Selasa, 27 Januari 2015

Reuni

Melihat jejak sahabat di penghujung hari
Ada banyak rasa bergulir sempurna di ribuan hari
Tawa mereka adalah semangat menjejak hari
Ujaran mereka maknakan tebar jalani diri

Mereka yang berjalan,  merekalah yang berkeinginan
Mereka yang menapak, merekalah yang bersikap
Mereka yang berujar, merekalah yang menebar

Reuni...
Bukan sedikit atau banyak
Bukan tawa atau duka
Bukan rona tanpa cinta
Juga bukan rasa tanpa makna

Reuni adalah kenangan di sepanjang usia
Rasa di sepanjang masa
Dunia memori berbalur makna tiada berperi

Bukan hanya tapak
Bukan hanya sepak
Bukan hanya tangkap
Bukan hanya tangkap
Juga bukan hanya dekap

Kenangan memang indah
Meski jauh di ribuan hari
Semangat juga indah
Meski kadang berulir dan berukir di kedalaman hati




Rabu, 14 Januari 2015

Langkah Baru (2)

Satu persatu penumpang memenuhi mobil ini. Hampir seluruh jalan-jalan Gantong dilewatinya. Penuh sesak muatan dipenuhi, barang dan orangpun disusun layaknya benda mati.
"Susun kayu bakar, sungguh tidak bernurani," pikirku.
Ini memang ironi anak negeri, meski sudah empat puluh tiga tahun negeri merdeka, kenyamanan dan kenikmatan hanyalah milik segelintir orang. Berhimpitan seperti kayu bakar sudah biasa, bersusun sirih sudah biasa, bercampur bau dan keringat tentu makin menyedapkan rasa.
"Hidup ini indah, seindah-indahnya kehidupan," inilah pikirku kala melihat seorang lelaki berbaju kaos hitam, bertopi coklat, dan berjaket kumal penuh daki. Matanya yang tertutup rapat, gigi tonggosnya yang menonjol berhias karat asap rokok, dan suara dengkurnya makin melengking saja. Tak sedikipun dihiraukannya himpitan seorang ibu muda yang tengah hamil di sebelahnya, tak tergubris sedikitpun tidurnya oleh tangis seorang anak kecil  yang kedinginan tertiup angin dari jendela yang telah ia buka tadi.
"Sungguh tak bernurani!"
Entahlah siapa yang sesungguhnya tidak bernurani; Pemimpin negeri ini yang membiarkan banyak kampung terisolasi, hingga demi membeli sekilo dagingpun mereka harus berangkat ke Tanjongpandan. Ataukah Toke mobil yang menetapkan setoran angkutan desa melebihi kuota. Mungkin saja sang sopir yang menyusun penumpang seperti kayu bakar dan korek api demi sesuap nasi, atau penumpang yang bersedia berdesakan demi menikmati kegembiraan  di Tanjongpandan.
"Alamaaakkk.....sempitnya. Cukuplah oi, ndak muat lagi." ibu muda yang hamil tadi berteriak memprotes saat sang kernet kembali menaikkan penumpang persis seratus meter sebelum jembatan di kampung Lintang.
Seolah tak mendengar sama sekali, ataukah memang yang terbayang pada sang kernet hanyalah beberapa lembar uang senilai tigaribu lima ratus rupiah, ia tetap saja menaikkan penumpang.  Seorang nenek tua berambut putih melangkahkan kaki hendak masuk ke dalam mobil.
"Mane ade tempat agik jang, la peno...." kental sekali nenek berucap dalam logat Belitong asli.  Bahasa yang semakin langka. apalagi untuk Belitong perantauan yang merasa primordialisme-nya tak terusik lagi.
Enteng saja sang kernet berkata,"Masuk ke dalam saja nek, masih muat".
"Ndak muat agik jang!"
"Ada nek. Ayo geser sedikit, anaknya dipangku saja bu, nenek ini mau duduk," ujarnya pada wanita hamil tadi yang rupanya juga membawa anak kecil berbaju kaos coklat.
"Makin tidak bernurani." gelengku.
Ingin rasanya diri ini menggeser tempat duduk dan mempersilahkan sang nenek duduk di deretan bangku belakang. Ingin hati mengatakan bahwa masih ada nurani pada beberapa penumpang, namun apalah daya, jangankan untuk menggeser duduk barang duapuluh lima sentimeter, untuk bergerakpun sudah tak mungkin.
