Kamis, 05 Juli 2012

Kenikmatan Hidup


Sudah lebih dari seminggu ini, hampir tiap hari kuikuti Bang Rudi ke lapangan golf. Berangkat setiap selepas sholat zhuhur, dan pulang menjelang maghrib. Tak ada sesuatu yang baru, namun kerinduanku pada kenyamanan berbaring di rerumputan yang hijau dan rapi itu, telah membuatku benar-benar merasa seperti tidur beralaskan permadani dari Afganistan dan beratapkan langit yang penuh bintang. Tiada keindahan yang dirasakan, selain indahnya alam yang menaungi pikiran, menyelimuti hati, dan membalutnya dalam dekapan yang penuh kehangatan.

Pantai Pengempangan, skrg pantai Nyiur Melambai
(sumber: endabangka.wordpress.com)
Hampir setengah bulan sudah meninggalkan kampong, hampir setengah bulan sudah tidur di lantai dan hanya beralaskan tikar purun berwarna hijau bercorak garis-garis merah, hampir setengah bulan sudah melihat luasnya dunia, dan hampir setengah bulan sudah selalu menemukan keajaiban demi keajaiban terhampar di depan mata; Pantai Pengempangan dan para pengangkat perahu yang siap menerima imbalan apa saja dari sang nelayan meskipun hanya seekor ikan buto cine, Pelataran Samak dengan rumah Kawilasi di puncaknya laksana istana raja diraja di tengah kemiskinan dan kemelaratan masyarakat di sekitarnya, dan Padang Golf berhamparkan rumput seluas mata memandang berhiaskan pinggir laut dengan angin timur yang sepoi-sepoi. Saat karunia Sang Maha Pencipta mengalir tiada pernah berhenti, saat itulah kenikmatan demi kenikmatan menyertai setiap mahkluk yang dikehendakiNya. Ia Maha Rahman dan Maha Rahim; Akan dikasihinya setiap makhluk yang telah diciptakanNya dengan berbagai kenikmatan yang ada di muka bumi, namun hanya makhluk ciptaan yang dikasihiNya yang akan mendapatkan limpahan rahmat di kehidupan akhirat kelak.

*****

Fath, yuk kita berangkat,” Idil berteriak membuyarkan lamunanku.

Eit Dil, tunggu dulu, aku pamit dulu pada Umak".

“Mak, aku ke lapangan golf lagi ya?”

Nah, kau mau berangkat lagi ya? Jangan ya nak, bantu umak mulai hari ini,” datar jawabannya, nyaris tanpa intonasi samasekali. Jangankan melihatku, menolehpun ia tidak.

 Matanya hanya melihat sebentar ke arah  tumpukan kayu pelawan· yang mulai terbakar di dapur tanah yang baru di buat bapak kemaren; sebuah dapur sederhana berbentuk segiempat panjang yang lebarnya tak lebih dari limapuluh sentimeter, panjang kurang dari satu meter, dan tingginya hanya sekitar tigapuluh sentimeter pula. Empat keping papan yang sudah lusuh dan setengah rusak karena digigit rayap menjadi bingkai yang membatasinya dengan tanah liat yang mengisi dalamnya. Dua buah batu gunung sebesar pahaku diletakkan di kedua sisinya, dan dua buah besi hitam selebar lima sentimeter menghubungkan kedua batu. Sebuah dandang· hitam tampak mulai mendidih karena tutupnya mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Oh, mak mulai masak ketan lagi ya? Untuk buat pulut panggang lagi?”.

Iya... mulai hari ini kita harus mulai jualan jajak lagi untuk menyambung hidup. Duit gaji dari bapakmu sudah habis hari ini, tinggal cukup untuk beli ketan, kacang hijau, kelapa, dan sedikit kacang tanah. Jadi memang mulai hari ini kita harus mulai jualan lagi”.

Cepatlah sini bantu umak”.

Ya mak, tapi aku sampaikan dulu ke Idil kalau mulai hari ini aku tak ke lapangan golf lagi”.

Lima menit kemudian, masih kuingat betapa kecewanya Idil. Sulit menjelaskan padanya bahwa kehidupanku mulai hari ini kembali harus bergayut dan bertempur melawan kemiskinan. Kebodohan harap diusir, kemandirian harap dihadirkan, dan kejayaan harap dihadapan.

*****
“Sreeekkkk.... sreeekkkkk.... sreeeee......” suara khas sepeda terdengar dengan merdunya.

“Mak... bapak datang”.

Sangat khas memang suara rantai sepeda itu, karena sudah lebih dari setahun rantainya tak pernah diganti. Hampir setiap hari harus diminyaki oleh Bapak, agar rantainya tidak kaku dan agar tidak mudah lepas dari freewellnya.

Serangkaian siulan indah lalu muncul dengan sendirinya, itulah siulan bapak yang sangat memikat hati. Pelan namun pasti, segera dapat kueja lagu yang sedang ia dendangkan dengan siulannya, “Sendiri.... kini aku sendiri lagi... hanya bertemankan mimpi-mimpi... dan menangis... kututup.... pintu hatiku untuk cinta...”

Entah sejak kapan bapak menyanyikan lagu ini dengan siulan, namun kami semua sangat faham bila siulan terdengar, itu pertanda hatinya sedang bahagia. Hampir semua anak-anaknya tahu persis lagu-lagu favorit yang sering disiulkannya : Sepanjang Jalan Kenangan, Pertemuan, Teluk Bayur, Patah Hati, Sebiduk di Sungai Musi, dan tentu saja lagu yang tadi baru dinyanyikannya yang tak pernah kutahu apa judulnya. Ia bahkan cukup menguasai lagu-lagu barat dan sering pula menyiulkannya seperti My Way, Dont Forget to Remember, dan Sailing.

Beberapa diantara lagu itu adalah lagu yang paling sering didengarnya dari biola yang sedang digesek oleh kakekku di zaman tahun empatpuluhan, dan selalu bapak siulkan hingga saat ini terutama sejak kakek meninggal saat usianya baru menginjak tigabelas tahun. Siulan yang selalu diperdengarkan Bapak kala rindu pada Kakek, mengganti kesedihan dan kenestapaan dengan kebahagiaan dan penuh harapan!


· pelawan : sejenis kayu bakar (lihat kamus)
· dandang : panci besar utk merebus air, ketupat dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar