampaknya harus sabar kami nantikan hari ini. 

Seorang sahabat,  lelaki yang sudah beberapa tahun ini kukenal baik,  datang menyapaku
" Aku mengundurkan diri bro.  Terlalu berat beban emosiku bila masih terus bertahan disini," ucapnya di ponsel. 
"Sudah kau pikirkan matang? ," tanyaku. 
"Sudah sejak awal bulan bro".
"Mengapa kau resign? ".

"Terlalu banyak konflik yang sekarang muncul. Padahal aku sudah mengalah, tapi tetap saja mereka mau menang sendiri.  Yah jadi lebih baik aku keluar saja,  ini jalan terbaik saat ini,"jawabnya penuh amarah.  Nada bicaranya tinggi, nafasnya mulai tersengal-sengal,  dan terasa sekali aroma kesal kurasakan meski hanya via ponsel. 

Mendengar ucapannya,  diriku teringat kejadian yang sama beberapa tahun yang lalu.  Seorang sahabat sepeminum teh, begitu kami sering saling memanggil,  juga memutuskan hal yang sama.

"Aku mundur bro,  tak ada lagi gunanya aku bertahan.  Apa yang kulakukan selama ini sudah sesuai aturan,  tapi tetap saja disalahkan.  Padahal mereka sendiri yang salah menerjemahkan instruksi dan arahan dari pusat.  Jadi lebih baik aku pergi saja,  pindah dan menjauh dari mereka yang kurang waras.  Masih luas dunia luar sana,  tak seliar yang ada disini".

Pada waktu yang berbeda,  seorang sahabat yang telah menjadi abdi negara mengeluh karena begitu mudahnya beberapa rekan sekerjanya menitipkan absen harian padanya.  Hingga suatu ketika ia memutuskan ingin pindah ke bagian lain yang lebih bertatakrama.  

"Sudah mulai muak kulihat sistem ini berjalan tanpa di rel yang benar.  Sudah kulakukan banyak hal untuk merubahnya,  tapi tetap saja mereka tak mengerti dan tak berbudi.  Jadi lebih baik aku pergi saja dan pindah dari bagian ini," ucapnya saat itu. 

*****
Kalau kita ingat, sesungguhnya sangat banyak kejadian di luar sana yang mirip dengan apa yang kututurkan.  Saking banyaknya,  hingga malam ini ingin kutulis, mengapa fenomena ini bisa terjadi. 

sumber gbr :indonesiaindonesia.com

Sebetulnya jawaban atas banyak kejadian ini ada tiga hal.  Ketiganya akan muncul secara spontan,  bisa pula simultan.  Satu persatu,  bisa juga serentak.  Sesaat,  namun dapat berlangsung agak lama.  Namun ketiganya akan muncul hanya karena satu hal : saat krisis terjadi! 

Tiga jurus tersebut adalah:
1. Pembenaran diri sendiri. 
     Saat kita berada dalam kondisi krisis,  maka hal yang paling mudah kita lakukan adalah pembenaran atas apa yang kita lakukan.  Kitalah yang benar,  kitalah yang telah melakukan segala sesuatunya berdasar,  tidak hanya secara logika, namun juga rasa.

2. Membuat kambing hitam. 
     Saat seperti ini,  kambing hitamlah yang paling mudah dicari.  Namun jurus kedua ini biasanya selalu dilakukan bila alasan yang pertama belum mampu melepaskan diri dari krisis.  
"Memang mereka semua aneh,  tak seharusnya mereka berbuat begitu,  dasar mereka yang tak tahu diri,  bosku tidak adil sih,  ia memang jago penjilat,  aji mumpung itu memang sudah tingkahnya, sistemnya rumit sih", inilah beberapa contoh ucapan mereka saat membuat kambing hitam. 

3. Lari dari kenyataan. 
     Hal ketiga ini selalu (pasti) dilakukan bila jurus pertama dan kedua tak berhasil mengatasi krisis.  Pergi,  pindah,  melarikan diri, menghilang,  atau pura-pura tidak tahu,  cuek,  emang gue pikirin....inilah beberapa kalimat kunci untuk jurus ketiga.  

Unik,  namun ini nyata dan banyak contohnya di sekitar kita. Tidak pada diriku,  anda, kita, mereka,  juga banyak orang. Bukan jurusnya yang harus kita permasalahkan,  namun prosesnya.  Bagaimanapun, setiap krisis harus diatasi dengan baik,  dan tiga jurus di atas bukanlah jurus terbaik untuk keluar dari krisis. 

Tentu banyak jurus pemecahan masalah yang dapat kita tempuh,  cara yang lebih baik,  pemikiran yang lebih bijak,  dan rasa yang lebih dihargai. Bukan hanya hasilnya,  namun juga prosesnya!

Senin, 20 Januari 2014

Maafkan. .....

"Maafkan atas banyak kesalahanku, baik yang sudah tertuturkan, maupun yang belum tertuturkan.
Maafkan atas sifatku, baik yang telah kutampakkan, maupun yang masih tersamarkan.
Maafkan atas kekeliruan pemahamanku, baik karena ketidakmengertianku, maupun karena ketulianku.
Maafkan atas tampakku, baik karena kekerdilanku, maupun karena kebesaran perasaanku.
Namun harap kau fahami....
Inilah maafku
Inilah diriku
Inilah ragaku
Meski dalam rimbunan jiwa yang mengerdil
******

"Berat rasanya bro, kakiku kini makin terseok.  Langkahku kini terseret dalam kerikil berdebu.  Luka di telapak kakiku kini makin menganga. Pedih, perih, namun ini karena taburanku sendiri.  Telah kutanam angin, kini badai yang kutuai," dalam helaan nafasnya saat mengatakan hal ini padaku di suatu sore pada akhir minggu di akhir bulan lalu.  Fahri,  lelaki setengah baya itu, lebih tepat setengah tua karena usianya nyaris setengah abad. Hanya rambutnya Tak pernah memutih karena selalu berbalut semir, hitam legam meski kadang hanya seminggu.  Berbanding kontras dengan sepatunya yang nyaris banyak bersemir lumpur karena musim penghujan makin menggila. 

"Mengapa kawan?," tanyaku dengan tidak menoleh sekalipun padanya.  Sedikitpun pandangan mataku tak bergeming karena melihat seorang lelaki paruh baya di seberang jalan sedang berjalan tertatih dalam guyuran hujan. Langkahnya terseok,  sebelah kakinya pendek sebelah,  ia jelas pincang. Rambutnya yang memutih tak ditutupinya samasekali,  ia benar bangga dengan rambutnya yang semuanya telah memutih. Nampaknya beliau telah memaknai dengan baik arti sehelai uban,; satu helai berarti satu kebijaksanaan, satu helai bermakna satu kebaikan,  dan satu pertanda satu kekuatan kembali diambil Sang Maha Pemilik Nyawa.

"Terlalu panjang kalau kuceritakan, namun aku telah berbuat salah pada almarhum ibuku, " jawabnya lirih. 

"Haaahhh!," berbalik tubuhku mendengar ucapannya. 
"Kau telah durhaka pada ibumu?  Begitukah? ," lanjutku.

"Bukan bro, tapi aku sebulan yang lalu jatuh hati pada seorang wanita yang lebih pas menjadi anakku.  Ia terlalu muda untuk memahami arti hidup ini," jawabnya. 
"Aku puber kedua bro,  jalan rasa itu Tak mampu kuhindari," lanjutnya. 

"Alamaaaaakkk, sudah gila kau.  Tak malukah kau melihat lelaki tua di seberang jalan itu.  Ia nyaris seusiamu,  tapi lihatlah.  Istrinya ada di sampingnya,  menemaninya dalam hujan. Tak irikah kau melihatnya? !" kali ini suaraku mulai meninggi.  Ada rasa kesal luar biasa mendengar pengakuannya. 

"Jadi kau telah bercinta dengannya?," tanyaku setengah berteriak. 
"Belum bro, baru aku yang merasa menyintainya.  Ia tidak tahu kalau aku menyukainya".
"Baguslah kalau begitu,  lebih mudah bila hanya dirimu yang gila, bukan dia".

"Tapi bro......."
"Tapi apa?," kali ini melengking ucapanku, hingga lelaki tua yang tadi di seberang jalan menoleh.  Ia rupanya telah berdiri di dekat kami,  persis di sebuah halte bis kota.

