Sabtu, 25 Agustus 2012

Hening Diri


Banyak tuturan tercipta dalam keheningan
Banyak keindahan tercipta dalam keheningan
Banyak makna tercipta dalam keheningan
Karena keheningan adalah keindahan akan makna kehidupan yang terhampar

Penulis dengan goresannya, penyair dengan puisinya, dan penutur dengan ucapannya. Tiga hal ini menjadi makin indah bila digabungkan menjadi satu; puisi yang bertutur tentang goresan kehidupan. Kehidupan yang akan makin bermakna dalam banyak sisi perjalanan diri. Tak banyak, juga tak panjang, namun jelas akan bermakna dalam bagi beberapa orang yang berpikir dan memiliki nilai rasa yang dalam.

Beberapa hari terakhir selepas Idul Fitri di tahun ini, sebuah buku yang sangat menggugah cukup menghentak alam bawah sadarku. Satu rangkaian kalimat di dalamnya mengatakan begini :

Lihatlah orang-orang disana!
Sibuk, tapi tidak mendapat apa-apa
Beriman, tetapi tidak aman
Beribadah, tetapi tidak berubah
Mabuk doa, tetapi tangan hampa
Mendapat, tetapi tidak menemukan
Diberitahu, tetapi tidak mendengar
Berilmu, tetapi tidak mengerti
Melihat, tetapi tidak nampak
Berjalan, tetapi tidak sampai
Berharap, tetapi tidak tahu apa yang dikerjakan
Menghakimi, tetapi tidak memberi keadilan.
(sumber : Zikir Membangkitkan Kekuatan Bashirah, hal 14)

Terhenyak
Terkejut
Tertampar
Tersentak
Remuk
Hancur
Jatuh bertaburan memenuhi semesta alam

Begitulah yang kurasakan saat membaca rangkaian kalimat tersebut. Sungguh!
Lebih terhambur lagi diriku karena baru saja beberapa hari yang lalu mengaktifkan (lagi) chatting online yang sesungguhnya sudah kuputuskan sejak beberapa bulan lalu tak kan kujamah lagi. Namun dengan alasan silaturahmi selama Idul Fitri, akhirnya kuaktifkan meskipun saat itu sudah kubuat komitmen untuk tidak terbawa diri dalam riak rasa yang makin dalam.

Sayang, pikiran tetaplah kebebasan yang tak mampu kukekang. Rasa juga tetaplah keindahan yang harus kuperjuangkan. Apalagi hati, ia tetap akan menuntut diri untuk dituntaskan. Meski dalam proses dan cara yang kadang tak mampu kuperkirakan dan kuanalisa sedikitpun. Pikiran, rasa, dan hati itu akhirnya sempat menjadi liar hingga mulai mengganggu keheningan untuk memaknai kehidupan. Aku kalah, telak!

Malu? Jelas!
Bila masih ada rasa malu, maka itu berarti kehidupan kita di kemudian hari akan makin indah dan makin bermakna. Diri kita akan makin berharga, bukan oleh penghargaan orang lain, namun oleh diri kita sendiri!

Kembali ke kutipan dari buku tadi, satupun kalimat tersebut tak mampu kumaknai dalam beberapa hari terakhir ini. Keheningan yang mampu kuciptakan sepanjang Ramadhan, ternyata tak mampu kupertahankan persis sehari setelah Idul Fitri. Jelaslah, tak akan mampu kumaknai dengan cara yang benar karena bukankah dalam kutipan itu menyebutkan ”Sibuk, tapi tidak mendapat apa-apa”.

sumber : rinduku.wordpress.com
Perjuangan dan ibadah sebulan, sepertinya belumlah cukup bagiku untuk mampu menaklukkan diri. Persis seperti yang sering kukatakan selama ini ”Butuh energi yang sangat besar untuk menaklukkan diri sendiri”. Godaan demi godaan, baik itu berupa pikiran, tuturan, maupun hati selalu datang bergantian dalam kehidupan. Bisa oleh diri kita sendiri, namun sering dipicu dan dipacu oleh orang di sekeliling. Kenikmatan demi kenikmatan memang sungguh indah, sebulan diriku menahan banyak hal utamanya di waktu siang, alhasil di Idul Fitri semuanya kembali ke titik nol. Nafsu itu makin menggila, cinta dunia, cinta keindahan berwujud wanita, cinta tuturan, hingga posting banyak orang di banyak media sosial. Salahkah? Tak akan kujawab, karena cukuplah kalimat selanjutnya dalam buku itu menamparku : ”Beribadah, tetapi tidak berubah”.

Ulasan buku? Jelas ini bukan resensi, yang kututurkan hanyalah apa yang kurasakan malam ini. Tetesan rasa dalam gelisah yang kemudian bermetamorfosis menjadi tetesan airmata yang bersaksi atas banyak rasa segenap jiwa.

Hening, hanya heninglah yang kubutuhkan untuk melanjutkan kehidupan penuh makna ini. Tak kan mampu kucerna banyak hal di dunia ini bila diriku masih sibuk dengan banyak urusan kehidupan tanpa keheningan. Keheningan yang selalu bermakna sangat luar biasa, keheningan yang sangat berarti, hingga di dalam buku ”Syair Keranjang Pempang” keheningan ini kutulis menjadi satu judul cerita ”Heninglah, maka akan kau temukan esensi diri”.

Sedikit kukutip apa yang kutuliskan dalam buku itu di halaman 565 :

”Keheningan itu telah bersalut dalam ketidakteraturan emosi diri, selimut tipis itu kini tak cukup lagi menghangatkannya, bahkan tubuh kurus itu mulai tak kuat mehan dinginnya malam penuh bintang. Purnama itu tak mampu menuntaskan pikirannya, kunang-kunang yang menari riang di pucuk pisang itu baginya hanyalah kerlip keindahan yang tak mampu dinikmatinya samasekali, bahkan kepak kalong di pohon kapuk persis di sudut halaman itu yang mulai asyik berpesta pora menikmati bunganya yang mulai mekar, masih tetap tak mampu menggugah rasanya.
Ia yang selama ini menjadi penikmat alam, bersenandung penuh kegembiraan, menerjemahkan dengan filosofi kehidupan, nyaris malam ini tak kutemukan. Entah apa yang dipikirkannya, hanya  terawanglah yang kulihat membayang.
..................
..................
.................
Secarik kertas kulihat terhampar di atas meja panjang di pinggir pintu tengah rumah, sederet kalimat telah dituliskannya malam ini. Puisi itu menjawab keingintahuanku :

Suatu ketika Aku pernah bermimpi
Mimpi indah tentang kehidupan
Mimpi bahagia tentang persahabatan
Mimpi menyenangkan melihat senyuman

Banyak keinginan untuk menggoreskan kehidupan
Mencercah semangat mencipta harapan
Menggali kehidupan dalam kebersamaan
Memberi dan berbagi bersama
Mencerahkan dalam temaram kehidupan

Namun...
Kehidupan memang harus diperjuangkan
Kebersamaan tetap harus digairahkan
Keinginan membangkitkan diri tetaplah impian

Meski kegagalan sering kudapatkan
Meski kadang harus berhadapan dengan batu karang
Meski kadang harus bertemu dengan banyak teori kehidupan
Meski kadang harus menyingkirkan ego dan perasaan
Meski kadang sulit memaknai perbedaan

Hening....
Hanya inilah yang harus kulakukan
Hening dalam kehidupan
Hening dalam perasaan
Hening dalam kesendirian
ESENSI DIRI HANYA KUDAPATKAN DALAM HENING ! ”

----------
Keheningan memang kubutuhkan saat ini karena banyak hal yang harus kulakukan dalam kehidupan ini. ”Syair Keranjang Pempang” mampu kutuntaskan dalam hening, "Tapak Jiwa" juga kutuliskan dalam hening, dan kini ”Biduk Senja” juga nyaris kutuntaskan dalam hening.

Banyak buku yang kubaca juga mampu kumaknai dalam hening. Hening yang selama ini sering kita kondisikan di tengah malam buta, meskipun sesungguhnya bukan itu makna hening yang sesungguhnya kumaknai.

Bagiku :
Hening adalah tenangnya pikiran, rasa dan hati dalam memaknai kehidupan yang terhampar dan tersebar di muka bumi. Hening yang sesungguhnya berupa proses pengkondisian diri, tidak jangka pendek, namun jangka panjang. Hening yang akan membuat diri kita semua menjadi makin tajam dalam berpikir, merasakan, dan memaknai dengan hati yang benar. Banyak yang terhampar, kita hanya mampu memaknainya secara total dengan hening!

Pelan namun pasti, airmata itu kini menetes juga. 
Diriku memang butuh hening ini !

Rabu, 22 Agustus 2012

Saksi Ramadhan


Di Ramadhan ini Aku menjadi saksi
Atas tetesan airmata seorang Bapak untuk anaknya
Kasih sayangnya sepanjang hayat
Tak kan lekang meski wajah makin bergurat
Tetesan keringat penuh warna yang telah ia buat
Tak kan pernah ia sesali
Tetesan darah yang telah ia penuhi
Itulah wujud kasih sayangnya yang tiada tertuturkan
Tak kan lekang meski dunia terus menerjang
Hingga kehidupan akan dipenuhinya dengan kebahagiaan

Di Ramadhan ini Aku menjadi saksi
Atas airmata kehidupan seorang adik untuk sang abang
Tubuh yang dingin menjelang malam
Meski digoyang, iapun tetap tak meradang
Tetap hening
Tetap diam
Tetap tak bertutur
Hanya senyuman
Hanya tangan bersedikap
Ia telah bersholat menghadap Sang Maha Pemilik Nyawa
Sang Maut telah menjemputnya dengan penuh kebanggaan
Ia Pemuda soleh yang sangat dirindukan Tuhan
Tak kan pernah panjang usianya
Ialah kekasih tiada terhingga

Di Ramadhan ini Aku menjadi saksi
Atas airmata kebahagiaan bercampur duka tiada terhalang
Seorang sahabat telah menghadap Sang Maha Kuasa dengan penuh kebanggaan
Ashar itu begitu indah
Duduk bersimpuh ia dalam zikir yang dalam
Hingga tak didengarkannya lagi panggilan sang anak selepas mandi
Hingga tak dihiraukannya pelukan dan tangisan sang istri tercinta
Ia telah menghadap Sang Maha Pemilik Jiwa
Sore duapuluh tujuh Ramadhan
Puasa itu telah menghantarkannya
Puasa itu telah memenuhi doanya untuk selama-lamanya

Di Ramadhan ini Aku telah menjadi saksi
Atas orang tua yang bahagia melihat bijaknya sang alam memelihara keluarganya
Atas airmata tak terhingga mendengar banyak tuturan para bijaksana
Atas dada yang berbangga merasakan indahnya Ramadhan di penghujung usia
Ia terus berucap
Empat kali khatam sepanjang puasa
Cukuplah bukti kuatnya jiwa bersiap menghadap Sang Maha Pemilik Rasa

sumber : ygennet.or.id
Di Ramadhan ini Aku menjadi saksi
Atas banyak gejolak rasa seorang lelaki jelang lansia
Atas banyak tuturan bernurani
Atas banyak tetesan makna diri
Selembar sajadah sering menjadi penyejuk di tengah malam
Curahan hati sang lelaki hanyalah dimaknai Sang Maha Pemilik Hati
Gundah gulana itu memang belumlah tuntas
Resah gelisah itu memang belumlah tumpas
Hanya sedikit riak
Ia sangat menyadari
Inilah gejolak rasa lelaki jelang lansia

Di Ramadhan ini Aku menjadi saksi
Atas banyak pikiran
Atas banyak tuturan
Atas banyak hati
Atas banyak rasa
Bersalut dan bertaut
Berkulit dan mengeriput
Menetes dan mengalir

Tautan demi tautan itu akan terus melaju dan berpacu
Hanya pikiran, tuturan, hati dan rasa yang akan menjadi jangkar diri
Jangkar kehidupan agar kapal yang berlayar tak lupa untuk bersauh sejenak di tepi bumi

Minggu, 19 Agustus 2012

Ramadhan


Aku adalah kerinduan bagi insan yang mengamalkannya
Aku adalah kelimpahan bagi insan yang mengisinya
Aku adalah kehidupan bagi insan yang memaknainya
Dan Aku adalah jalan kenikmatan menuju keabadian di hadapan Sang Maha Pencipta

Tiga puluh hari diriku membuka diri
Tiga puluh hari diriku menghamparkan diri
Tiga puluh hari diriku menjaga perut dan mulutmu
Juga lidah, pikiran, apalagi hatimu

Bagi orang beriman, diriku adalah kekasih tiada bandingan
Bagi orang beriman, diriku adalah kehidupan penuh kenikmatan
Bagi orang beriman, diriku adalah alasan untuk menaklukkan sang nafsu perkasa
Dan bagi orang beriman, diriku adalah kemenangan di akhir cerita

Untuk menaklukkan airmata
Untuk menaklukkan syak wasangka
Untuk menaklukkan pikiran yang menggelora
Dan untuk menaklukkan liarnya hatimu yang sulit kau belenggu

Sayangnya....
Masih banyak darimu yang tak mengharapkan kehadiranku
Masih banyak darimu yang tak merindukan diriku
Masih banyak darimu yang berteriak riang saat diriku harus berpamitan
Demi sebuah kata kemenangan di akhir Ramadhan

Kemenangan yang sesungguhnya harus terus kau pertanyakan
Kemenangan yang sesungguhnya harus terus kau tulis beribu warna tinta
Kemenangan yang sesungguhnya masih harus kau perhitungkan
Karena kemenangan hakiki itu hanyalah dimiliki oleh mereka yang berjuang sepenuh hati

sumber : sidomi.com
Tetesan airmata itu kini sangat dekat
Tetesan airmata itu kini mulai tak terhindarkan
Tetesan airmata itu kini mulai tak terhapuskan
Ia akan terus mengalir mengiringi duka diri di jelang hari



Kemenangankah yang telah kau raih di akhir cerita?
Ataukah hanya lapar dan dahaga saja?
Jangan-jangan hanya kau kira dirimu telah menang

Karena hari-harimu sepanjang bulan tak pernah mampu menaklukkan diri
Karena hari-harimu sepanjang minggu hanya diisi taburan kata yang ambigu
Karena hari-harimu sepanjang badan hanya meratapi dunia yang tak mampu kau taklukkan?

Apapun isi perut, pikiran, juga hatimu
Aku tetap akan berlalu
Aku tetap akan pergi
Aku tetap akan melangkah mantap memenuhi takdirku

Takdir yang juga telah kau miliki saat dirimu sedang berhadapan dengan Sang Pemilik Nyawa
Takdir yang juga telah kau ijab kabulkan dengan Sang Maha Pencipta saat itu

Jauh sebelum dirimu hadir ke dunia ini
Jauh sebelum tangisanmu memenuhi ruang waktu dalam tangis rindu sang ibu
Jauh sebelum hawa nafsumu memenuhi seluruh sendi hidupmu hingga kau mulai mengabaikan perjanjianmu

Aku tetap akan pergi
Hanya ujung waktu yang akan menghentikanku
Langkahku tetap akan memenuhi waktu yang ada
Jauh lebih panjang dari waktu yang kau miliki
Jauh lebih bermakna dari waktu yang telah diberikan padamu

Karena aku adalah Ramadhan, ibu dari semua bulan
Tempatmu menunjukkan bakti pada Sang Maha Pencipta