Selasa, 24 Desember 2013

Keranjang Pempang is My Legacy

sumber: suaramerdeka.com
Di jelang siang tadi,  seorang teman mengatakan padaku bahwa rasa penasarannya tentang buku novelku yang sudah diterbitkan lebih dari setahun yang lalu terjawab sudah.  Ia dengan senangnya mengatakan bahwa sebagian isi dari buku tersebut telah diketahuinya setelah membaca blog ini. 

"Selamat kawan," begitu ucapku.
"Baru sedikit yang kutahu karena hanya membaca blognya, bukan bukunya.  Seandainya dirimu masih menyimpan stok, tentu akan lebih cepat terjawab rasa penasaranku," ucapnya seolah memprotes saat kukatakan tak lagi kusimpan buku itu kecuali untuk anak-anak dan keluargaku.

"Mengapa kau penasaran dengan buku itu?"
Ia tersenyum, lalu menjawab,"Selalu tak pernah habis geloraku bila membaca tentang Belitong. Sejak ada Laskar Pelangi yang mendunia itu,  hingga kini".

"Bukan karena diriku orang Belitong? "
"Hahahahaha....., orang Belitong juga menarik. Nyaris tak pernah habis tuturannya, kadang terlalu bersemangat menyairkan kehidupan. Sayang kadang sebagian bahasanya tak kumengerti," jawabnya.

"Begitulah Belitong kawan, kami selalu bangga dengan tanah kelahiran, bukan karena Belitong sudah terkenal sekarang ini, namun jauh sebelum itu," ucapku sambil membusungkan dada. 

"Hari ini aku penasaran ingin menonton film Laskar Pelangi 2 Edensor itu, meski novelnya sudah kumiliki.  Kurasa kaupun dulu memutuskan menulis karena terinspirasi dari buku itu kan? Cocoklah, dirimu orang Belitong. Cukup pakai ilmu ATM, Amati-Tiru-Modifikasi, maka jadilah karya baru," sedikit senyum kulihat tersungging saat ia berkata hal ini padaku. 

"Hehehehehe.....kali ini dugaanmu salah. Aku menulis untuk meninggalkan sejarah buat anak-anak dan keluargaku. Popularitas, memang setiap orang inginkan, tapi belum kupikirkan dengan hanya menulis satu buku.  Masih harus ada banyak buku lain yang harus kutulis bila ingin populer," jawabku datar.

"Ada banyak orang Belitong yang menulis, bersyair, dan menjadi pekerja seni yang sesungguhnya.  Mereka telah menerbitkan banyak buku,  juga karya sastra dan seni lainnya.  Belum banyak diekspos,  namun mereka semua sedang menuju keabadian. Karya seni mereka akan tetap dikenang sampai kapanpun," lanjutku.

"Keranjang Pempang is my legacy bro," tandasku.

Ia tersenyum, lalu menepuk pundakku," Ikut aku nonton Edensor yuk. Kuingin kita bercerita lebih banyak lagi tentang Belitong".

"Maaf kawan, selamat menikmati sajian film yang baru itu.  Diriku belum bisa menemanimu siang ini. Maklumlah, tak ada beras yang dapat kami bawa pulang bila tak meneteskan keringat hari ini".

Ia tersenyum, kemudian berlalu. Langkah kakinya kini makin ringan,  setidaknya Keranjang Pempang sudah mulai ia fahami, meski bukunya baru ia pesan tadi pagi ke online publishing. 

"Selamat berfantasi kawan, kutunggu ceritamu tentang Belitong dan gairah Orang Belitong dari film yang kau tonton nanti".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar