Tak pernah kuingat siapa nama sang kernet ini, tapi yang kuingat ia adalah lelaki kecil bermata sipit, berkulit putih, dan dari ras Tionghoa. Hidupnya selalu ceria, meski kartu penduduk Indonesia iapun kurasa tak punya meski lahir di kampong penuh kebun sayur. Tak pernah ia mau dikatakan bukan orang Indonesia, meski ia berdarah Tionghoa. Cina kebun, begitulah orang-orang pribumi sering menyebutnya.
Satu persatu penumpang memenuhi mobil ini. Hampir seluruh jalan-jalan Gantong dilewatinya. Penuh sesak muatan dipenuhi, barang dan orangpun disusun seperti benda mati.
"Susun kayu bakar, sungguh tidak bernurani," pikirku.
Ini memang ironi anak negeri, meski sudah empat puluh tiga tahun negeri merdeka, kenyamanan dan kenikmatan hanyalah milik segelintir orang. Berhimpitan seperti kayu bakar sudah biasa, bersusun sirih sudah biasa, berampit ketong• makin biasa, keringat dan bau tentu makin menyedapkan rasa
"Hidup ini indah, seindah-indahnya kehidupan," inilah pikirku kala melihat seorang lelaki berbaju kaos hitam, bertopi coklat, dan berjaket kumal penuh daki. Matanya yang tertutup rapat, gigi rungak-nya• yang menonjol berhias karat asap rokok, dan suara dengkurnya makin melengking. Tak sedikitpun dihiraukannya himpitan seorang ibu muda yang tengah hamil di sebelahnya, tak tergubris sedikitpun tidurnya oleh tangis anak kecil yang kedinginan tertiup angin dari jendela yang telah ia buka tadi
waaww...baru mace sdikit kilasan e..aku merase akan ade banyak makna dan pelajaran yang akan dapat diambik dan deserap,minimal buat aku pribadi ini adalah semacam kilas balik cerite kehidupan dirik sendirik hhh...hidup ini memang indah kalau dipandang dari hati yang selalu penuh rasa syukur....sekali lagi..kuucapkan...selamat yee....
BalasHapus@Fitri : Pelan namun pasti, cuplikan cerita ini harus kusampaikan. Meski hanya potongan cerita, namun diharapkan dapatlah sebagai pengobat rasa penasaran bagi kerabat dan sahabat yang belum memiliki buku aslinya, semoga. Tks
Hapus