Kamis, 08 Januari 2015

Bujang (1)


Duapuluh duamenit ke pukul duabelas malam.........

Nek Acun, dukun beranak kelas wahid dijemput seorang lelaki kumuh berbaju drill warna krem. Gelapnya malam tak menjadi halangan baginya untuk menembusnya, nyanyian burung hantu di keheningan malampun juga tak menyusutkan keberaniannya mengayuh sepeda mister secepat deru angin malam dan riuh rendahnya bunyi derik rantai seolah menambah semangatnya melesat tajam, meski hanya ditemani lampu senter berbatu lima di tangannya. Tajam  cahaya senternya, lebih dari empat tiang telepon ditembusnya. Jangankan anjing yang siap berpesta pora menebarkan kotoran di jalan beraspal, trenggiling dan musangpun mampu dikenalinya dengan seksama bila bertebaran dan menyeberang di jalanan nan gelap gulita, petang tigapuluh. Ujaran yang menurut banyak orang tak berdasar, karena siklus bulan tak pernah hingga tigapuluh hari!
"Assalamualaikum...........," ujarnya saat tiba di depan sebuah rumah panggung berdinding papan bercat kapur. Dinaikinya empat anak tangga batu yang menjadi satu-satunya tangga baru yang melengkapi empat kaki batu di setiap sudut rumah itu.
"waaahh....belum dijawab juga salamku," gumamnya.
"Jangan-jangan nek pengguling sudah nyenyak tidur". 
Dikitarinya rumah itu dengan penuh kehati-hatian. Dua jendela di kanan kiri, tak satupun menampakkan diri akan dibuka. Jendela sampingpun juga demikian, apalagi pintu dan jendela belakang yang berbahan kulit kayu, tak sedikitpun menampakkan gerak sesosok wanita jelang renta itu. Hanya ada sebuahlampu pelita dari kaleng susu terlihat dari celah lobang diantara kulit kayu yang tak menutup sempurna. Selebihnya hanyalah sebuah obor yang dinyalakan tepat di dekat tangga depan rumah sebagai pertanda ada kehidupan di dalamnya, seorang nenek pengguling, dukun beranak penyambut kelahiran, siklus kehidupan ketiga dari sesosok makhluk bernama manusia.
sumber: matahatiminda.blogspot.com

Obor memang  sering dipasang di depan rumah para punggawa kampung, mulai dari Kepala Kampung, Dukun Kampung, hingga Dukun Beranak. Selain mereka itu, hampir tak ada yang memasangnya, kecuali mereka yang bermartabat karena berharta banyak, atau beberapa penduduk yang ingin dianggap hebat, meski kadang lebih banyak mimpi dari nyatanya. Merekalah orang-orang penting di kampung, yang senantiasa menerima dengan terbuka setiap warga yang berkepentingan, meski sudah sangat larut malam. Merekalah pemimpin-pemimpin yang melayani, bukan pemimpin-pemimpun yang minta dilayani.
"Assalamualaikum...........," kembali diberanikannya mengucapkan salam.
"Waa alaikum salam.......," seorang nenek membuka pintu.
"Sudah mau beranak binimu, sudah kudapat pertanda selepas sholat isya tadi," lanjutnya. 
Tak sedikitpun lelaki itu bertanya apa maksud tanda yang telah dilihat oleh dukun beranak tadi, karena ia sendiri sudah tahu bahwa setiap dukun beranak telah diberkahi keistimewaan melihat tanda kelahiran. Bukan hanya mereka, setiap pengurus jenazahpun juga sudah diberkahi keistimewaan  melihat tanda kematian. Berkah yang sering sudah turun temurun, entah karena memang sudah ditakdirkan, atau memang karena sengaja diajarkan.
Mereka yang menyambut kelahiran harus berbeda dengan yang menyambut kematian, karena hidup dan mati adalah dua proses perjalan hidup manusia yang saling melengkapi. Itulah sebabnya, dukun beranak tak pernah menjadi pengurus jenazah, meskipun mereka mampu melakukannya. Dukun Kampung tak pernah menjadi Dukun Air, meskipun banyak ajaran dan jampiannya mereka hafal dan mampu melakukannya.  Kepala Kampung juga tak pernah menjadi Kepala Desa, meskipun mereka memiliki ratusan loyalis yang siap bertarung jiwa. Inilah wujud sinkronisasi kehidupan Melayu Belitong, sinkronisasi kehidupan dalam harmoni keselarasan berkehidupan. Bila selaras, maka perjalanan akan semakin bermakna. Bila selaras, maka kehidupan makin berasa. Keselarasan yang pada akhirnya akan memberikan kenikmatan menjalani kehidupan dengan kebanggaan, rasa syukur, dan kebanggaan. Ucapan yang bagi sebagian orang hanyalah isapan dan bualan saja, namun begitulah keyakinan dan kepercayaan di beberapa daerah di Belitong.

--- bersambung ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar