Kamis, 30 April 2015

Orang-orang Luar Biasa

Kumandang azan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Suara kokok ayampun mulai bersahutan, sementara selimutpun makin tertutup rapat menutupi tubuh-tubuh kedinginan dan mengabaikan panggilan Illahi. Namun jauh sebelum semua itu terjadi,  seorang ibu sudah demikian sibuknya mempersiapkan kue-kue untuk dijual keliling kampung esok pagi,  juga untuk bekal anaknya ke sekolah setiap hari.

Ibu, wanita luar biasa dalam kehidupan, karomah tiada tergantikan. Ia selalu bangun lebih awal, mengisi hari lebih banyak, menjalani mimpi hingga tak lagi fantasi, dan menandai giliran hari lebih lama. Lebih dulu bangun, namun paling terakhir meluruskan badan. 

Sejak setahun yang lalu, beberapa bujang Belitong kian serius menapak hari. Puluhan kilometer mereka beradu,  mencipta nasib sejak subuh menjelang.  Bukan hanya mereka, tujuhbelas lelaki perkasa bergayut asa, bukan pula sejak setahun lalu. Tiga tahun sebelumnya,  sejak Sekolah Menengah Atas itu didirikan, yang konon kabarnya dulunya adalah pekuburan Tionghoa di sebagian lahannya, sudah ada belasan lelaki yang sama mengayuh sepeda berpuluh kilometer. Berangkat selepas subuh,  dan tiba kembali di rumah selepas ashar. Tak ada yang luar biasa, karena apresiasi kehidupan bukanlah gelaran kecabaran dijemput masa, namun jelas tebaran rasa mencipta makna.

Ribuan obsesi cerita dan rasa telah dipergelarkan, ribuan makna telah diperdebatkan, dan ribuan mimpi kian nyata berwujud di sepanjang cita. Bahkan kadang cintapun bergelayut di hati yang berlabuh masa. Cinta di sepenggalan rasa, jelas adalah cinta bertuai mimpi di ujung masa. Kesamaan adalah ciri keindahan dalam perkataan, logika menebalkannya, dan mimpi memantapkannya.
"Kami mengayuh sepeda berpuluh kilometer bukan karena tak mau, namun indah berpaling di kemudian hari adalah kesakitan yang kami hindari," begitulah ujar salah seorang dari mereka.

Dua setengah jam berlalu, keringat menetes tiada berpandu, lunas beruas di pori-pori berpadu. Batas sekolah menunggu, gerbang putihnya bergores merah kibarkan nasionalisme.
"Kalian terlambat lagi, kumaklumi karena kalian bangun lebih awal dari mereka. Selalu jadilah lelaki Belitong yang luar biasa, tanah ini menunggu karya baktimu di sepanjang hari. Memang bukan hari ini,  namun di ribuan hari mendatang. Aku bangga ada di Belitong,  meski bukan lahir di tanah ini, namun akhir hidupmu mungkin direncanakan Tuhan di tempat ini," ujar lelaki Batak itu, salah satu lelaki terhebat yang pernah kukenal, lelaki yang mendidik kehalusan tata bahasa, juga yang menebalkan keyakinan diri. Tak jarang pada berbagai kesempatan beliau bercerita tentang banyak tokoh hebat yang semasa kecil dan remaja belum bernasib baik karena lahir dari keluarga yang banyak keterbatasan. Keterbatasan yang bagi sebagian orang merupakan hambatan, namun sebaliknya bagi mereka yang lain justru bermakna kesempatan. 

Tiba di kelas, sahabat sebangku tersenyum dan berujar,"Mantap kawan, kita berawal sama, menjalani bersama, dan mungkin akan berakhir sama. Kancah kehidupan adalah ladang perbuatan dan bakti kita. Tak berayah bukan berarti diriku tak mengayomi, tak berayah bukan berarti diriku tak memahami, dan tak berayah bukan berarti diriku tak menyadari. Esok sejarah akan kita catat,  tanah mimpi itu ada di sini, bumi Belitong yang kita cintai". 

Kutoleh sebentar, dan kuyakini bahwa suatu saat iapun akan menjadi lelaki luar biasa di perjalanan hari. Ketertarikan pada politik praktis jelas akan menghantarkannya menjejak hari, dan ilmu pertanian akan memperkaya penghidupannya. Multi dimensi rasa, juga multi talenta kata kian bermakna. Tidak hanya ia, juga beberapa dari mereka di kelas ini, bahkan sang trouble maker sekalipun akan menjejak kebengalan dirinya untuk berpadu dalam banyak sinergi kehidupan mencipta makna. Maju dan menceburkan diri, Inilah salah satu cara yang kusendiri tak mampu memahami hingga menjadi politisi kumaknai dari mereka yang telah menyelami.

--bagian 1 (bersambung)----




Selasa, 28 April 2015

Aku Kecewa

     "Aku kecewa, jadi aku mau keluar saja dari situasi ini. Sudah habis kesabaranku, tak ada yang dapat kuandalkan lagi disini", begitulah ucapan seorang sahabat selepas mengikuti sebuah sesi training bertema Achievement Motivation Training.  
  Aku tersenyum lalu berkata,"Maaf kawan, sudah kau pertimbangkan matang keputusanmu? Sangat tak mudah memutuskan,  apalagi untuk kita yang sudah cukup lama bergelut di situasi yang sama sejak beberapa tahun yang lalu".
   "Sudah....sudah kuputuskan,  sekarang aku tak mau lagi kecewa dua kali. Cukup sekali ini saja, sakitnya tuh disini," ucapnya.
      "Ya sudah, kalau memang sudah diputuskan,  sebagai teman tentu saja tak ada yang dapat kulakukan selain terus menyemangati dirimu. Aku tak bisa menahanmu lebih lama lagi disini".
      "Loh, koq hanya begitu? Apa ditahan dulu diriku. Bukankah prestasiku selama ini bagus, baru tahun ini saja yang terpuruk.  Itupun karena faktor eksternal yang demikian berat, bukan karena faktor internalku," ujarnya dengan nada meninggi, protes!

***

Kecewa, situasi dimana hati dan pikiran mengalami gangguan atau distorsi, dampaknya jelas akan melemahkan keinginan-keinginan positif yang ada dalam diri. Perasaan yang bila terus dipelihara untuk jangka waktu yang lama, tentunya akan memunculkan banyak keinginan negatif. Bukan hanya menggerutu, menyalahkan situasi, juga menyalahkan orang lain. Waktu yang terasa sia-sia, perjuangan yang kandas, bahkan hingga persahabatan yang terancam remuk di perjalanan. 

Pertanyaannya : mengapa kita kecewa?
Sederhana jawabannya : karena tidak tercapainya harapan yang kita inginkan. Kenyataan bicara lain, harapan akhirnya tetap tergantung di awang-awang mimpi. Ia tetaplah mimpi, ekspektasi yang tidak berwujud di sepenggalan harap diri.

Benarkah sesederhana itu? 
Tentu saja tidak, karena bila sesederhana itu maka solusinya hanya ada 2 hal : turunkan ekspektasi, atau terima kenyataan. 
Namun proses di dalamnyalah yang penting, karena akibat kecewa sering menimbulkan banyak gejolak diri : iri pada sukses orang lain,  tidak bisa menerima sukses orang lain, tidak siap menerima perubahan,  dan sering menilai diri sendiri lebih tinggi, lebih baik, dan lebih mulia dari orang lain.
Pada akhirnya,  sikap inilah yang akan merugikan diri sendiri, juga orang lain. 

Bila kecewa, kita tak bahagia.
Bila kecewa, kita tak mampu berpikir jernih.
Bila kecewa, batin kita merasa tertekan.
Bila kecewa, hati kita merasa tersiksa.
Bila kecewa, harapan kita menjadi pupus. 
Bila kecewa, kesedihan kita kian menjelma.

Sebatas itukah?
Jelas tidak, karena kekecewaan akan berpengaruh pada lingkungan sekitar kita. 
Bila kecewa, akan makin banyak orang yang dirugikan. 
Bila kecewa, komunikasi menjadi rusak. 
Bila kecewa, kerjasama makin sulit dilakukan.
Bila kecewa, organisasi menjadi rugi.
Bila kecewa, meruntuhkan dan menghancurkan semangat kerja.
Bila kecewa, kita akan menjadi provokator, juga trouble maker.

Lantas harus bagaimana mengelolanya? 
Sederhanakan saja : hindari, dan bila muncul maka kelola dengan meredammya.
Jangan ingkari kekecewaan,  karena rasa kecewa itu manusiawi, tanda masih menyatunya raga, pikiran, dan jiwa.

Syukuri saja.....
Karena kecewa.....
Kita sadar atas banyak keterbatasan.
Kita harus menjadi lebih baik dari sebelumya
Kita memimpikan hal yang nyata dan realistis. 
Kita mensyukuri kehidupan.
Kita menghargai kehidupan.
Kita berusaha memahami hikmah di baliknya. 
Kita berusaha memperkecil rasa iri dan serakah.
Kita memahami sifat dan karakter orang di sekeliling kita.
Kita meyakini Tuhan adalah sebaik-baik perencana.

Pada akhirnya....
"Lakukan bagianmu semampu yang kamu bisa, selanjutnya biarkan Tuhan yang melakukan bagian yang kamu tidak bisa".



Selasa, 14 April 2015

Aku Menjadi Saksi Atas Perjalanan Mereka

Satu : Subuh Januari Tujuh Puluh Enam....
Ringkuk rendam selimut embun, nyawa bertali terbitkan dengkur, kalong bersahut rebahkan rambutan di ujung ranting, dan denyut berderit kereta angin merebahkan aspal bernalar hitam.

Lelaki muda itu, berteriak nyaring lantunkan panggilan nurani makhluk beragama, muda usianya namun tak usikkan dewasa nalar yang telah dipunya. sesubuh ini, telah langkahkan kaki ke perempatan tua di kaki Kompleks Timah bermozaik nyanyian Kompeni. Belah gelap bersemangat tegap, ratakan wajah sederet tampahan bumi, dan tatapkan tengadah wujudkan mimpi bernurani negeri.

Lelaki muda itu, bertanda hitam di sudut bibirnya. Tampakkan wajah nyala berlogika, tuturkan rasa untuk jelajah negeri Melayu, hingga menarikan sakura di dalam mimpinya. Siapa kira di belakang hari, mimpi berwujud layakkan diri di hadapan hari. Bertutur makna di sepanjang negeri, bertasbih kata tegakkan hati, dan goreskan ketegasan hitam dan abu-abu. Ia kini kian berpunya, nalar berlogika karunia Ilahi, dan memandu jalan di banyak negeri.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya, di suatu subuh ia menuturkannya. Embun berselimut, daun basah dan tak bergoyang, karena angin daratan sudah beristirahat di ujung Pantai Keramat. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Dua : Terik Mentari Agustus Delapan Puluh Enam
Kata bertebar, nyanyi melebar, nalar menghambur, mimpi berkabur, dan rindu menghibur. 

Lelaki itu, tak pernah habisnya tebarkan mimpi di tujuh belas kilometer terik mentari. Derik rantai kereta angin kian tak berminyak berkrisis timah di sepuluh bulan penghujung bulan. Keringat berair, angin berkelok, dan debu menggeliat tak juga hamburkan ia dari mimpi siang berkarut malam. Entah, tak pernah kupikirkan makna tuaian kata yang terhambur dari mulutnya yang berkosa kata. Gelak ceria para lelaki muda lainnya, kian nampakkan para penari kehidupan yang tak pernah tahu rahasia cerita di penghujung usia. 

Lelaki itu, belasan tahun tak kudengar ceria. Sua hanyalah rentak jiwa pengembara yang tak pernah tahu akan kembali ke titik awal perjalanan diri. Destinasipun tak pernah terhamburkan, meski pada akhirnya terungkap dalam tebaran cerita berseri nyata. Ia, bukanlah pemimpi di akhir makna. Ia, bukanlah lelaki tak berencana. Iapun juga bukanlah lelaki tak hadap kuasa.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya. Di terik mentari Agustus kami menari bersama berderik rantai kereta sepanjang tujuh belas kilometer melumat aspal hitam berbalut debu syak wasangka. Ribuan tetes keringat berhampar hingga ke puncak Gunung Selumar. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Tiga : Dhuha Mei Delapan Puluh Delapan
Sekumpulan lelaki, bersarung mimpi, menyelimut mimpi, dan berjejer diri menghadap mentari. Mereka, menyodorkan tangan bertampah semangat, menepuk dada jauhkan sifat, dan usapkan kepala bertepung harap.

Mereka, lelaki Melayu harapkan manfaat. Berkumpul sifat untuk wujudkan manfaat, menari logika hancurkan mudharat, dan jalani tapak di sepanjang mentari menerik. Air sekaki, mata berair beratus hari, mulut mengering di penghujung hari, dan cacing bercerita kian menjadi. Hanya toga, selebihnya hanyalah harap sekembali ke negeri. Naikkan derajat, bukan untuk menjadi penghulu negeri, namun lebih karena harap tebarkan manfaat di seluruh negeri.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanan mereka. Di Dhuha Mei Delapan Puluh Delapan diriku ikut bersama menjadi saksi mereka. Darmapala menghantar, langit menebar, tadah berwujud, dan negeripun mengamini. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Empat : Sore Mei Dua Ribu Sepuluh
Lelaki itu, bertabur sifat Melayu Negeri, turuni tahta tebarkan cerita. Bijak bernegeri ia haturkan, cerita bari ia tuturkan, misteri wanita Tionghoa kian terkuakkan.

Cerita berpuluh minggu mencari, tautkan perjalanan wanita bari, lidah bertutur menguakkan rangkaian tanya perjalanan, hingga cadas dan pedas berkumpul di sebongkah makna bertumpuk narasi. Ia yang menuturkan, angin sepoi di penghujung sore, bukan promosi rasa, namun hanya bertautkan makna di sebilah misteri bagi mereka yang mau menembus makna. Gunung Petebu di semayamkan, ujaran sekampung telah kudengar sejak kelopak mata mulai dikobarkan.

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya. Di sore Mei Dua Ribu Sepuluh diriku ikut menikmati maknanya. Makna yang kian tegas hingga kujumpa di sepenggal tanah kehidupannya. Palembang menghantar, Pangkalpinang menebar, Tanjungpandan menegakkan, dan Pasundan kian menajamkan. Keranjang Pempang menuturkan, Tapak Jiwa menghaturkan, dan Sebilah Biduk Negeri menghiasi.


Lima : Sepuluh Hari April Dua Ribu Limabelas
Lelaki itu, nalarkan rasa bertuaikan kata di sebiduk puisi. Berbiduk nyali membelah buih di langit hari. Kuakkan nyali turunan pengembara di sepanjang laut Cina Selatan.

Puisi, rangkaian rencana hati dan harapan diri. Goreskan rasa berkilas kata, di sehadapan diri ia ungkapkan cerita yang tak berwujud nyata. Di sebilah rasa, rindu menjelma untuk rindukan mereka. Sauh diangkat untuk menjelajah laut, negeri berpantun menghadap nyata. Pasir mengalir, batu menegak, dan suar membenam. 

Aku menjadi saksi atas sepotong kata dan cerita di salah satu perjalanannya. Di sepuluh hari April Duaribu Limabelas diriku ikut menjalaninya. Makna rasa yang kian tegas, dan misteri cerita di seonggok tanah yang belum pernah kita jumpa. Lanun Bersaudara, turunan kelima, kita berhak menguakkan cerita. Keranjang Pempang akan menuturkannya, Tapak Jiwa akan menghaturkannya, dan Sebilah Biduk Negeri akan menghiasi.

Aku menjadi saksi atas sebagian perjalanan mereka. Bukan hanya satu, dua, tiga, ataupun empat. Bilangan kepala bukanlah bilangan makna, deret hitung jelas bukanlah deret ukur. Kata berlurus jadikan kalimat, bersebut jiwa dalam makna berlogika, hingga tautan kata bersampir nyawa di sepanjang rasa.

*****
sumber gambar : susiana-manisih.blogspot.com
"Tulisan kecil untuk beberapa orang Putra Terbaik Negeri Belitong yang kini menebarkan makna di sepanjang sisa usia, terima kasih karena telah memberiku kesempatan menjadi salah satu saksi dari perjalanan kehidupan mereka yang sangat luar biasa"

Kamis, 09 April 2015

Tekeliap dan Tekelede (Tertidur Sejenak dan Tersadar)

Tekeliap.....
Tertidur sejenak....
Cukup lama tak kusebutkan kata-kata ini. Kata-kata yang sesungguhnya sangat bermakna, dan sering menjadi semacam kegembiraan di kala lelah melanda. Lucu bagi sebagian orang yang membaca kata ini, utamanya bagi mereka yang tak berlatarbelakang Melayu Belitong. Kosa kata yang bagi sebagian orang terdengar aneh, namun sangat bermakna bila kita kaji lebih dalam.

Tekeliap...
Tertidur sejenak....
Laksana seorang manusia yang telah berjalan di muka bumi ini berhari-hari lamanya tanpa tidur yang nyata, mengejar dunia meski dengan rencana yang sematang kata, dan menasbihkan diri hingga ke puncak rasa. Puluhan jam mereka lewati, tetaplah tak kan berarti apa-apa bila tak sempat memejamkan mata walaupun hanya sekejap. Ribuan perjalanan jiwa berjiwa, kian bermakna kala rehat melanda, dan resah di jiwa tak kan dimaknai bila kita tidak memejamkan mata.

Tekeliap....
Tertidur sejenak....
Ibarat sebuah pelatihan hipnoterapi yang pernah kita saksikan atau ikuti, gelombang alfa dan tetha yang kita jalani, terbangun dari tidur yang singkat itulah yang kita tandai. Jalan-jalan kehidupan yang diungkapkan selama proses hipnoterapi, adalah penyadaran diri yang disengaja oleh kita saat menjalani. 

Tekeliap....
Tertidur sejenak....
Fenomena kehidupan kini tak lagi mudah dan murah bagi sebagian orang, makin memberatkan dan menyeret langkah kian terseok di penghujung harapan. Jelas sekali berbeda dengan mereka yang sempat dan menyempatkan diri untuk tertidur sesaat, melepaskan lelah dan resah yang telah dirasa, karena tidur sesaat adalah wujud kedalaman rasa lelah untuk kemudian bangkit dalam kegembiraan dan pengharapan, indah rasa, juga indah di penghujung masa.

sumber gambar : nahnujundullah.blogspot.com

Tekeliap.....
Tidur sesaat....
Kita pasti menginginkannya, kita pasti membutuhkannya, karena itulah saatnya kini kita mengelola dan melakukannya dengan kesadaran. Kesadaran untuk bisa hadir dan terus hadir dalam kegembiraan, keoptimisan, dan semangat mantap mengolah diri.

***
Tekelede....
Tersadar dalam kesadaran sepenuhnya.
Antah berantah pertempuran demi pertempuran selalu kita jalani, dari mulai perang pena di banyak media sosial, hingga perang fisik dan perang tatap serta saraf di alam nyata. Pertarungan demi pertarungan yang tak kian henti, perjuangan demi perjuangan yang kian melepas logika bernyali, dan pengalihan demi pengalihan opini yang kian tak kita yakini.

Tekelede.....
Terbangun dan tersadar....
Puluhan, ratusan, hingga ribuan hari kita berjuang. Jutaan tetes keringat telah kita tumpahkan, dan milyaran kata telah kita hamburkan. Mungkin semua masih jauh dari makna, mungkin semua juga masih jauh dari rasa, atau malah semua tak pernah mendekat dari bijak berencana.

Tekelede.....
Terbangun dengan kesadaran....
Kini kita membutuhkan kesadaran sepenuhnya. Kesadaran sebagai pribadi, kesadaran sebagai makhluk berjiwa, dan kesadaran sebagai manusia pemberi makna. 
Lantas makna apakah yang akan kita tandai? juga garis bawahi? atau ditebalkan dan diberi warna berbeda?

***
Tekeliap dan Tekelede.....
Kita kini kembali membutuhkannya dengan penuh kesadaran.
Kita melakukannya demi kebahagiaan.
Kita menasbihkannya untuk kehidupan.
Tidak hanya pada diriku, juga dirimu, apalagi kita, termasuk bangsa ini.

Mereka yang tertidur sejenak dan terbangun dengan kesadaran
Merekalah yang memberi makna dalam kehidupan.