Entah tips apa yang diucapkan sang kernet, mungkin jampi ataupun sebuah paksaan, ibu muda tadi menggeser dan memangku anaknya persis di atas perutnya yang sedang hamil. Sementara lelaki tua di sebelahnya tetap asyik mendengkur tanpa menghiraukan gundah gulana, gelisah melanda, dan sempit yang kian menyiksa jiwa sang ibu muda.
"Ninek dekat sinilah cu, berhenti di Aik Ruak saja." ucap sang nenek pada si kecil di sebelahnya seolah ingin menenangkan ibunya yang tengah bersumpah serapah dalam hatinya.
"Sini, pangku dengan ninek saja." diulurkannya tangan si nenek pada si kecil tadi.
"Biarlah nek, dia tak mudah dekat dengan orang lain."
"Alhamdulillah, benar masih banyak orang yang bernurani." gumamku.
Semula pikiranku mulai mencari analogi yang tepat untuk keadaan penuh sesak dalam angkutan desa ini, sebuah mobil metromini yang sepenuhnya hanya muat tak lebih dari limabelas orang, bukan duapuluh dua orang.
"Ahaa.....susun ikan cempedik, ini benar-benar susun ikan cempedik, bukan susun kayu bakar. Paslah, ini kampung Lintang. Ikan cempedik selalu identik dengan kampung Lintang. Lintang penghasil ikan cempedik, Lintang tempat susun penumpang seperti ikan cempedik," geli terasa membayangkan analoginya.
Satu jam berlalu sudah. Selama itu pula tak kurasakan lagi desakan menghimpit di dada, tak kudengar lagi teriakan ataupun sumpah serapah dari para penumpang atau kernet yang silih berganti, karena selama sejam ini tak sedikitpun mata dapat berkompromi; lelap menghunjam hingga jauh ke pusat bumi, tidur pulas!
"Ayo, semua sudah sampai terminal. Semua penumpang turun, kalau mau ke pasar silahkan naik mobil 32, kalau mau ke Ari Raya naik 22," teriak sang kernet sambil tangannya sibuk menarik ongkos dari para penumpang.
sumber : belitongekspres.co.id
Terminal yang selama ini kubayangkan, sungguh berbeda dengan yang kulihat sekarang. Pulogadung yang kubayangkan, namun itu hanya dalam televisi. Terminal Tanjongpandan terhanya hanyalah sebuah area seluas tak lebih dari seratus meter dikali limapuluh meter, dengan beberapa bangunan permanen namun sederhana desainnya.  Satu hal yang menyamakannya, ada sederet mobil berjejer rapi mengelilingi sebuah shelter sepanjang tak lebih dari satu tiang telepon dengan beberapa bangku sederhana dari papan berkaki besi siku sebesar ibu jari kaki. Tak ada penjaja kacang yang berkeliling, kecuali penjual jagung Madura yang bersusun rapi di pinggir sebelah kiri jalan, persis duapuluh depa dari tempatku berdiri. Jauh di belakangnya, sebuah podok beratapkan daun sagu tak lebih besar dari duasetengah kali dua meter dengan jejeran kursi sederhan dari sekeping papan sepanjang dua meter berkaki kayu seru tertanam dalam tanah.
"Mungkin inilah penjual mie Belitong yang pernah diceritakan bang Faridz dulu", pikirku. 
"Nyenyak benar tidurmu, sampai suara dengkurmu keras sekali.  Banyak penumpang yang tersenyum melihatmu,"  tersenyum kulihat umak berkata seolah menyindirku.
"Tapi baguslah, jadi sempat istirahat. Mungkin nanti di kapal ferry kau tak bisa tidur".
"Ah kapal ferry, membayangkannyapun belum pernah, apalagi melihatnya. Bisa tidur atau tidak,  itu lihat nantilah".
"Ya lah nak, tenang saja. Sekarang bulan Mei. Gelombang tak tinggi, air laut tak bergolak, alun lautpun tak muncul. Ikan sedang banyak-banyaknya, jadi perjalananmu akan menyenangkan", ditepuknya bahuku seolah ingin mendamaikan kegundahanku.
"Ah mantap, semoga kulihat ikan lumba-lumba yang katanya senang mengiringi deru mesin ferry di selat Gaspar selepas pulau Selat Nasik", tersenyum kubayangkan indahnya perjalanan nanti sore, perjalanan menggapai harapan di tanah seberang, menuju Venesia dari Timur kata sebagian orang untuk merujuk kota Palembang nan jauh di hadapan.

----- bersambung ---

Senin, 12 Januari 2015

Bujang (2)


Ayo berangkat," ujarnya setelah ditemukannya sandai cokhai, sepasang sandal berbahan karet bekas ban mobil. Sandal yang hanya ditemuinya ada di Belitong, meskipun beberapa tahun yang lalu ia pernah ke Bangka, juga saat ke Singkep setahun kemudian.
"Kriut....kriut....kriut...," derik bunyi sepda itupun bernyanyi kala dikayuh. Entah ini nyanyian indah mengharap sang bayi, ataukah nyanyian cemas menggoda diri, karena inilah kelahiran kelima yang harus ia saksikan. Derik bunyi sepeda bukanlah pertanda nyanyian itu disengaja karena rantai sepeda lama tak diminyaki, bukan pula pertanda malas karena tak dirawat, namun nyanyian ini karena selama sebulan ini sepeda telah menunaikan tugasnya dengan penuh suka cita : mengumpulkan ratusan puntung demi puntung kayu bakar untuk persiapan kelahiran sang calon bayi. Bayi terakhir yang diharapkan menjadi wanita sempurna layaknya dewi Andini atau putri Drupadi, atau menjadi lelaki bercahaya layaknya Arjuna.
Tidak butuh waktu lama untuk tiba di rumahnya, cukup seribu lebih kayuhan sepeda, ribuan tetes keringat, dan ribuan tarikan nafas penuh harap.
"Oh...sudah mulai sakit ya," ucap Dukun Beranak itu sambil mulutnya komat kamit membacakan sesuatu. Entah doa atau jampian, tak seorangpun tahu. Diusapnya perut wanita itu dengan penuh hikmat.
"Insya Allah menjelang subuh," lanjutnya.
Tak seorangpun menanyakan ucapannya, apalagi membantahnya. Kek Syamsi dan Nek Juni-pun tak bertanya, apalagi lelaki itu. Tak ada yang berani, mereka hanya tertegun sambil membaca doa.
"Anak bujang lagi...........," ucapnya tigabelas menit menjelang pukul lima, persis saat teriakan pertama sang bayi dilanjutkan tabuhan bedug dari mesjid di kampung itu.
"Alhamdulillah....semoga bapak tak kecewa karena bujang lagi.........," ucap wanita itu saat dahinya diusap oleh dukun beranak.
"Tentu tidak....semua ini berkah dari Allah. Wajib kita syukuri dengan penuh suka cita. Amanah kehidupan tiada bandingan, pembawa kegembiraan bagi kita di dunia," ujar kek Syamsi saat mengusap sang bayi beberapa menit selepas diazankannya ke kedua telinganya.
"Siapa rencana namanya?"
"Muhammad Alfathir El-Farouz".
"Waawwww....panjangnya, tak ada ciri khas orang Belitong. Ada banyak nama khas orang Melayu Belitong, mengapa tak mencari nama lain?" 
Tersenyum lelaki itu mendengar ucapan kek Syamsi. Tergambar jelas dalam pikiran bahwa kek Syamsi menginginkan nama-nama khas Belitong seperti Baharuddin, Kaharuddin, Izzuddin, Saridin, Syamsuddin, Kamruddin, atau nama lainnya yang berbau penegak keislaman, lelaki dengan segala kehormatan agama yang melekat seumur jiwa. Atau nama khas Belitong lainnya seperti Kulek, Kucun, Kuca, Kutun, Kusum, Derahip, Deraman, Deraup, Mahasip, Mahasim, ataupun Taok. 
"Pak, nama yang baru kuberikan tadi juga bagus, tetap bermakna baik dan menjunjung islam. Tak perlu bapak kecewa," disalaminya kek Syamsu, juga kek Kalam, dua lelaki yang selama ini selalu menjadi pendampingnya, mertua dan orang tua yang menjadi pembimbing kehidupan, lelaki yang telah menjadi orang tuanya karena sejak belasan tahun ia sudah kehilangan bapak yang meninggal dunia saat usianya masih remaja.  
"Okelah, tetap nama yang baik, kami setuju".
"Muhammad Alfathih El-Farouz, sang pemenang yang melanglang buana mencipta kebijakan dan pembelajaran di muka bumi, lelaki kebanggaan penutup duka, lelaki kebanggaan penutup Bujang Berlima : lima lelaki tiara tara, para bujang pembawa cerita," senyum ia membayangkan ramainya cerita di kala kelima bujangnya menjelang dewasa.
 
sumber gambar : ingatini.blogspot.com
Lima lelaki, lahir dari satu pohon yang sama, namun dengan jiwa yang berbeda. Perbedaan yang bukannya untuk dipertentangkan, perbedaan yang tentunya bukan untuk dipersamakan, perbedaan yang tentunya bukan untuk dikontradiksikan. Namun perbedaan yang menjadi kebanggaan, banyak perbedaan akan menjadi semakin banyak pemikiran, banyak perbedaan semakin memperindah kehidupan, dan makin banyak perbedaan akan menjadikan makin bermaknanya persamaan dan kesamaan. Bukan Pandawa Lima, karena mereka bukanlah para lelaki yang akan bertarung melawan para Kurawa. Mereka hanyalah Bujang Berlima, lima lelaki yang akan selalu memberi makna pada banyak cerita dunia.

Kamis, 08 Januari 2015

Bujang (1)


Duapuluh duamenit ke pukul duabelas malam.........

Nek Acun, dukun beranak kelas wahid dijemput seorang lelaki kumuh berbaju drill warna krem. Gelapnya malam tak menjadi halangan baginya untuk menembusnya, nyanyian burung hantu di keheningan malampun juga tak menyusutkan keberaniannya mengayuh sepeda mister secepat deru angin malam dan riuh rendahnya bunyi derik rantai seolah menambah semangatnya melesat tajam, meski hanya ditemani lampu senter berbatu lima di tangannya. Tajam  cahaya senternya, lebih dari empat tiang telepon ditembusnya. Jangankan anjing yang siap berpesta pora menebarkan kotoran di jalan beraspal, trenggiling dan musangpun mampu dikenalinya dengan seksama bila bertebaran dan menyeberang di jalanan nan gelap gulita, petang tigapuluh. Ujaran yang menurut banyak orang tak berdasar, karena siklus bulan tak pernah hingga tigapuluh hari!
"Assalamualaikum...........," ujarnya saat tiba di depan sebuah rumah panggung berdinding papan bercat kapur. Dinaikinya empat anak tangga batu yang menjadi satu-satunya tangga baru yang melengkapi empat kaki batu di setiap sudut rumah itu.
"waaahh....belum dijawab juga salamku," gumamnya.
"Jangan-jangan nek pengguling sudah nyenyak tidur". 
Dikitarinya rumah itu dengan penuh kehati-hatian. Dua jendela di kanan kiri, tak satupun menampakkan diri akan dibuka. Jendela sampingpun juga demikian, apalagi pintu dan jendela belakang yang berbahan kulit kayu, tak sedikitpun menampakkan gerak sesosok wanita jelang renta itu. Hanya ada sebuahlampu pelita dari kaleng susu terlihat dari celah lobang diantara kulit kayu yang tak menutup sempurna. Selebihnya hanyalah sebuah obor yang dinyalakan tepat di dekat tangga depan rumah sebagai pertanda ada kehidupan di dalamnya, seorang nenek pengguling, dukun beranak penyambut kelahiran, siklus kehidupan ketiga dari sesosok makhluk bernama manusia.
sumber: matahatiminda.blogspot.com

Obor memang  sering dipasang di depan rumah para punggawa kampung, mulai dari Kepala Kampung, Dukun Kampung, hingga Dukun Beranak. Selain mereka itu, hampir tak ada yang memasangnya, kecuali mereka yang bermartabat karena berharta banyak, atau beberapa penduduk yang ingin dianggap hebat, meski kadang lebih banyak mimpi dari nyatanya. Merekalah orang-orang penting di kampung, yang senantiasa menerima dengan terbuka setiap warga yang berkepentingan, meski sudah sangat larut malam. Merekalah pemimpin-pemimpin yang melayani, bukan pemimpin-pemimpun yang minta dilayani.
"Assalamualaikum...........," kembali diberanikannya mengucapkan salam.
"Waa alaikum salam.......," seorang nenek membuka pintu.
"Sudah mau beranak binimu, sudah kudapat pertanda selepas sholat isya tadi," lanjutnya. 
Tak sedikitpun lelaki itu bertanya apa maksud tanda yang telah dilihat oleh dukun beranak tadi, karena ia sendiri sudah tahu bahwa setiap dukun beranak telah diberkahi keistimewaan melihat tanda kelahiran. Bukan hanya mereka, setiap pengurus jenazahpun juga sudah diberkahi keistimewaan  melihat tanda kematian. Berkah yang sering sudah turun temurun, entah karena memang sudah ditakdirkan, atau memang karena sengaja diajarkan.
Mereka yang menyambut kelahiran harus berbeda dengan yang menyambut kematian, karena hidup dan mati adalah dua proses perjalan hidup manusia yang saling melengkapi. Itulah sebabnya, dukun beranak tak pernah menjadi pengurus jenazah, meskipun mereka mampu melakukannya. Dukun Kampung tak pernah menjadi Dukun Air, meskipun banyak ajaran dan jampiannya mereka hafal dan mampu melakukannya.  Kepala Kampung juga tak pernah menjadi Kepala Desa, meskipun mereka memiliki ratusan loyalis yang siap bertarung jiwa. Inilah wujud sinkronisasi kehidupan Melayu Belitong, sinkronisasi kehidupan dalam harmoni keselarasan berkehidupan. Bila selaras, maka perjalanan akan semakin bermakna. Bila selaras, maka kehidupan makin berasa. Keselarasan yang pada akhirnya akan memberikan kenikmatan menjalani kehidupan dengan kebanggaan, rasa syukur, dan kebanggaan. Ucapan yang bagi sebagian orang hanyalah isapan dan bualan saja, namun begitulah keyakinan dan kepercayaan di beberapa daerah di Belitong.

--- bersambung ---