"Tadi aku sudah minta maaf pada wanita itu. Lahir bathin aku minta maaf, untuk yang telah kuucapkan, maupun yang tak pernah kuucapkan. Baik untuk yang pernah kupikirkan,  maupun apa yang kurasakan".

"Lalu apa reaksinya?," tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Ia hanya diam, tersenyum,  dan menerima uluran tanganku pertanda minta maafku".

"Mantap kawan, kubangga padamu karena kau telah berhasil menaklukkan salah satu dari tiga permintaan yang sering dialami setiap orang, namun sulit dilakukan, " jawabku sambil menepuk bahunya. 

"Apa tiga permintaan itu? seperti film Aladin saja," kali ini mulai kulihat senyumnya.  

"Begini bro, yang pertama mudah kita lakukan, namun sulit dilakukan orang lain.  Inilah MINTA TOLONG.  Bagi kita yang mau ambil mudahnya,  maka permintaan ini yang paling mudah kita ucapkan".

"Permintaan kedua,  kadang mudah, namun kadang sulit bagi kita. Bisa dipenuhi oleh yang kita minta, namun bisa saat itu juga, bisa ditunda, tapi tak pernah ditolak, asal kita meminta dengan penuh kesadaran.  Itulah MINTA AMPUN PADA TUHAN".

"Dan yang ketiga,  sulit bagi kita,  namun kadang mudah bagi orang lain,  tapi pada beberapa orang malah tidak bisa dipenuhi sampai kapanpun.  Inilah MINTA MAAF".

"Kau telah berhasil menundukkan egomu,  melepaskan rasamu,  dan mengakui kesalahanmu meskipun orang yang telah kau perlakukan dengan tidak baik itu belum tentu memaknai artinya uluran tangan minta maafmu".

"Selamat menikmati masa jelang lansia bro,  kita sama, namun akan berbeda cara menjalani, mengisi,  dan menikmatinya", tepukan tanganku di bahuku kuharap kini menguatkannya,  juga menguatkanku. 

sumber gambar :segalacerita.com
Kami berdua tersenyum, kini pemandangan di hadapan kami sungguh menarik. Lelaki tua itu kini memegang tangan istrinya saat pintu bus kota terbuka.  Ia tersenyum pada kami berdua, lalu mengangguk seolah tahu dan memahami apa yang baru saja kami bicarakan sore ini. 

Sabtu, 18 Januari 2014

Bilamana............

Sumber: dewasadewa.wordpress. com
Bilamana aku tak punya rasa
Akan kuhamburkan dan kutebarkan dekap ini dalam sorak
Namun itu tak mungkin kulakukan
Karena aku masih merasa,  meski tidak berasa

Bilamana wajah ini tak lagi sama
Akan kugantungkan pada sebingkai jiwa tak berpenghuni
Namun itu tak mungkin kulakukan
Karena aku masih berwajah,  meski mulai kelam dan menggelap

Bilamana aku tak bertapak jiwa
Akan kulepaskan langkah ini hingga tapaknya menghilang
Namun itu tak mampu kulakukan
Karena jejak itu telah sedalam bumi, meski mulai berkerak dan berselaput

Bilamana aku tak hadapkan kata
Akan kuabaikan doa pada Sang Kuasa
Namun itu tak mampu kulakukan
Karena lemahnya hati masih tetap kurasa, meski linangan airmata sering tak kuasa

Bilamana mata ini tak tatapkan keindahan
Akan kubiarkan kibas jiwa hadapkan diri
Namun itu juga tak mampu kulakukan
Karena mata cerminan hati,  meski sinergi itu tiada berperi

Bilamana hati tak goreskan kebenaran
Akan juga kulepaskan ia melanglang rasa
Namun itu juga masih tak bisa kulakukan,  meski ia sudah berkerangkeng besi
Karena hati adalah rasa dalam berbudi

Bilamana semua tak pernah ada
Tentu tak ada yang disesali
Tentu tak ada yang dibenahi
Tentu tak ada yang difahami
Tidak juga aku,  dirimu, kita, juga mereka........

Jumat, 17 Januari 2014

Kerja Ikhlas, Ini Ujianmu Kawan

Beberapa hari yang lalu,  tepatnya di awal tahun ini seorang kawan yang sudah beberapa tahun menjadi sahabat bertanya padaku, "Apa tak ingin dirimu merubah nasib,  jangan hanya jadi penabuh gendang dalam kapal kehidupan ini., Kau banyak tahu tentang kapal ini,  tahu riwayat perjalanan dan kemana arah kapal akan dituju,  dan kau juga jadi saksi sejarah atas banyak kapal lain yang kini menjadi pelabuhan hati mereka yang selama ini berteriak riuh rendah di sini".

Senyum,  lalu kutepuk ia dan kukatakan, "Maaf kawan, belum bisa kujawab saat ini.  Terlalu berat untukku, apalagi sekarang aku sedang hening memaknai perjalanan yang sudah kujalani".

Ia mengangguk,  kemudian berkata,"Kutunggu jawabanmu karena akupun belum mampu menjawabnya saat ditanya hal yang sama oleh guruku setahun yang lalu".

****
Sejak kecil,  kita semua tentu pernah ditanya ingin menjadi apa setelah dewasa. Ada banyak jawaban kita, mulai dari dokter, insinyur,  guru,  jaksa, pejabat,  bahkan hingga presiden.  Beberapa kali,  belasan kali,  bahkan hingga puluhan kali cita-cita itu berubah.  Pada akhirnya,  pelabuhan kehidupan menjadi sering berbeda dengan kapal yang sudah dilayarkan. 

Alur laut,  gelombang,  angin,  gumpalan awan,  hingga banyak keindahan dan kekejaman perjalanan kehidupan kadang ditemui.  Sering hal ini merubah arah kapal yang sejak awal telah kita tetapkan arah dan koordinatnya. 

Namun tetap ada saja mereka yang sejak awal telah berlayar dengan kapal yang benar, arah yang tepat,  nakhoda yang hebat,  dan laut yang benar.  Akan halnya gelombang,  angin,  kabut,  hingga gumpalan awan hanyalah pemanis perjalanan. Tidak lebih dari itu! 

Itulah sebabnya banyak dari mereka yang kemudian setelah memasuki dunia kerja seringkali tak mampu membetahkan diri untuk menekuni pekerjaan yang sedang mereka kerjakan.  Alhasil,  mereka hanya mampu bertahan di satu tempat bekerja untuk beberapa saat saja,  lalu pergi menjauhi kapal; pindah ke rakit,  biduk,  tongkang,  phinisi, atau malah ke kapal yang lebih besar dan lebih mewah. 

Salahkah ini?  Jelas tidak,  meski banyak argumen yang kadang membantahnya.  Selalu ada banyak alasan mereka melakukannya,  karena ingin menggapai impian hiduplah menjadi salah satu alasan yang paling tepat.  Begitu menurut banyak orang,  bahkan ada yang mengatakan, "Kami loyal pada profesi,  bukan pada kapal kehidupan".

Lantas apa kaitannya hal ini dengan pertanyaan kawan tadi? Tak mudah memang menjawabnya karena profesiku bukanlah sebagai kelasi kapal, penjaga mesin, anak buah kapal, apalagi sang nakhoda.  Diriku hanyalah sang penabuh gendang;  seorang Trainer.  Orang yang kutahu dari sebuah kitab suci para Trainer sebagai orang yang paling bertanggungjawab pada KSA - Knowledge,  Skill,  dan Attitude : mereka semua yang ada di kapal kehidupan harus punya pengetahuan yang hebat,  mampu menerapkannya dengan tepat,  dan memiliki moral yang baik. Hupfs!

Tentu sebagai penabuh gendang,  Trainer harus terus menjaga akselerasi pukulan,  irama,  dan frekwensi,  juga amplitudo pukulan.  Meski kadang ia iri melihat banyaknya para abk yang sudah sukses,  baik di kapal ini maupun di kapal baru.  Namun Trainer tetaplah seseorang yang dipercaya penuh menjadi penabuh gendang.  Karena tabuhannyalah maka banyak dari mereka yang akhirnya menjalani kapal kehidupan.  Meski hanya serba sedikit, namun irama tabuhannya harus menyenangkan dan menenangkan. 

Ikhlas pada akhirnya Inilah yang menjadi tantangannya.  Meski kadang tak tuntas karena saat tabuhan baru dimulai atau baru dipukul beberapa kali,  mereka telah memutuskan pindah kapal atau memutuskan tidak akan berlayar.  
Ikhlas juga saat melihat banyak mereka sudah sukses,  jauh lebih sukses dari kita yang hanya menjadi penabuh gendang.  

Mengutip apa yang dikatakan ibu Seni,  guruku saat bersekolah di sebuah SD di Negeri Laskar Pelangi puluhan tahun lalu, "Silahkan kalian semua menjadi apapun yang kalian inginkan.  Lebih hebat dariku,  itu harus!  Ilmu Bumi jangan hanya jadi ilmu hafalan atau di peta buta saja,  tapi kalian semua harus menginjakkan kaki ke tempat itu.  Diriku cukup mendengar ceritamu saja,  itu sudah sangat membahagiakan di jelang akhir usiaku".

Minggu, 12 Januari 2014

Waktu adalah Obat Masa Lalu

Kalimat di atas sengaja kukutip dari sebuah ucapan seorang motivator yang sangat inspiratif. Bukan hanya antusiasnya saat membawakan pencerahan, namun banyak kata-katanya yang sangat menggugah dan diluar perkiraan kita, hingga kadang harus kita cerna ulang.

Lantas mengapa kali ini kukutip kalimat inspiratifnya? Ingin menyainginya? Atau malah ingin menumpang popularitas? Tentu saja tidak!

Hal yang sama kukatakan saat mulai menulis beberapa tahun yang lalu. Ada seorang sahabat yang mengatakan padaku bahwa aku mau menumpang popularitas sang penulis Laskar Pelangi. Langsung saja kujawab jelas tidak!
Meski kami berasal dari daerah yang sama, sempat bersekolah di tempat yang sama, juga sepedaku beberapa kali harus memboncengnya sepanjang lebih dari 32 km, namun aku tetaplah aku : lelaki biasa dengan sangat biasa kebiasaannya. Tidak lebih dari  itu. 

Jadi apa yang menjadi alasanku mengutip ucapan sang motivator beken yang selalu muncul di tv setiap minggu malam itu? Sederhana jawabannya : aku, kau, kita, dan mereka di luar sana punya masa lalu. Masa lalu yang bagi sebagian orang hanya kenangan, lalu ingin berulang, karena indah dan manisnya perjalanan. Masa lalu, utamanya saat kita semua masih kecil,  semua saudara kita masih berkumpul,  dan kedua orang tua kita masih ada di hadapan.  Masa dimana kita masih bisa berlari,  mengadu,  bercerita,  dan meminta pada mereka.  Wuihhhh.....

Ada juga yang bila ditanya, tak ingin mengenang masa lalu,  bukan karena pahitnya, namun karena kenangannya. Terlepas indah atau pahit kenangan itu, tetap saja ada bulir-bulir rasa yang terhempaskan dan tertaburkan. Buliran rasa yang bila dibenamkan, akan menimbulkan banyak gejolak rasa tak terhamparkan. Tidak juga aku, kau, kita, atau mereka.

Seorang kawan di awal tahun ini kutanya tentang apa yang diinginkannya di hari-hari mendatang? Ia menjawab," Aku tak ingin kembali seperti tahun lalu. Wibawaku hilang, kehormatanku dipertanyakan, harga diriku jauh di awan, dan tuturanku tak bermakna bagi kehidupan banyak orang".

"Mengapa bisa demikian  kawan?," tanyaku.
"Terlalu dalam yang kurasakan kawan, hanya waktu yang akan menjadi jawaban. Mereka tahu terlalu banyak, namun sayang diriku tahu terlalu sedikit," ucapnya.

"Terlambat bagiku untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan, terlambat bagiku untuk tahu apa yang mereka cibirkan, dan terlambat bagiku untuk tahu apa yang telah mereka tambahkan dalam ucapan," lanjutnya.

"Menitipkan uang sebanyak apapun ternyata pasti akan berkurang, namun tanpa kusadari telah kutitipkan kata dan perbuatan yang selalu bertambah dan terus bertambah, hingga menjunjung tiada terkirakan," dalam tarikan nafasnya kini. Tubuhnya sedikit limbung.

"Tenang kawan, kita semua punya masa lalu yang kadang jauh dari bayangan yang kita inginkan. Kuyakin kau akan kuat, kuyakin kau akan bijak, dan kuyakin kau akan hebat. Meski hanya sesaat, namun pasti akan memberi manfaat".

Ia senyum, lalu menyalamiku.
"Terima kasih kawan, kan kucoba untuk berkhidmat," ucapnya sambil menjauhiku.

***
Potongan cerita tadi cukup sederhana, namun kurasakan begitu sulit untuk mencari kalimat yang tepat untuk menghiburnya, juga untuk menghiburku.

Masa lalu memang kadang tak selalu indah, namun tetap harus indah dikenang. Esensinya bukan hanya itu, namun luapan rasa telah dan akan terus menjadikan kita makin memaknai kehidupan. 

Seandainya waktu itu kutemukan kata-kata yang diucapkan oleh sang motivator tadi, tentu sangatlah tidak sulit baginya, bagiku, bagi kita, dan juga bagi mereka untuk menjalani kehidupan sesudahnya.

Selama ini kita sering mengatakan ucapan klise seperti : biarlah waktu yang akan membuktikan, biarkan waktu berlalu, biarkan mereka mau bilang apa, biarkan saja, atau kalimat lain yang mengarah pada pembenaran diri. Ternyata kalimat-kalimat tersebut tidak cukup untuk menghibur diri, kita masih terseret kaki untuk melangkah!

Sumber: www.sehataja.com
Kini kita punya kalimat lain : waktu adalah obat masa lalu.
Ia memang kadang tidak manis, malah terlalu pahit, namun akan menyembuhkan. Tidak hanya diriku, dirimu, kita, juga mereka, bahkan semuanya.

Selasa, 07 Januari 2014

Semangkuk Sup Hangat Kehidupan

"Perubahan, satu-satunya yang abadi dalam kehidupan itu adalah perubahan itu sendiri," begitulah yang pernah dikatakan seorang teman dalam salah satu sesi training yang pernah kuikuti beberapa tahun yang lalu. 

"Kita tidak bisa mengatakan tidak siap menghadapi perubahan, karena suka atau tidak, disadari atau tidak, diinginkan atau tidak, perubahan itu tetap akan terjadi. Maka bersiaplah....!", lanjutnya kemudian..

Ucapan teman tadi sangat kuingat saat seorang teman di Kalimantan tadi sore bercerita padaku tentang banyak kesulitan yang ia alami karena hampir separuh karyawannya mengundurkan diri, pindah ke perusahaan lain, atau memutuskan menjadi seorang entrepreneur.

"Aku sedih karena mereka adalah andalanku selama ini, namun mereka berhenti karena alasan yang sulit kuterima. Selama ini mereka sudah kuperlakukan dengan baik. Dulu saat masuk, nyaris mereka tak punya ketrampilan apapun memilih intan yang baik, memilahnya, menentukan desainnya, memutuskan untuk menjadikan perhiasan apa, apalagi menentukan harga jual dan mempromosikannya. Kini setelah mereka punya kemampuan seperti itu, mereka memutuskan untuk pergi, padahal aku sangat mengandalkan mereka," ucapnya dengan nada sedih.

"Sabar kawan, kita harus ikhlas," ucapku sedikit menghibur, meskipun diriku juga prihatin karena hal yang sama juga pernah kurasakan beberapa tahun lalu.

"Aku ikhlas bro, hanya sedih dan bagaimana membesarkan hati sebab aku sudah berbuat yang terbaik untuk mereka saat ini. Kalaupun selama ini ada tindakanku yang keras, itu juga tak selalu kulakukan. Sering malah aku sangat lembut pada mereka, bahkan cenderung lunak," ucapnya seolah menyesali apa yang telah dilakukannya selama ini.

"Begini fren, saat diriku mengalami hal yang sama dulu, seorang guru bijak pernah bercerita padaku tentang kisah telur, wortel dan kopi. Kurasa cerita ini cukup inspiratif untuk membesarkan hatimu," ujarku.

"Saat seseorang baru memasuki dunia kerja sebagai karyawan baru, mereka sebetulnya ada tiga tipe, yaitu bermental telur, wortel, dan kopi. Mereka yang bermental telur, mengawali pekerjaan seperti telur yang tampaknya halus, manis, menyenangkan, namun rapuh dan mudah pecah. Setelah beberapa lama mereka bekerja, menjadi seperti telur yang direbus dalam banyak intrik pekerjaan, hingga ia menjadi keras, mau menang sendiri, bahkan super ego. Ini diriku, kau tak mampu sehebatku, tak pantas kau mengguruiku, apalagi karyawan yang lebih yunior dariku. Alhasil, mereka menjadi pribadi yang nyaris tak tersentuh samasekali, ego tingkat satu"

"Mereka yang bermental wortel, awalnya nampak keras, namun setelah digodok air panas dalam panci pekerjaan, ia menjadi sangat lembek, bahkan saking lunaknya hingga tak nampak lagi identitas aslinya. Ia menjadi orang yang nyaris tak berani berinisiatif, berteriak lantang, apalagi melemparkan ide ide kreatif. Ia menjadi karyawan yang cengeng, ikut arus, hingga kadang seperti orang yang mengekor saja. ABS, asal bapak senang, maka akan kukerjakan".

"Mereka yang bermental kopi, makin diaduk panasnya air pekerjaan, ia akan makin  wangi dan menyenangkan, apalagi bila ditambahkan gula, susu, atau penganan pendamping. Ia pasti akan makin enak dan membanggakan. Sangat sulit memang kita mendapatkan orang yang seperti ini, karena itu diri kitalah yang terlebih dahulu menjadi kopi itu. Jadilah pribadi yang harum, wangi, menyenangkan, dan membanggakan".

"Terima kasih bro, mulai kufahami maksudmu. Tapi dirimu kan Trainer, apa cukup jadi kopi? Bukankah kau tidak bisa memilih calon karyawan? Tugasmu kan bukan seleksi dan rekrutmen, tapi memberikan pelatihan agar mereka yang terpilih bisa menjadi pribadi pribadi yang diunggulkan untuk mencapai sasaran dan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan?", tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Sumber :khalivali.wordpress.com
"Kupilih diriku menjadi taburan garam fren, karena training yang kuberikan itu ibarat membuat semangkuk sup hangat yang sangat enak dan menggembirakan. Mereka yang bermental telur akan kurebus hingga menjadi telur yang keras, dipotong dan menjadi penambah nikmat sup hangat. Mereka yang bermental wortel, tetap kurebus, bahkan sebelumnya kupotong agar lebih cepat lunak sehingga sup hangat menjadi tambah enak. Lalu mereka yang bermental kopi akan kuberikan wadah yang lain, pengiring kenikmatan para penikmat sup hangat. 
Bahkan tidak sampai disitu, kan kuminta karyawan bermental bawang merah bawang putih, dan bawang bombay yang baunya tajam. Juga mereka yang bermental lada yang pedasnya melebihi cabe, dan mereka yang bermental daging ayam atau daging sapi yang sekilas enak namun bila lama disimpan bisa membusuk. Tak kan kutinggalkan pula mental makaroni yang bentuknya melengkung mirip mereka yang pemalas, suka tidur, banyak merenung dan berkhayal, namun setelah direbus menjadi lebih lunak dari wortel. 

Mereka semua menjadi enak setelah kutaburi butiran garam, training yang kulakukan dalam semangkuk wadah indah berhias pemberdayaan diri. Tidak perlu banyak trainin, cukup sesuai kebutuhan karena taburan garam yang terlalu banyak akan mengasinkan sup hangat yang siap disajikan dan dinikmati para penikmat kehidupan. Duhhhhh enaaaaakkkkknnnnyyyyyaaa........."

Sabtu, 04 Januari 2014

10 Tahun, 2760 Kelas, 13.830 Peserta

Putaran waktu sering berlalu tanpa kita sadari.  Ia akan memotong kita,  bila tak kita gunakan dengan sebaik-baiknya.  Ia ibarat pedang yang sangat tajam,  nyaris tak kita sadari,  kecuali bila telah terpotong karenanya. Kesia-siaan, penyesalan,  bahkan kadang tangis duka tak mampu dihentikan meski dengan sebentuk hadiah penuh kebanggaan. 

Bagi yang mengisinya dengan kebanggaan,  juga keikhlasan, dialah sang pemilik pedang penuh keberanian. Waktu digunakannya untuk berbuat,  untuk berarti, dan untuk mengisi. Meski pada awalnya tiada, kemudian menjadi ada,  dan berakhir dengan ketiadaan, namun cukuplah untuk membuat arti.  Walau hanya sebiji debu,  asal didasari keikhlasan untuk berbuat,  maka semua tetap memberi arti dalam hidup. 

*****
Tulisan di awal tahun ini ingin kuawali dengan kalimat persis seperti judul di atas "10 tahun,  2760 kelas,  13.830 peserta".
Seorang sahabat tadi bertanya apa maksudnya. Memang tidak kujawab saat itu, karena akan kujawab dengan tulisan ini.

Sepuluh tahun yang lalu,  kumulai sebuah profesi yang bagi banyak orang cenderung aneh dan tidak menjanjikan,  apalagi bagi sebagian besar sahabatku yang menjadi teman seperjalanan di dunia marketing.  Menjadi seorang Trainer,  jelas bukanlah profesi yang menjanjikan secara finansial, tidak seperti marketing yang selalu bergumul dengan gaji,  bonus,  insentif khusus,  dan banyak program berbau duit.  Jalan hingga ke banyak penjuru dunia,  bahkan hingga penjuru langit! 

Cukup kufahami pendapat mereka,  karena sepuluh tahun sebelumnya juga sudah kujalani manisnya dunia marketing.  Beberapa negara dan tempat wisata berbalut national meeting sudah dijalani.  Apalagi berbagai tempat indah di dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri,  jelas sangat manis! 

Lantas mengapa akhirnya kupilih menjadi seorang Trainer?  
Sederhana jawabannya : hidup itu untuk berbagi, karena milik kita sesungguhnya adalah apa yang kita berikan pada orang lain.  Dengan kata lain,  sebanyak apapun yang kita miliki, semuanya belumlah menjadi milik kita yang hakiki.  Harta,  keluarga,  kebanggaan, dan jabatan segera akan punah.  Namun bila yang kita berikan ke orang lain adalah ilmu,  meski serba sangat sedikit, itulah milik kita sesungguhnya. 

Lalu ada seorang teman pula yang protes,  kalau pemberian dihitung berarti tidak ikhlas dong? Bukankah berbagi ilmu itu seperti sedekah, tangan kanan memberi maka tangan kiri tak perlu tahu?  

Diriku senyum lalu menjawab," Seorang guru bijak pernah menyarankanku untuk menghitung jumlah kelas training yang telah kulakukan selama ini,  baik technical skill maupun soft skill.  Tujuannya adalah untuk merangsang diri kita agar tidak berhenti sampai disini saja, sebab semuanya menjadi semacam milestone demi milestome, tonggak-tonggak sejarah kehidupan yang akan selalu menyemangati diri".

Kemudian sahabatku tadi kembali bertanya, "Apa saja yang kau dapatkan setelah sepuluh tahun menjadi Trainer?  Kulihat nyaris tak seberuntung saat sepuluh tahun dirimu di marketing".

"Sepuluh tahun di marketing,  kudapatkan kelimpahan harta. Sepuluh tahun di Training,  kudapatkan kelimpahan rasa".

Ia tersenyum,  namun bagiku seperti cibiran. 
"Silahkan dirimu mempersepsikan apa saja tentang keadaanku kawan. Ini kuanggap sebagai ujian keikhlasan.  Diriku memang butuh ujian itu, karena orang yang ikhlas itu bila dipuji ia tidak akan melambung,  dan bila dihantam tidak akan limbung," gumamku dalam hati saat melihatnya berlalu tanpa ragu. 

Hidup ini memang sebuah perjalanan.  Evolusi atau revolusi,  jelas sebuah pilihan yang harus kita tempuh.  Kitalah yang memilih ingin menjalaninya seperti apa,  ingin menjadi apa,  dan akan berbuat apa.  

Namun mengutip sebuah puisi terkenal yang mengatakan, "Sekali berarti,  sudah itu mati", maka kita sendirilah yang memutuskan ingin berarti seperti apa, dan mati dengan proses dan keadaan seperti apa.

Pada akhirnya, semua ingin berarti,  namun pasti akan mati.  Entah dengan meninggalkan jejak apa dalam kehidupan,  mungkin akan dikenang dalam satu masa saja,  atau malah tak pernah dianggap ada.  Kitalah yang memilih,  dan telah kupilih menjadi seorang Trainer.