Susuran hari-hari yang kita lewati sungguh bagai mimpi. Kesibukan seringkali membuat kita melupakan kilasan cercah perjalanan diri. Carut marut dunia, teriakan demi teriakan, lintang pukang diri, dan kejaran diri dalam menjemput rezeki tanpa disadari telah menyeret kita menjauh dari arus nalar dan semangat yang dulu kita goreskan dalam ketegaan idealisme. Meski kadang kata banyak orang hanyalah idealisme buta!
Namun kali ini tak ingin kubicarakan tentang kebutaan itu, bukan karena menganggapnya tak bermakna, namun lebih karena idealisme itu tak kan pernah luntur walau nalar kadang tak bersayap, apalagi lenyap bersama arus kehidupan tak beraturan. Kali ini hanya ingin kukatakan bahwa sore ini begitu menyentuh rasa, asa yang benar-benar lepas dari paksa.
Lebih dari duapuluh tahun lalu, jalanan ini sungguh sangat berarti. Dari Kampusku hingga daerah Kamboja, menyusuri sepanjang jalan Puncak Sekuning, sungguh lekat dalam ingatan.
Sore ini, apa yang kurasakan nyaris sama seperti saat itu, keharuan dan semangat diri nan bergejolak!
Keharuan karena waktu puluhan tahun tak mengubahku samasekali, tetap mudah tergugah meski tetap keras kepala. Semangat nan bergolak, hanya karena ingin usirkan kemiskinan dan lenyapkan kebodohan.
Konyol bagi banyak orang, tapak kaki itu terasa masih tergores jelas di jalanan beraspal yang nyaris lebih banyak tanah merahnya ketimbang aspalnya. Sepatu kets itu kini memang tinggal cerita, merknyapun tak pernah kulihat ada lagi di etalase toko sepatu. Mungkin hanya ada di pasar loak Cinde saat minggu pagi, bercampur dengan barang bekas lainnya. Namun, ia telah menjadi banyak saksi cerita atas debu, tanah, lumpur, dan jejak tak terhitung. Jelas bukan jejak tak berarti, namun pasti jejak penguat diri, tak kurang dan tak lebih!
Deru suara motor, derik rantai sepeda tukang tahu, sapaan tukang becak, dan teriakan oplet jurusan Puncak Sekuning - Pasar 16 ilir jelas nyata. Sama nyatanya dengan deru mobil Lanci dan mobil Teberong yang saat di kampungku Belitong dulu yang membawa pekerja Timah kelas rendah namun paling terhormat sepanjang jalan Gantong - Manggar dan Gantong-Teberong. Sesekali terdengar teriakan dari beberapa Bujang dan Dayang Belitong di mobil bang Yuyu, mobil Herman, atau mobil Kik Dul yang membawa para penjemput ilmu dari kaum terhormat. Merekalah anak para staf dan pegawai berkelas di Timah.
Hanya hening, meski sejenak......
Jejak langkah semangat itu kini benar-benar menemui wujudnya. Sama jelasnya dengan tapak ban sepeda jengki yang nyaris tiga tahun kususuri sepanjang jalan Gantong-Manggar.
Singkat dan sungguh dekat, asa itu benar-benar telah terwujud melebihi perkiraan manusia. Kecil dan sedikit bagi banyak orang, namun sangat berlimpah bagiku.
Jejak rasa di sore ini, sungguh penuh gejolak, penuh rasa, juga penuh asa!
Sore ini, apa yang kurasakan nyaris sama seperti saat itu, keharuan dan semangat diri nan bergejolak!
Keharuan karena waktu puluhan tahun tak mengubahku samasekali, tetap mudah tergugah meski tetap keras kepala. Semangat nan bergolak, hanya karena ingin usirkan kemiskinan dan lenyapkan kebodohan.
Konyol bagi banyak orang, tapak kaki itu terasa masih tergores jelas di jalanan beraspal yang nyaris lebih banyak tanah merahnya ketimbang aspalnya. Sepatu kets itu kini memang tinggal cerita, merknyapun tak pernah kulihat ada lagi di etalase toko sepatu. Mungkin hanya ada di pasar loak Cinde saat minggu pagi, bercampur dengan barang bekas lainnya. Namun, ia telah menjadi banyak saksi cerita atas debu, tanah, lumpur, dan jejak tak terhitung. Jelas bukan jejak tak berarti, namun pasti jejak penguat diri, tak kurang dan tak lebih!
Deru suara motor, derik rantai sepeda tukang tahu, sapaan tukang becak, dan teriakan oplet jurusan Puncak Sekuning - Pasar 16 ilir jelas nyata. Sama nyatanya dengan deru mobil Lanci dan mobil Teberong yang saat di kampungku Belitong dulu yang membawa pekerja Timah kelas rendah namun paling terhormat sepanjang jalan Gantong - Manggar dan Gantong-Teberong. Sesekali terdengar teriakan dari beberapa Bujang dan Dayang Belitong di mobil bang Yuyu, mobil Herman, atau mobil Kik Dul yang membawa para penjemput ilmu dari kaum terhormat. Merekalah anak para staf dan pegawai berkelas di Timah.
Hanya hening, meski sejenak......
Jejak langkah semangat itu kini benar-benar menemui wujudnya. Sama jelasnya dengan tapak ban sepeda jengki yang nyaris tiga tahun kususuri sepanjang jalan Gantong-Manggar.
Singkat dan sungguh dekat, asa itu benar-benar telah terwujud melebihi perkiraan manusia. Kecil dan sedikit bagi banyak orang, namun sangat berlimpah bagiku.
Jejak rasa di sore ini, sungguh penuh gejolak, penuh rasa, juga penuh asa!
Ehemmm....rasa syukur itu tak banyak yang tersadar, banyak tertutup aktifitas dan rutinitas yang mengatasnamakan kebutuhan hidup atau status hidup (Salam hormat Kando)
BalasHapusSalam hormat Dindo,
HapusKitapun terkadang tak menemukannya, kecuali dalam hening. Semakin hening, semakin mendalam, tak perlu khawatirkan akan tenggelam.