Kawan,
Sangat lama kita tak bertemu, nyaris setahun sejak pertemuan kita saat acara penguburan orang tuamu itu, di bulan Juni tahun lalu. Banyak rasanya yang ingin kutanyakan, namun harus kutunda karena perasaanku mengatakan bahwa dirimu sedang asyik menarikan qwerty di layar 10" yang paling kau sukai itu. Aku yakin itu, sejak kau katakan bahwa duka kehilangan Bapakmu telah mampu kau lewati dengan penuh kebaikan dan penuh ketabahan.
Aku masih ingat, nyaris 110 hari tak ada secuilpun kata yang mampu kau tuliskan untuk merangkaikan "Syair Keranjang Pempang" menjadi prasasti hidupmu. Sangat sedih aku kala itu. Tak kubayangkan, berapa banyak kearifan lokal di kampong yang akhirnya akan menguap bila tidak dituturkan.
Aku sesungguhnya ingin bertutur sepertimu, namun jelas aku tak kan mampu. Sejak kecil kita sudah berbeda, apa yang kita tangkap dari banyak peristiwa di sekitar kita akan selalu berbeda, meski situasinya sama!
Lagipula, hanya menelepon, sms, dan menulis secarik kertas inilah yang mampu kulakukan untuk melegakan hati. Mesin tik, hanyalah mimpi saat diriku masih bujang dulu. Mengetik sepuluh jari, apalagi! Beda dengan dirimu yang sejak SMA telah bersusah payah ikut kursus mengetik di kampong Padang Manggar, sekedar untuk mewujudkan keinginanmu untuk menjadi Juru Tulis di Kantor Kelurahan. Profesi yang pernah ditekuni almarhum Bapakmu dulu sebelum ia memutuskan menjadi karyawan Timah.
Komputer dan laptop, jelas bukan keseharianku. Tentu saja tak kumiliki, apalagi mampu mengoperasikannya. Tak kukenal apa itu windows, android, google, ataupun banyak istilah yang pernah kau ceritakan beberapa bulan yang lalu.
Aku hanya tahu martil, besi, kawat las, solar, dan beberapa bahan yang selalu menjadi keseharianku sebagai tukang las. Miris bagi banyak orang, namun sangat membahagiakan bagiku karena aku telah berhasil meneruskan keahlian almarhum Bapakku yang jago mengelas.
Aku jadi ingat, meski kita sering berjalan bersama, ternyata kita memang sudah berbeda dari awal. Hanya satu kesamaan kita : Ingin meneruskan keahlian Bapak kita masing-masing.
Aku sekarang bangga, sudah mampu jadi tukang las meski sebelah bola mataku sekarang mulai mengabur. Kuanggap itu karena Tuhan sudah mencabut satu demi satu milikNya yang dititipkan padaku.
Memang aku belum sehebat almarhum Bapakku yang mampu membuat dan memodifikasi body mobil hingga sebuah pick up berubah menjadi "mobil mewah". Namun aku tetap bangga karena pelan tapi pasti, ketrampilan yang kumiliki ternyata mampu memberikan manfaat bagi banyak orang.
Aku yakin, dirimupun juga sebangga diriku saat akhir tahun lalu kudengar bahwa bukumu yang telah kau tuliskan jatuh bangun dalam emosi diri selama beberapa tahun ini, telah mampu kau selesaikan.
Semoga sukses kawan, kearifan lokal itu memang banyak tersebar dan terhampar disini, di bumi Belitong.
Sahabat kecilmu,
JHR
Sangat lama kita tak bertemu, nyaris setahun sejak pertemuan kita saat acara penguburan orang tuamu itu, di bulan Juni tahun lalu. Banyak rasanya yang ingin kutanyakan, namun harus kutunda karena perasaanku mengatakan bahwa dirimu sedang asyik menarikan qwerty di layar 10" yang paling kau sukai itu. Aku yakin itu, sejak kau katakan bahwa duka kehilangan Bapakmu telah mampu kau lewati dengan penuh kebaikan dan penuh ketabahan.
Aku masih ingat, nyaris 110 hari tak ada secuilpun kata yang mampu kau tuliskan untuk merangkaikan "Syair Keranjang Pempang" menjadi prasasti hidupmu. Sangat sedih aku kala itu. Tak kubayangkan, berapa banyak kearifan lokal di kampong yang akhirnya akan menguap bila tidak dituturkan.
Aku sesungguhnya ingin bertutur sepertimu, namun jelas aku tak kan mampu. Sejak kecil kita sudah berbeda, apa yang kita tangkap dari banyak peristiwa di sekitar kita akan selalu berbeda, meski situasinya sama!
Lagipula, hanya menelepon, sms, dan menulis secarik kertas inilah yang mampu kulakukan untuk melegakan hati. Mesin tik, hanyalah mimpi saat diriku masih bujang dulu. Mengetik sepuluh jari, apalagi! Beda dengan dirimu yang sejak SMA telah bersusah payah ikut kursus mengetik di kampong Padang Manggar, sekedar untuk mewujudkan keinginanmu untuk menjadi Juru Tulis di Kantor Kelurahan. Profesi yang pernah ditekuni almarhum Bapakmu dulu sebelum ia memutuskan menjadi karyawan Timah.
Komputer dan laptop, jelas bukan keseharianku. Tentu saja tak kumiliki, apalagi mampu mengoperasikannya. Tak kukenal apa itu windows, android, google, ataupun banyak istilah yang pernah kau ceritakan beberapa bulan yang lalu.
Aku hanya tahu martil, besi, kawat las, solar, dan beberapa bahan yang selalu menjadi keseharianku sebagai tukang las. Miris bagi banyak orang, namun sangat membahagiakan bagiku karena aku telah berhasil meneruskan keahlian almarhum Bapakku yang jago mengelas.
Aku jadi ingat, meski kita sering berjalan bersama, ternyata kita memang sudah berbeda dari awal. Hanya satu kesamaan kita : Ingin meneruskan keahlian Bapak kita masing-masing.
Aku sekarang bangga, sudah mampu jadi tukang las meski sebelah bola mataku sekarang mulai mengabur. Kuanggap itu karena Tuhan sudah mencabut satu demi satu milikNya yang dititipkan padaku.
Memang aku belum sehebat almarhum Bapakku yang mampu membuat dan memodifikasi body mobil hingga sebuah pick up berubah menjadi "mobil mewah". Namun aku tetap bangga karena pelan tapi pasti, ketrampilan yang kumiliki ternyata mampu memberikan manfaat bagi banyak orang.
Aku yakin, dirimupun juga sebangga diriku saat akhir tahun lalu kudengar bahwa bukumu yang telah kau tuliskan jatuh bangun dalam emosi diri selama beberapa tahun ini, telah mampu kau selesaikan.
Semoga sukses kawan, kearifan lokal itu memang banyak tersebar dan terhampar disini, di bumi Belitong.
Sahabat kecilmu,
JHR