Senin, 30 April 2012

Wujud itu nyata!


Kawan,

Sangat lama kita tak bertemu, nyaris setahun sejak pertemuan kita saat acara penguburan orang tuamu itu, di bulan Juni tahun lalu. Banyak rasanya yang ingin kutanyakan, namun harus kutunda karena perasaanku mengatakan bahwa dirimu sedang asyik menarikan qwerty di layar 10" yang paling kau sukai itu. Aku yakin itu, sejak kau katakan bahwa duka kehilangan Bapakmu telah mampu kau lewati dengan penuh kebaikan dan penuh ketabahan.

Aku masih ingat, nyaris 110 hari tak ada secuilpun kata yang mampu kau tuliskan untuk merangkaikan "Syair Keranjang Pempang" menjadi prasasti hidupmu. Sangat sedih aku kala itu. Tak kubayangkan, berapa banyak kearifan lokal di kampong yang akhirnya akan menguap bila tidak dituturkan.

Aku sesungguhnya ingin bertutur sepertimu, namun jelas aku tak kan mampu. Sejak kecil kita sudah berbeda, apa yang kita tangkap dari banyak peristiwa di sekitar kita akan selalu berbeda, meski situasinya sama!

Lagipula, hanya menelepon, sms, dan menulis secarik kertas inilah yang mampu kulakukan untuk melegakan hati. Mesin tik, hanyalah mimpi saat diriku masih bujang dulu. Mengetik sepuluh jari, apalagi! Beda dengan dirimu yang sejak SMA telah bersusah payah ikut kursus mengetik di kampong Padang Manggar, sekedar untuk mewujudkan keinginanmu untuk menjadi Juru Tulis di Kantor Kelurahan. Profesi yang pernah ditekuni almarhum Bapakmu dulu sebelum ia memutuskan menjadi karyawan Timah.

Komputer dan laptop, jelas bukan keseharianku. Tentu saja tak kumiliki, apalagi mampu mengoperasikannya. Tak kukenal apa itu windows, android, google, ataupun banyak istilah yang pernah kau ceritakan beberapa bulan yang lalu.

Aku hanya tahu martil, besi, kawat las, solar, dan beberapa bahan yang selalu menjadi keseharianku sebagai tukang las. Miris bagi banyak orang, namun sangat membahagiakan bagiku karena aku telah berhasil meneruskan keahlian almarhum Bapakku yang jago mengelas.

Aku jadi ingat, meski kita sering berjalan bersama, ternyata kita memang sudah berbeda dari awal. Hanya satu kesamaan kita : Ingin meneruskan keahlian Bapak kita masing-masing.

Aku sekarang bangga, sudah mampu jadi tukang las meski sebelah bola mataku sekarang mulai mengabur. Kuanggap itu karena Tuhan sudah mencabut satu demi satu milikNya yang dititipkan padaku.

Memang aku belum sehebat almarhum Bapakku yang mampu membuat dan memodifikasi body mobil hingga sebuah pick up berubah menjadi "mobil mewah". Namun aku tetap bangga karena pelan tapi pasti, ketrampilan yang kumiliki ternyata mampu memberikan manfaat bagi banyak orang.

Aku yakin, dirimupun juga sebangga diriku saat akhir tahun lalu kudengar bahwa bukumu yang telah kau tuliskan jatuh bangun dalam emosi diri selama beberapa tahun ini, telah mampu kau selesaikan.

Semoga sukses kawan, kearifan lokal itu memang banyak tersebar dan terhampar disini, di bumi Belitong.


Sahabat kecilmu,
JHR

Minggu, 29 April 2012

Komentar #1

Pendapat, kritikan, dan masukan tentulah sebuah penghargaan yang sangat luar biasa untuk diriku : seorang Penulis yang baru saja mencoba untuk melengkapi "Road Map" untuk menjadi seorang WTS (Writer - Trainer - Speaker) yang telah ditancapkan beberapa waktu yang lalu.

Menyunting pendapat seorang ahli bijak,"Apapun respons yang timbul dari pikiran , ucapan dan tindakan yang kita ambil, semua itu adalah untuk kemajuan kita. Bahkan kritik yang paling pedas sekalipun adalah penghargaan terbaik untuk meraih pencapaian terbaik".

