Kamis, 03 Mei 2012

Tuhan telah mempertemukan kita

Sesungguhnya novel "Syair Keranjang Pempang" ini direncanakan akan diselesaikan penulisannya akhir tahun 2010 lalu. Namun Tuhan memang selalu punya rencana terbaik, tak mampu kuselesaikan meskipun telah kukerahkan mata ini untuk tetap mendelik di banyak tengah malam buta. Bukan penulisannya yang tak selesai, namun nyaris tak ada sedikitpun kepuasan setelah melihat hasil akhirnya. Novel ini mirip sebuah cerita bersambung saja, tanpa ada "aroma menenangkan, menyenangkan, apalagi menggugah". Alhasil, kuputuskan untuk ditunda hingga setahun kemudian, itupun karena kuyakin Tuhan telah menggerakkannya untuk kutunda hingga tahun 2011.

Namun, bukan ini yang ingin kuceritakan kali ini. Hanya ingin kuceritakan bahwa Tuhan itu selalu mempertemukan kita dengan banyak cara yang sesungguhnya telah Ia rencanakan dengan sebaik-baik rencana.
Tiga bulan sejak kuputuskan untuk menuliskan Syair Keranjang Pempang, sedikit demi sedikit potongan cerita itu diupload menjadi catatan kecil di sebuah jejaring sosial. Falsya, Icha Rachim, Maz Riro, Nining, Endah, Harpani, bang Hartono Amir, Yeni Noviana, Yeni Indah Haryani, dan Yeni Febriani Yun, adalah beberapa orang sedaerah yang sering menjadi penikmatnya. Komentar mereka, meski hanya sedikit, jelas sangat menyemangatiku.

Pak Adhe, pak Efendi Bepe, Syan Moets, Santi kayla, Dessy Agustin, Siti Nurhayati, dan Yulianti Z, mereka adalah beberapa yang mulai "menyukai panorama negeri Belitong lewat tuturan kata". Indah menurut mereka, kata-kata yang mendayu-dayu, berkait disana sini, bertutur mirip sebuah tembang kehidupan yang diungkapkan dengan penuh perasaan.

Namun satu hal yang sangat mengagetkanku, pak Anthoni Dio Martin, ia yang selama ini sangat dikenal sebagai The Best EQ Trainer di Indonesia tiba-tiba ikut berkomentar dan mengatakan,"Saya suka dengan beberapa bagian dari potongan cerita ini. Mengajak kita memvisualisasikan perasaan saat membayangkan berada di tempat itu".

Begitulah tulisannya saat membaca salah satu bagian dari cerita ini, dimana di dalamnya ada cerita tentang suasana menonton televisi umum di halaman rumah kepala desa. Televisi yang diletakkan di sebuah tiang besi setinggi hampir tiga meter, dengan sebuah kotak sebagai tempatnya. Mirip seperti sebuah kandang monyet yang mudah dilihat dari kejauhan. Pasar malam setiap malam, meski hanya untuk menonton siaran televisi hitam putih yang banyak madu dan iklan Mana Suka Siaran Niaga.

Hal lain yang mengagetkanku, salah seorang dari mereka dengan ikhlas selalu membaca potongan cerita di tengah malam buta, entah apa alasannya. Mungkin ia sulit tidur, mungkin pula sinyalnya baru muncul di tengah malam, atau mungkin pula di tengah malam buta itu menurutnya tak ada seorangpun dalam keluarganya yang akan tahu bahwa ia sesungguhnya adalah laki-laki yang sangat mudah tersentuh, apalagi dengan situasi kehidupan dimana pada masa lalu ia juga ikut terlibat dalam suasana seperti itu.

Ia jelas seorang lelaki yang sangat luar biasa, mudah tersentuh, dan telah "memaksaku" untuk terus melanjutkan karya ini. Lelaki yang pada pertengahan tahun 2010 lalu secara sengaja juga pulang ke Belitong sekedar untuk membantuku menyelesaikan naskah, mengelilingi sebagian pulau Belitong, meski kemudian di tengah perjalanan harus kecewa karena "gangan burong punai" hanyalah mimpi kami yang belum tertuntaskan. Alamaaakkkk....pasnan burong gerude, lepas tangan barang tak ade.

(cerita lain akan berlanjut di lain waktu, semangat menikmati)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar