Sabtu, 28 Desember 2013

Mundur Beberapa Langkah, Kenikmatan Ada di Hadapan

"Para juara melakukan pekerjaan dan menikmati hari-hari mereka dengan sikap gembira dan antusias. Mereka mencintai pekerjaan mereka bukan semata-mata apa yang mereka peroleh, tetapi lebih karena proses yang mereka lalui akan menciptakan pertumbuhan untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi"
(Darmadi Darmawangsa)


Beberapa hari lagi pergantian tahun akan segera kita alami, tentu banyak hal yang telah terjadi di tahun ini, juga harapan di tahun mendatang.  Refleksi diri,  semangat diri, asa diri, juga introspeksi diri akan dan selalu menjadi hal yang akan kita lakukan. Sengaja atau tidak, akan selalu ada saja banyak gejolak rasa saat kita mengakhiri pergantian tahu tersebut.  

Mengutip apa yang pernah dikatakan seorang teman 2 tahun lalu,"Saat pergantian tahun, meski aku sering ikut berteriak dan meniupkan terompet, juga kadang meletupkan mercon atau melemparkan kembang api, tetap saja ada duka di balik gembira. Tetap pula ada bulir airmata selepas teriakan gembira, apalagi keheningan selepas sorak dan teriakan bergegap rasa di jelang pagi menjelang".

Namun kali ini bukan kemeriahan rasa dan taburan emosi yang ingin kutuliskan, tapi sebuah cerita yang kudapatkan dari seorang guru bijak yang saat ini tetap dan selalu menaburkan kebijaksanaannya. Kakek guru, begitulah kami biasa memanggilnya. Beliaupun biasa memanggilku murid ke-13, karena memang itulah urutan nomorku saat terdaftar di komunitas berbagi rasa.

****

"Alkisah di sebuah kota kecil hiduplah tiga lelaki kekar ran perkasa. Mereka bertiga telah bersahabat sejak kecil,  dan hingga dewasa merekapun menjalani profesi yang sama sebagai tukang bangunan. 

Suatu ketika mereka diminta oleh sang penguasa untuk membuat sebuah bangunan, dan dipilihlah satu tempat persis di ujung kota.  Alhasil, mulailah mereka membuat bangunan sebagaimana yang dipesankan oleh sang penguasa.

Seminggu kemudian, seorang kakek melewati tempat mereka sedang bekerja. Melihat apa yang sedang mereka kerjakan, rasa penasaran muncul sehingga kakek itu kemudian bertanya pada pemuda yang pertama.
"Apa yang sedang kau lakukan cucuku?".
'Aku sedang menyusun batubata dengan adukan semen kek,' ucapnya tanpa menoleh sedikitpun.
Mendengar jawabannya, kakek itupun lalu berlalu meski pikirannya masih penuh tanda tanya.

Keesokan harinya, kakek itu kembali melewati tempat ketiga pemuda tersebut bekerja. Ia teringat akan jawaban pemuda pertama yang belum memuaskannya, bahkan membuatnya bingung.
'Sedang mengerjakan apa cucuku? " tanyanya pada pemuda kedua
"Aku sedang membuat bangunan kek, ini pondasinya kek baru saja selesai," jawabn pemuda tersebut dengan sedikit menoleh.

Kakek itupun berlalu, namun rasa penasarannya belumlah terjawab.
"Besok aku akan kembali kesini, akan kutanyakan pada pemuda ketiga mungkin saja ia dapat memuaskan dan menjawab rasa penasaranku," pikirnya sambil berlalu.

Esoknya ia kembali, lalu bertemu dan bertanya hal yang sama.
"Mari kita mundur beberapa langkah kek. Sekarang kita lihat, di sebelah kiri kita itu ada pantai, memang jauh namun birunya laut akan nampak indah dipandang dari tempat kita berdiri sekarang ini".

Kakek itupun  mengangguk, lalu berkata,"Pantai itu, terlalu banyak kenanganku disana, namun aku tetap senang menyendiri ke pantai itu hingga kini karena disanalah aku berjumpa dengan belahan hidupku, walaupun kini ia telah tiada".

"Nah kek, sekarang mari kita lihat di sebelah kanan. Bukankah ada lembah menghijau lengkap dengan perkampungan asri yang tetap memegang adat dan banyak kearifan lokal?"

Kali ini kakek itu hanya mengangguk, karena ia tahu sebagian besar tentang kampung itu. Ia dan istrinyalah yang dulu pertama kali tinggal di situ dan akhirnya ditunjuk menjadi kepala desa beberapa tahun kemudian.

"Lalu di  depan kita ini kek, itulah gunung yang paling gagah dan menjadi tempat berlindung banyak hewan dan tumbuhan. Cagar alam dan sumber mata air bagi semua penduduk disini. Di atasnya langit biru dengan beberapa ekor elang yang terbang menjejak angkasa, jelas sungguh meneduhkan," ucap pemuda itu sambil menyeka keringat.

Sumber:duniadahliablogspot.com
"Saya sebetulnya memang sedang memasang batu, mengaduk semen dan menjadikannya sebuah bangunan. Namun bangunan yang sedang kami bangun ini adalah sebuah tugu. Nanti di atasnya ada sebuah patung burung garuda yang sedang mengepakkan sayapnya. Warnanya keemasan, tentu akan kontras dan melengkapi keindahan di sekitarnya. Tidak hanya itu kek, di sekelilingnya juga akan kami buat taman lengkap dengan bangku, kolam ikan, juga jogging tract. Para penjaja kaki lima nanti akan dibuatkan tempat khusus, namun di belakang kita agar tak menutupi pandangan setiap orang yang sedang menatap keindahan dari sini".

****
Dalam kehidupan kita, tentu saja kita telah berbuat banyak sebagaimana yang dilakukan oleh ketiga pemuda tadi. Mereka membuat bangunan yang sama, namun cara mengerjakan dan menikmatinya tentu saja berbeda. 

Henti sejenak, lalu mundur beberapa langkah, pandanglah kanan dan kiri, atas dan bawah, juga depan dan belakang, maka akan kita nikmati semangat baru dan mental baru untuk menikmati kebahagiaan. Bukan hasilnya saja yang dapat menggembirakan, namun prosesnyapun sudah membahagiakan.

Keindahan itu ada disini, di dalam pikiran dan  hati kita.
Selamat berproses kawan, hidup itu sangat indah.

Kamis, 26 Desember 2013

Sekarang Nimfa, Besok Kupu-kupu

"Sebetulnya Aku bukan orang yang senang membaca,  selalu banyak alasan selama ini yang sering kuyakini benar adanya untuk membenarkan apa yang selalu menjadi alasanku," ucap seorang sahabat siang tadi. 

sumber:arantha230276@blogspot.com
"Loh koq sekarang dirimu malah tiba-tiba berminat membaca Keranjang Pempang? Memang ada hal yang menarik dari novel itu hingga akhirnya membuatmu memutuskan untuk menjadi seorang pembaca? Gugur dong kalau begitu pembenaranmu selama ini," sedikit tersenyum saat kuucapkan hal ini padanya. Bukan senyum memperolok, namun senyum kebanggaan karena lelaki di depanku kini telah mulai bermetamorfosis. Memang belum menjadi kupu-kupu yang indah, namun nympha-nya mulai terlihat jelas.


"Aku malu, " ucapnya dengan wajah tertunduk. 
"Malu....? Belum kutangkap maksudmu".

"Aku malu padamu bro. Usiaku jauh lebih muda darimu, tubuhku lebih berenergi,  dan semangatku meraih impian harusnya lebih juga dibandingmu. Tapi rupanya aku tertinggal jauh. Jangankan menulis sebuah buku, segores kalimatpun belum kulakukan.  Jangankan memenuhi lemari dengan banyak buku, satupun tak ada buku yang kubeli setahun terakhir ini. Apalagi menerbitkan buku, tak ada panggang juga api.  Beku...," kali ini sudut matanya sedikit bergetar,  ada penyadaran yang dalam telah ia alami. 

"Aku lebih tua darimu,  ubanku sudah nyaris tak mampu kusembunyikan,  dan tarikan nafasku tak lagi selapang tarikanmu.  This is my journey bro, this is' nt only a dream or inspiration, this is more than what people's think", jawabku. 

"You were on the tract bro. Thousand word depends on first word, and thousand walk depends on first walk. Be proud bro, this is your first day," kutepuk bahunya. 

Ia senyum, lalu berkata,"Siang ini aku akan ke toko buku.  Satu buku akan kubeli hari ini.  Namun bolehkah kau ceritakan satu kisah inspiratif untukku? ".

"25 tahun yang lalu saat pertama kali kuinjakkan kakiku di Bumi Sriwijaya ini, pernah kubaca sebuah buku yang mengatakan bahwa 20 tahun mendatang hidup kita akan sama seperti saat ini. Hanya 2 hal yang akan membuatnya berbeda, yaitu orang-orang di sekitar kita dan apa yang kita baca.  Hal yang sama kembali kudengar 15 tahun kemudian dari tuturan seorang lelaki bijak di satu sesi sharing sesama trainer".

"Kau tahu mengapa hal ini penting bagiku, " tanyaku padanya.
Hanya gelengan kepala,  lalu ia diam. 

"5 tahun lalu aku berada di tempat yang sama saat 25 tahun yang lalu.  Beberapa lelaki yang kutemui masih seperti yang kutemui saat ini, nyaris tak berubah.  Pola pikirnya,  kebiasaannya, juga keluhannya; Beras mahal, sekolah makin susah,  hidup tetap bodoh,  dan miskin makin menjadi.  Mungkin kalau togel atau SDSB masih ada dan dilegalkan,  kurasa mereka juga tetap jadi pemimpi hingga kini.  Kurasa cukuplah ini jadi satu bukti, belum perlu kucari bukti lainnya. Sayangnya mereka mengeluh bodoh, namun tak pernah dengan sengaja mau belajar dan membaca makna alam. Sayangnya mereka mengeluh miskin, namun tak bangun lebih pagi dari ayam. Sejak dulu, hingga kini".

"Ini dulu yang bisa kuceritakan kawan, lain waktu kulanjutkan lagi maknanya.  Kurasa kaupun sudah memahaminya kan?", tanyaku sambil tersenyum.

Ia mengangguk, lalu menyalamiku.
"Terima kasih bro, 20 tahun ke depan hidupku akan berbeda. Aku pamit dulu,  dua buku akan kubaca jelang akhir tahun ini," ucapnya sambil mengusap sudut matanya. Beberapa tetes airmata telah menetes kini. 

"Airmata kebahagiaan,  airmata penyadaran, dan airmata kegembiraan. Teruslah berjalan kawan, ada banyak kehidupan di luar sana.  Namun hidupkan dulu semangat dalam dadamu. Kutunggu cerita perjalananmu," ucapku dalam hati saat melihat deru motornya kini telah menembus belantara kota.

Selasa, 24 Desember 2013

Keranjang Pempang is My Legacy

sumber: suaramerdeka.com
Di jelang siang tadi,  seorang teman mengatakan padaku bahwa rasa penasarannya tentang buku novelku yang sudah diterbitkan lebih dari setahun yang lalu terjawab sudah.  Ia dengan senangnya mengatakan bahwa sebagian isi dari buku tersebut telah diketahuinya setelah membaca blog ini. 

"Selamat kawan," begitu ucapku.
"Baru sedikit yang kutahu karena hanya membaca blognya, bukan bukunya.  Seandainya dirimu masih menyimpan stok, tentu akan lebih cepat terjawab rasa penasaranku," ucapnya seolah memprotes saat kukatakan tak lagi kusimpan buku itu kecuali untuk anak-anak dan keluargaku.

"Mengapa kau penasaran dengan buku itu?"
Ia tersenyum, lalu menjawab,"Selalu tak pernah habis geloraku bila membaca tentang Belitong. Sejak ada Laskar Pelangi yang mendunia itu,  hingga kini".

"Bukan karena diriku orang Belitong? "
"Hahahahaha....., orang Belitong juga menarik. Nyaris tak pernah habis tuturannya, kadang terlalu bersemangat menyairkan kehidupan. Sayang kadang sebagian bahasanya tak kumengerti," jawabnya.

"Begitulah Belitong kawan, kami selalu bangga dengan tanah kelahiran, bukan karena Belitong sudah terkenal sekarang ini, namun jauh sebelum itu," ucapku sambil membusungkan dada. 

"Hari ini aku penasaran ingin menonton film Laskar Pelangi 2 Edensor itu, meski novelnya sudah kumiliki.  Kurasa kaupun dulu memutuskan menulis karena terinspirasi dari buku itu kan? Cocoklah, dirimu orang Belitong. Cukup pakai ilmu ATM, Amati-Tiru-Modifikasi, maka jadilah karya baru," sedikit senyum kulihat tersungging saat ia berkata hal ini padaku. 

"Hehehehehe.....kali ini dugaanmu salah. Aku menulis untuk meninggalkan sejarah buat anak-anak dan keluargaku. Popularitas, memang setiap orang inginkan, tapi belum kupikirkan dengan hanya menulis satu buku.  Masih harus ada banyak buku lain yang harus kutulis bila ingin populer," jawabku datar.

"Ada banyak orang Belitong yang menulis, bersyair, dan menjadi pekerja seni yang sesungguhnya.  Mereka telah menerbitkan banyak buku,  juga karya sastra dan seni lainnya.  Belum banyak diekspos,  namun mereka semua sedang menuju keabadian. Karya seni mereka akan tetap dikenang sampai kapanpun," lanjutku.

"Keranjang Pempang is my legacy bro," tandasku.

Ia tersenyum, lalu menepuk pundakku," Ikut aku nonton Edensor yuk. Kuingin kita bercerita lebih banyak lagi tentang Belitong".

"Maaf kawan, selamat menikmati sajian film yang baru itu.  Diriku belum bisa menemanimu siang ini. Maklumlah, tak ada beras yang dapat kami bawa pulang bila tak meneteskan keringat hari ini".

Ia tersenyum, kemudian berlalu. Langkah kakinya kini makin ringan,  setidaknya Keranjang Pempang sudah mulai ia fahami, meski bukunya baru ia pesan tadi pagi ke online publishing. 

"Selamat berfantasi kawan, kutunggu ceritamu tentang Belitong dan gairah Orang Belitong dari film yang kau tonton nanti".


Minggu, 22 Desember 2013

Syair Itu Masih Ada

Ia adalah deru dalam sedekap asa
Ia adalah rasa dalam sangkakala makna
Iapun adalah jiwa dalam rasa berbalut hikmah
Tetap taburkan
Tetap hamburkan
Meski kadang hanya tuturan nyaris berkabut
Juga berkabur
Namun tetap harus berkobar

Keranjang pempang
Buliran keringat anak penghujung negeri
Tetesan darah para pencinta kehidupan
Bertarung melawan kemiskinan
Bertarung melawan kebodohan
Juga bertarung melawan kekufuran

Ia memang hanya seonggok keranjang
Nyaris tak berarti bagi siapapun
Tidak juga dirimu
Sejak dahulu
Mungkin hingga akhir waktu

*****

Lebih dari setahun tak kutulis apapun di blog ini,  bukan oleh kesibukan, namun karena perasaan.  Perasaan, bagi sebagian orang hanyalah refleksi dari gegap gempita diri dalam menguak makna,  nyaris dapat diabaikan,  atau kadang dilupakan.

Perasaan, bagi mereka yang lain seperti sebuah masalah,  yang bisa mereka singkirkan atau tinggalkan di bagian lain kehidupan.  Ibarat sepotong kertas kecil,  jangan dipegang, lepaskan saja agar bebannya tidak dibawa sepanjang perjalanan.  Mudah untuk dikatakan,  namun sulit untuk dilakukan.

Pembelaan? Tentu saja bukan!
Seperti sebuah cerita yang pernah kudengar dan beberapa kali kusampaikan pada beberapa orang dalam beberapa kelas berbagi, perasaan itu adalah masalah.  Bila setiap kita bermasalah itu diumpamakan menancapkan sebatang paku ke sebuah dinding papan, maka entah seberapa banyak paku yang kini setelah beberapa tahun memenuhi papan itu.  Dan bila dalam setahun ini paku-paku tersebut mampu kucabut satu persatu di saat masalah itu mampu kutuntaskan dengan cara benar,  ternyata meski kini semua pakunya telah kucabut, tetap saja papannya berlobang dan meninggalkan bekas. Ia tak akan kembali seperti semula.

Lalu?
Papan tetaplah papan, paku tetaplah paku, dan masalah tetaplah masalah. Ia memang tetap berbekas, sampai kapanpun.  Namun tak kan boleh menyurutkan diri untuk berbagi.  Bukankah ada banyak orang di luar sana yang berharap bahwa kita tidak terpaku pada kekurangan? Juga berharap kita tak terpaku pada paku-paku kehidupan?

Seandainya kita terpaku pada kekurangan, juga kesalahan,  meski kadang berbau kekhilafan, maka tak ada prestasi dan catatan sejarah apapun tentang diri kita.
Kita hanya ada dalam sebuah cerita, itupun hanya konon kabarnya. ....
Pantai Tanjong Pendam, Belitong