Hujan belumlah reda, sudah sejak jelang subuh ia terus meneteskan diri hingga kini. Hari sebetulnya sudah nyaris lewat tengah hari, namun belum sedikitpun nampak matahari akan menawarkan senyumnya. Jangankan senyuman, salamnyapun nampaknya harus sabar kami nantikan hari ini.
Seorang sahabat, lelaki yang sudah beberapa tahun ini kukenal baik, datang menyapaku
" Aku mengundurkan diri bro. Terlalu berat beban emosiku bila masih terus bertahan disini," ucapnya di ponsel.
"Sudah kau pikirkan matang? ," tanyaku.
"Sudah sejak awal bulan bro".
"Mengapa kau resign? ".
"Terlalu banyak konflik yang sekarang muncul. Padahal aku sudah mengalah, tapi tetap saja mereka mau menang sendiri. Yah jadi lebih baik aku keluar saja, ini jalan terbaik saat ini,"jawabnya penuh amarah. Nada bicaranya tinggi, nafasnya mulai tersengal-sengal, dan terasa sekali aroma kesal kurasakan meski hanya via ponsel.
Mendengar ucapannya, diriku teringat kejadian yang sama beberapa tahun yang lalu. Seorang sahabat sepeminum teh, begitu kami sering saling memanggil, juga memutuskan hal yang sama.
"Aku mundur bro, tak ada lagi gunanya aku bertahan. Apa yang kulakukan selama ini sudah sesuai aturan, tapi tetap saja disalahkan. Padahal mereka sendiri yang salah menerjemahkan instruksi dan arahan dari pusat. Jadi lebih baik aku pergi saja, pindah dan menjauh dari mereka yang kurang waras. Masih luas dunia luar sana, tak seliar yang ada disini".
Pada waktu yang berbeda, seorang sahabat yang telah menjadi abdi negara mengeluh karena begitu mudahnya beberapa rekan sekerjanya menitipkan absen harian padanya. Hingga suatu ketika ia memutuskan ingin pindah ke bagian lain yang lebih bertatakrama.
"Sudah mulai muak kulihat sistem ini berjalan tanpa di rel yang benar. Sudah kulakukan banyak hal untuk merubahnya, tapi tetap saja mereka tak mengerti dan tak berbudi. Jadi lebih baik aku pergi saja dan pindah dari bagian ini," ucapnya saat itu.
*****
Kalau kita ingat, sesungguhnya sangat banyak kejadian di luar sana yang mirip dengan apa yang kututurkan. Saking banyaknya, hingga malam ini ingin kutulis, mengapa fenomena ini bisa terjadi.
![]() |
sumber gbr :indonesiaindonesia.com |
Tiga jurus tersebut adalah:
1. Pembenaran diri sendiri.
Saat kita berada dalam kondisi krisis, maka hal yang paling mudah kita lakukan adalah pembenaran atas apa yang kita lakukan. Kitalah yang benar, kitalah yang telah melakukan segala sesuatunya berdasar, tidak hanya secara logika, namun juga rasa.
2. Membuat kambing hitam.
Saat seperti ini, kambing hitamlah yang paling mudah dicari. Namun jurus kedua ini biasanya selalu dilakukan bila alasan yang pertama belum mampu melepaskan diri dari krisis.
"Memang mereka semua aneh, tak seharusnya mereka berbuat begitu, dasar mereka yang tak tahu diri, bosku tidak adil sih, ia memang jago penjilat, aji mumpung itu memang sudah tingkahnya, sistemnya rumit sih", inilah beberapa contoh ucapan mereka saat membuat kambing hitam.
3. Lari dari kenyataan.
Hal ketiga ini selalu (pasti) dilakukan bila jurus pertama dan kedua tak berhasil mengatasi krisis. Pergi, pindah, melarikan diri, menghilang, atau pura-pura tidak tahu, cuek, emang gue pikirin....inilah beberapa kalimat kunci untuk jurus ketiga.
Unik, namun ini nyata dan banyak contohnya di sekitar kita. Tidak pada diriku, anda, kita, mereka, juga banyak orang. Bukan jurusnya yang harus kita permasalahkan, namun prosesnya. Bagaimanapun, setiap krisis harus diatasi dengan baik, dan tiga jurus di atas bukanlah jurus terbaik untuk keluar dari krisis.
Tentu banyak jurus pemecahan masalah yang dapat kita tempuh, cara yang lebih baik, pemikiran yang lebih bijak, dan rasa yang lebih dihargai. Bukan hanya hasilnya, namun juga prosesnya!