Untuk itu diriku akan merangkum beberapa respons yang muncul, selanjutnya secara bertahap dan berkesinambungan akan disampaikan secara lengkap.
Sekali lagi, terima kasih atas berbagai respons yang masuk hingga saat ini.

1. Saya merekomendasikan bagi teman sekalian untuk membacanya, maka kita akan merasa berada di tanah Belitong yang sebenarnya. Selamat menikmati sajian sastra menarik ini
(Adhe R. Saptadjie, Head of Corporate Trainer di Quantum Prasidha International, Pharmatrainer, Pharmacyst, Pembina UMKM - Jakarta)
2. Saya siap memberikan endorsement untuk buku yang bagus ini
(Anthoni Dio Martin, the Best EQ Trainer Indonesia - Jakarta)

3. Luar biasa! Belum terbit sudah pada nggak sabar membaca karya Bapak. Selamat, semoga sukses luar biasa
(Eka Wartana, Trainer dan Penulis - Jakarta)
4. Akhirnya karya sahabatku terlahir jua. Syukur kepadaMu Tuhan, amien
(Effendi Bepe, Trainer-Penulis-Entrepreneur, Surabaya)

5. Saya akan beli dan minta tandatangan langsung, bangga!
(Widya, Human Resources & Organization Development Manager - Jakarta)

6. Senang dan bangga kang ASE telah melahirkan karyanya. Saatnya ia menebarkan kearifan lokal Belitong
(Gunawan Raharja, People & Development Manager - Jakarta)
7. Kearifan lokal pasti tema yang menarik. Tak sabar ingin membacanya
(DR. Adeng Slamet, Dosen Biologi Universitas Sriwijaya - Palembang)
8. Selamat dan sukses kawan!
(DR. Ali Masri, Dosen Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia Univ. Sriwijaya - Palembang)

9. Selamat dan sukses ya
(Ian sancin, Penyair & Penulis asal Belitong - bermukim di Bandung)

10. Untuk hasrat, semangat dan airmata. Perjuangan hidup penuh gelora, sukses
(Endah Handayani, Penulis - Jakarta)

11. Mantap kawan, teruskan eksistensimu demi keharuman nama kampung kita
(Tresnaedy, entrepreneur - Bandung)

12. Trainer tanpa buku? mirip sayur tak bergaram. Sekarang dirimu telah melengkapinya, selamat
(Eka Apriando, Pharmatrainer - Surabaya)

13. Saya tunggu tanggal terbitnya (Fajri Uslinawati, Kacab BRIngin Life - Kendari)
14. Tak ada harga yang mahal untuk sebuah buku 688 halaman++ yang menggugah dan berlatarbelakang kehidupan di kampung
(Rinto, Entrepreneur - Sragen)

15. Keseharian beliau sering mengumpulkan banyak makna hidup yang bertebaran dengan kekuatan jiwa bercerita. Buku ini telah menjadi bukti monumental, Insya Allah...amien
(Jumardiansyah, Entrepreneur sejati - Palembang)
--- untuk komentar, pendapat dan respons yang lain akan diterbitkan kemudian ---

Di Balik Lahirnya Sebuah Buku

Sebuah karya, baik karya ilmiah maupun karya sastra tentu tak pernah datang secara tiba-tiba tanpa ada proses yang panjang. Demikian juga dengan lahirnya novel "Syair Keranjang Pempang" ini. Tentu saja, ada pendahuluan dan latar belakang yang bermakna dalam perjalanan awal lahirnya novel ini.

Banyak orang mengatakan "Life begin fourty". Jelas ada yang membenarkan, namun ada pula yang menyanggah. Namun diriku tak mau beropini tentang hal ini, cukuplah debat ini menjadi bahasan mereka yang secara intelektual di atas kita. Diriku hanya ingin mengatakan bahwa idiom di atas sangat bermakna untukku, lebih karena tepat pada malam pertama di usia itulah berhasil dilahirkan sebuah tulisan yang tak pernah kuduga samasekali mampu kuselesaikan. Delapan halaman hanya dalam waktu tiga jam, mulai dari jam 01.00 hingga 03.30 wib. Tulisan yang sebelumnya pernah beberapa kali kutulis, namun tak pernah berhasil!

Keesokan malamnya, jari ini makin menari-nari. Otak, pikiran, dan rasa benar-benar menyatu. Hal yang sama terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian. Alhasil, kurang dari setahun hampir 500 halaman sudah terhamparkan. Meski semuanya masih dengan bahasa yang kadang nyaris tak bermakna, kecuali hanya curahan hati saja.

Jumlah halaman yang sedikit bagi banyak orang, namun sangat banyak bagi diriku karena pada akhirnya proses menghamparkan perasaan itu sengaja kulakukan pada malam-malam libur saja.

Jatuh bangun pernah terjadi beberapa kali, nyaris tak terhitung. Dorongan terbesar adalah keinginan diri saja, tanpa hal itu maka impian-impian hanyalah jadi sepotong coretan di langit biru yang sangat luas.
Almarhum Bapakku, tentu saja salah seorang yang mampu membangkitkan semangatku di tengah "centang perenang" emosi diri tak beraturan. Saat muncul keraguan untuk mempublikasikannya, secara khusus beliau menepuk bahuku dan berkata,"Tulisanmu indah, tanpa kau publikasikan dan menjadi buku saja sudah menggembirakanku". Ucapan yang ia sampaikan dengan tulus, di saat usianya jelang 75 tahun dan makin bertarung dalam kekuatan yang mulai dicabut oleh Sang Maha Pemilik satu persatu. Saat itu ia sudah tidak bisa membedakan bau, pembauannya benar-benar sudah hilang. Namun rasa seni dan ketajaman hatinya makin bergelora.

Ucapan sederhana, dari orang yang sederhana, dengan kalimat yang sederhana, namun dengan semangat yang luar biasa. Ia telah membalikkan keadaanku, lebih dari apa yang kupikirkan!

Kadang di perjalanan juga ada banyak hentakan yang muncul, nafsu duniawi sering mengaburkan diri. Alhasil, bila tubuh, pikiran, hati dan rasa masih diselubungi nafsu duniawi, tak akan seberkas hurufpun mampu dituliskan, apalagi kata dan kalimat penuh makna.

(sekilas cerita awal dibalik penulisan novel ini, berlanjut pada edisi selanjutnya)

Sabtu, 28 April 2012

Dua Puluh Tiga Mei

Tak pernah kuingat siapa nama sang kernet ini, tapi yang kuingat ia adalah lelaki kecil bermata sipit, berkulit putih, dan dari ras Tionghoa. Hidupnya selalu ceria, meski kartu penduduk Indonesia iapun kurasa tak punya meski lahir di kampong penuh kebun sayur. Tak pernah ia mau dikatakan bukan orang Indonesia, meski ia berdarah Tionghoa. Cina kebun, begitulah orang-orang pribumi sering menyebutnya.

Satu persatu penumpang memenuhi mobil ini. Hampir seluruh jalan-jalan Gantong dilewatinya. Penuh sesak muatan dipenuhi, barang dan orangpun disusun seperti benda mati.

"Susun kayu bakar, sungguh tidak bernurani," pikirku.

Ini memang ironi anak negeri, meski sudah empat puluh tiga tahun negeri merdeka, kenyamanan dan kenikmatan hanyalah milik segelintir orang. Berhimpitan seperti kayu bakar sudah biasa, bersusun sirih sudah biasa, berampit ketong• makin biasa, keringat dan bau tentu makin menyedapkan rasa

"Hidup ini indah, seindah-indahnya kehidupan," inilah pikirku kala melihat seorang lelaki berbaju kaos hitam, bertopi coklat, dan berjaket kumal penuh daki. Matanya yang tertutup rapat, gigi rungak-nya• yang menonjol berhias karat asap rokok, dan suara dengkurnya makin melengking. Tak sedikitpun dihiraukannya himpitan seorang ibu muda yang tengah hamil di sebelahnya, tak tergubris sedikitpun tidurnya oleh tangis anak kecil yang kedinginan tertiup angin dari jendela yang telah ia buka tadi

Mengapa menggunakan nama Ase El Kalami?

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman di dalam salah satu situs jejaring di dunia maya menanyakan hal yang sama dengan judul di atas. Pertanyaan yang sebetulnya telah sering ditanyakan oleh mereka yang tertarik dengan "Syair Keranjang Pempang".
Untuk itulah tujuan disampaikannya tulisan ini.

Sebagaimana halnya dengan proses kehidupan, kita semua tentu tak hadir secara tiba-tiba dalam bentuk sempurna seperti saat ini. Semua bermula dari setetes air yang berisi sel benih (spermatozoa), kemudian bertemu sel telur (ovum), hingga kemudian terus dan terus berproses menjadi zigot, fetus, bayi, anak-anak, remaja dan akhirnya menjadi pribadi dewasa.

Demikian pula halnya dengan nama Penulis, ada satu rangkaian proses yang cukup panjang hingga ditetapkan nama tersebut.

Ase El Kalami merupakan nama sastra dari Penulis. Penggunaan nama ini sebetulnya tidak terjadi tiba-tiba, namun melalui banyak rangkaian proses yang cukup panjang.

Ase, nama ini adalah inisial nama keseharian dalam pekerjaan rutin sehari-hari. Nama yang secara khusus diminta oleh "Kakek Guru" agar diriku yang merupakan "Anak Murid ke-13" dapat nama panggilan yang sederhana, mudah, dan bermakna.

Ase, selain singkatan dari nama Penulis, juga berarti "mempercepat reaksi" bila digabungkan dengan satu senyawa atau zat tertentu. Ase menjadi penanda untuk katalisator dan enzim. Misalnya Amilase, yang merubah amilum/karbohidrat menjadi glukosa. Kehadiran Ase menurut harapan mereka akan dapat menjadi "agent of change" sebagaimana misalnya glukosa yang kemudian akan diserap oleh tubuh, memberikan energi untuk otot-otot tubuh, menjadi cadangan glukosa di hati, bahkan kemudian berubah menjadi lemak untuk cadangan energi ataupun protein menjadi zat pembangun tubuh.

El-Kalami, tambahan nama ini juga tidak muncul secara tiba-tiba. Ada pengalaman "spiritual tersembunyi" saat ditemukan nama ini. Ia adalah nama sastra almarhum Bapakku, yang muncul saat novel kehidupan ini sedang ditulis di tengah keheningan malam. Untuk mengingat proses inilah, maka di dalam salah satu judul dalam novel ini juga diselipkan perjalanan spiritual ini.

Secara khusus Ase El Kalami berarti "Seseorang yang mempercepat reaksi dengan menuliskan makna kehidupan". Hal ini tak lepas dari keseharian Penulis sebagai seorang Trainer. Sebagaimana salah satu tugas trainer yaitu menebarkan pelajaran dan makna kehidupan dalam setiap sesinya, maka novel ini dimaksudkan sebagai "learning", karena manusia belajar melalui dua hal yaitu "self learning" dan "experiential learning".

Untuk mempercepat kita menangkap makna kehidupan, kita tak harus menjalani semuanya (self learning), namun belajar dengan memaknai pengalaman-pengalaman orang lain (experiential learning) menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan.

Kamis, 26 April 2012

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih yang sangat mendalam utk bapakku Kamaruddin bin Sahiman (alm) dan umakku Yusnah bin Kaman, serta semua abangku di Belitong (Imran, Wirda, Kurdi, Amsir), adikku (Mita dan alm. Aziar), Pak Ute Akhmad Rakhman dan Mak Ute Rogaiyah. Juga seluruh teman dan kerabat di Belitong, khususnya di Batu Penyu, Gantong, dan Manggar.

Ucapan ini juga disampaikan pada komunitas Belitong di Facebook utamanya perenggu Lanun (Bang Ian Sancin, Endah, Harpani, dan Nining), semua anggota group Begalor Ngenangkan Suke, dan semua orang tua kebijaksanaan yang saat ini telah banyak kembali ke pangkuan Allah SWT. Semoga jejak yang telah dibuat mereka terus bernilai di mata generasi penerus. Anda semua selalu jadi inspirasiku mengais kebijaksanaan di bumi Belitong.

Ucapan khusus disampaikan pada Pak Adhe R.Saptadjie dan Pak Anthoni Dio Martin yang mendorongku untuk terus menggoreskan cerita, Maz Riro yang selalu menunggu karyaku, Icha Rachim dan Falsya yang menjadi penikmat pertama ceritaku. Semua guruku selama di Belitong yang tak dapat kusebutkan satu persatu baik yang di TK Kartini Gantong, SDN Batu Penyu, SMPN Gantong, dan SMAN Manggar yang selalu membekali langkahku dengan banyak makna kebijaksanaannya.

Pada akhirnya, terima kasih pula untuk semua sobat, kerabat, dan semuanya yang selalu menjadi teman di dunia maya dan yang telah membuka blog ini. Khususnya yang nantinya dapat menikmati edisi lengkap "Syair Keranjang Pempang" dengan memesan di www.nulisbuku.com.


Rabu, 25 April 2012

Mengapa dinamai Syair Keranjang Pempang?

"Keranjang pempang itu adalah keranjang serba guna yang ditaruh di belakang sepeda atau motor. Biasa dipakai untuk orang berjualan, mengangkut barang bahkan anak kecil. Dulu waktu diriku di Belitong, keranjang pempang adalah keseharian diri. Berjualan kue, ikan, sayur, membawa pukat, jaring pelanduk-kijang-rusa, bahkan sekedar hasil bumi.Saat kecil, di dalam keranjang pempang inilah kami biasa diangkut orang tua, dilapisi kain, hingga hangatlah meski angin malam melanda.

Di dalam keheningan itulah, diriku sering berfantasi mencipta rangkaian kalimat di bawah indahnya gemerlap dan kelap kelip bintang di langit malam. "Indah, syair itu akan sangat indah, penuh fantasi, penuh gelora, penuh semangat, hingga selalu ada kegembiraan dan harap di dalamnya".

Keranjang Pempang bagi banyak "urang Belitong" selalu tak terpisahkan dalam keseharian. Selalu dan selalu ada cerita yang tak kan pernah habis bila membahas keranjang pempang.

Gambaran Khusus Syair Keranjang Pempang

Novel ini menggunakan huruf Times New Roman ukuran 11, terdiri atas 52 judul, 688 halaman++, 606.543 karakter (diluar spasi), 3860 paragraf, dan 102.687 kata. Di dalamnya juga diselipkan 26 buah syair, dengan syair utamanya pada bagian penutup berjudul Syair Keranjang Pempang.

Gambaran Daftar Isinya adalah sbb :
Halaman Persembahan, Ucapan terima kasih, 1. Mei Delapan-delapan, 2. Subuh Juli Enam Sembilan, 3. Apam Rendang, 4. Air Ajaib, 5. Kik Lepok, 6. Guru Kedua, 7. Neural Tube Defect, 8. Bila Waktu Telah Berhenti, 9. Majelis Permusyawaratan Buruh, 10. Bima Sakti, 11. Pucuk Karet, 12. Liu Tui, 13. Musim Kulat, 14. Feodalisme Tak Terbantahkan, 15. Hijrah ke Manggar, 16. Rambutan Nanar, 17. Lipat Kajang Tujuh Enam, 18. SDN 5 Lalang, 19. Perahu Bercadik, 20. Wow...mewahnya!, 21. Bola Golf, 22. Kenikmatan Hidup, 23. Subuh itu, 24. Bismillah, 25. Setrika Ayam, 26. Uto Ruti, 27. Sang Penafsir, 28. Buah Borjuis, 29. Puasa Tigapuluh, 30. Pice, 31. Layar Tancap, 32. Maras Taun, 33. Padang Lutong, 34. Pasir Gelas, 35. Kemuring, 36. Pencabut Kekafiran, 37. Terundol Jepang, 38. EB IV Meranteh, 39. Nirok, 40. Secangkir Harap, Segalon Doa, 41. Pawai Tanglong, 42. Hening...Temukan Esensi Diri, 43. 34 Kilometer, 2 Jam 12 Menit, 44. Bah! Lanjutkan Perjuanganmu Nak!, 45. Pujangga Alam, 46. Biologi Kehidupan, 47. Kembali ke Manggar, 48. Bekal Dunia, 49. Pertarungan Diri, 50. Sriwijaya Raya, 51. Juli Delapan-delapan, 52. Syair Keranjang Pempang, Kamus Istilah, Profil Penulis.

Gambaran Umum Syair Keranjang Pempang

Syair Keranjang Pempang adalah novel pertama dari Dwilogi Syair Keranjang Pempang. Novel pertama ini merupakan novel kehidupan yang berlatarbelakang banyak kearifan lokal di negeri Belitong, sedangkan novel kedua yang berjudul Syair Negeri Bumi mengangkat berbagai kearifan lokal yang diangkat Penulis selama di perantauan.

Diambilnya judul tersebut mengingat keranjang pempang yang berarti keranjang bercabang yang ditempatkan di jok belakang sepeda atau sepeda motor, peruntukannya tidak hanya sebagai wadah tempat mengangkut dan menyimpan barang, namun juga sebagai tempat mencari nafkah; sandaran kehidupan bagi banyak orang Belitong di kampung.

Mengingat hal itulah, maka di bagian akhir buku ini dituliskan oleh Penulis sebuah Syair Keranjang Pempang yang kurang lebih berisi penjabaran keranjang pempang adalah kehidupan, keringat, keheningan, goresan, kesendirian, nyanyian, kesedihan, teriakan, perenungan, kegembiraan, makna diri, syair diri, dan harapan. Ketigabelas bait syair ini dimaksudkan sebagai cerminan dan gambaran umum dari makna Keranjang Pempang.

Di dalam ceritanya, Penulis juga menyelipkan beberapa syair dan pantun pada beberapa bagian cerita yang penting, namun salah satu kekuatan cerita ini adalah pada repetisi kalimat yang menguatkan, menggugah rasa, dan membangkitkan semangat, serta perenungan diri yang mendalam. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa profesi Penulis sebagai seorang Trainer sangat mempengaruhi alur cerita yang dituliskan.

Makna-makna dari setiap proses kehidupan menjadi kekuatan lain yang juga ingin ditonjolkan. Harapannya, novel ini pada akhirnya dapat menambah dan memperkaya khazanah sastra di Indonesia, dan dapat menjadi salah satu inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk terus bangkit menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Sekilas tentang Penulis Syair Keranjang Pempang

Ase El-Kalami adalah nama sastra dari Aswin Elfazuri. Saat ini berprofesi sebagai Trainer di salah satu perusahaan farmasi nasional terkemuka di Indonesia, setelah sebelumnya pernah menjadi guru di beberapa sekolah dan bimbingan belajar. Kecintaannya pada tanah kelahirannya Belitong telah mendorongnya untuk menciptakan novel ini.

“Syair Keranjang Pempang” adalah buku pertama dari “Dwilogi Syair Keranjang Pempang” yang bertutur tentang beberapa kearifan lokal yang ditemuinya selama hidup di Belitong beberapa belas tahun. Sedangkan buku kedua yang berjudul “Syair Negeri Bumi” akan bertutur tentang banyak kearifan lokal selama puluhan tahun hidup di perantauan.

Cara bertutur yang santai, keseharian, dan keindahan bahasa yang disertai repetisi akan menggugah semangat para pembaca untuk memaknai banyak kearifan lokal yang banyak tersebar di sekeliling kita.

Untuk tahap awal, buku ini mulai awal Mei 2012 akan diterbitkan dan dapat dipesan melalui self publishing online di www.nulisbuku.com.

Untuk memenuhi permintaan dari beberapa sobat dan kerabat, maka secara rutin akan dipostingkan di blog ini beberapa potongan cerita dari buku "Syair Keranjang Pempang" agar dapat diketahui dan difahami gambaran singkat dari buku tersebut.

Akhirnya, selamat berburu buku di www.nulisbuku.com. Terima kasih tak terhingga atas respons positif dari setiap Pembaca dan Pembeli buku "Syair Keranjang Pempang". Sukses untuk kita semua, semoga!