"Liburan....hmmm, harpitnas, entah sudah harpitnas yang keberapa hari ini," begitulah sorang sahabat berujar di jelang sore ini.
"Kita memang butuh istirahat, jeda yang berarti. Sayang, ternyata setelah setiap harpitnas saya ikut libur, ternyata........tak seindah yang kubayangkan! Bukan dompetnya saja, tapi ada kejenuhan yang mulai melanda. Nampaknya jedah itu hanya perlu beberapa saat, jangan libur terlalu lama atau terlalu sering. Jadi susah restart-nya," lanjutnya.
"Dirimu tak ikut ambil jeda?," tanyanya penuh penasaran.
"Tidak kawan, belum satu harpitnas-pun yang kuambil di lima bulan terakhir tahun ini. Semuanya kuisi dengan pekerjaan rutin, juga yang tak rutin. Saat banyak orang liburan, saat itulah kunikmati pekerjaan di kantor dan di rumah dengan sesuatu yang baru. Mungkin caranya yang baru, mungkin isinya yang baru, atau juga mungkin tantangannya yang baru. Jadi terasa lebih fresh, meski harus kutemukan cara baru untuk menikmati hal-hal rutin, apalagi di saat hampir sebagian dari mereka menikmati cara merefresh diri dengan berlibur dan menikmati santai yang menyenangkan dan menenangkan," jawabku.
"Jadi dirimu tak perlu liburan?"
"Bukan begitu kawan, kali ini kupilih cara merefresh diri dengan mengelola diri dan mengeksplorasi diri di saat hampir seluruh ruangan kantor ditinggalkan para pemiliknya. Kadang kita butuh ketenangan yang mendalam saat mengerjakan tugas-tugas kantor yang butuh keheningan. Kala inilah kudapatkan ketuntasan, juga cara baru untuk menikmatinya. Tidak hanya untuk hari ini, namun juga untuk hari-hari berikutnya"
***
Dialog kecil, kudengar sore ini. Dialog yang cukup inspiratif, dan mengundang rasa penasaranku untuk menggali lebih jauh apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si fulan, sahabat yang akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja di saat sebagian besar sahabatnya berlibur dan berpantang hari melihat harpitnas. Rasa penasaran, tentu saja bukan karena apa yang dilakukannya hampir mirip dengan apa yang kulakukan di lima bulan terakhir ini, namun lebih karena cukup menariknya hal ini untuk jadi sumber inspirasi tulisan, juga tentunya untuk ice breaking dan cerita singkat saat sesi pelatihan yang sudah sepuluh tahun terakhir ini kulakoni.
Jeda, kita semua memang butuh jeda. Alampun juga ikut berjeda. Malam berganti siang, gelap berganti terang, ramai berganti hening, dan mimpi berganti impian. Silih berganti, tiada berhenti, hingga rotasi dunia berakhir di penghujung masa. Jedahlah, yang membuat sebagian dari kita memilih untuk berlibur dan bersantai selepas lelah menggulung rasa di sepanjang perjalanan. Libur dan henti sejenak, untuk kemudian lari dan lompat hingga melesat di sisa perjalanan yang ada.
Ingat perjalanan diri, ingatanku kembali pada kejadian lebih dari sepuluh tahun lalu. Saat itu, seorang lelaki muda yang sungguh energik, duduk penuh wibawa namun dengan keramahan luar biasa. Namanya sangat kuingat, karena nama itulah yang tertulis dalam email saat undangan "final interview". Lelaki yang pernah beberapa kali kubaca tertulis di spanduk panjang di sebuah pertigaan jalan, pembicara dari banyak pelatihan yang diadakan oleh sebuah lembaga pelatihan profesional di kotaku.
"Silahkan perkenalkan dirimu....", ucapnya membuka pembicaraan kala itu.
Tanpa banyak prolog, kuperkenalkan diriku, curriculum vitae, dan swot yang kuyakini benar saat itu.
"Terima kasih, sudah banyak kudapat apa yang telah dirimu pikirkan. Bahasa tubuhmu cukup kufahami, hasil psikotestmu juga sudah lengkap, data-data pendukung juga sudah ada," ucapnya sambil tersenyum.
"Satu hal yang ingin kutanya : Apa pendapatmu tentang profesi yang sekarang akan kau geluti bila dirimu diterima di tempat ini. Bukankah menjadi Trainer itu sama saja dengan menjadi seorang guru, penghasilan kecil, fasilitas seadanya, namun diharapkan menjadi booster dan motivator dari sekian banyak orang yang ada di sekelilingmu?"
"Maaf pak, sebelum saya menjawab hal itu, izinkan saya menyampaikan satu hal dulu. Bukankah Bapak juga seorang Trainer? pernah beberapa kali kubaca spanduk pelatihan yang pembicaranya adalah Bapak, meski belum satupun sesi tersebut kuikuti karena keterbatasan biaya," tanyaku.
"Betul, saya Trainer, meskipun sebetulnya disini profesiku di HR Department. Trainer menjadi seperti obat yang mujarab bagiku untuk menyembuhkan diri. Pelan namun pasti, pada akhirnya menjadi Trainer akhirnya menjadi obat yang menyehatkanku," jawabnya.
"Ternyata ada hal yang mirip denganku pak, hanya saja sebetulnya menjadi Trainer itu bukanlah seperti lilin. Diriku jelas tak mau menjadi lilin yang menerangi sekeliling untuk beberapa waktu, memberikan arti hanya untuk sesaat, untuk kemudian hilang musnah tiada berbekas, hanya menjadi sebuah cerita masa lalu," ujarku.
"Lalu dirimu mau menjadi apa?," tanyanya.
"Sederhana saja pak, seorang Trainer seperti saya ingin menjadi seorang lelaki biasa yang memegang obor untuk menerangi jalan orang lain, juga menerangi diriku bersama mereka. Kami berjalan bersama, berbuat bersama, dan mencapai tujuan yang kadang sama. Sama-sama terang dan berjalan tenang, menikmati perjalanan dengan kegembiraan, dan berharap agar perjalanan di depan semakin mudah. Mudah bukan karena tantangannya semakin rendah, namun kompetensi kami semakin meningkat dan bermanfaat".
***
Lantas pertanyaannya adalah apa kaitan dua cuplikan tulisan di atas?
Tetap sederhana jawabannya : Kita butuh jeda waktu untuk mengingat, menginternalisasikan, dan menasbihkan banyak jejak perjalanan diri.
Berjalan terus, menapak terus, jelas tak akan banyak memprasastikan makna yang kita raih dalam banyak perjalanan kehidupan. Ilmu memang makin ditebar makin bermakna, namun makna menjadi berkurang bila sang empunya jiwa tidak memaknainya terlebih dahulu dengan segenap kemampuan asahan diri.
Makin tinggi jabatan seseorang, idealnya makin bijak berperi ia di bumi. Makin berilmu seseorang, harapannya makin berisi kata-kata yang ia bagi. Makin dalam perjalanan makna seseorang, maka tentunya diharapkan kedalaman maknanya kian banyak dibagi untuk refleksi diri.
Jeda, apapun caranya, dimanapun tempatnya, dan bagaimanapun prosesnya tentu diharapkan kita akan bermula di awal cerita namun dengan semangat yang berbeda. Makin bijak berperi, kata-kata makin berisi, dan makna kian merefleksi diri.
Tidak hanya pada diriku, sahabat semua, kita semua, dan siapapun yang ingin menasbihkan makna di sisa usia yang ada. Kita adalah apa yang kita berikan, makin banyak kita memberi maka akan bertambah banyak yang kita miliki.
Selamat melanjutkan proses sahabat.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar