Banyak tuturan tercipta dalam
keheningan
Banyak keindahan tercipta dalam
keheningan
Banyak makna tercipta dalam
keheningan
Karena keheningan adalah
keindahan akan makna kehidupan yang terhampar
Penulis dengan goresannya,
penyair dengan puisinya, dan penutur dengan ucapannya. Tiga hal ini menjadi
makin indah bila digabungkan menjadi satu; puisi yang bertutur tentang goresan
kehidupan. Kehidupan yang akan makin
bermakna dalam banyak sisi perjalanan diri. Tak banyak, juga tak panjang, namun
jelas akan bermakna dalam bagi beberapa orang yang berpikir dan memiliki nilai
rasa yang dalam.
Beberapa hari terakhir selepas Idul Fitri di tahun ini, sebuah buku yang
sangat menggugah cukup menghentak alam bawah sadarku. Satu rangkaian kalimat di
dalamnya mengatakan begini :
Lihatlah orang-orang disana!
Sibuk, tapi tidak mendapat apa-apa
Beriman, tetapi tidak aman
Beribadah, tetapi tidak berubah
Mabuk doa, tetapi tangan hampa
Mendapat, tetapi tidak menemukan
Diberitahu, tetapi tidak mendengar
Berilmu, tetapi tidak mengerti
Melihat, tetapi tidak nampak
Berjalan, tetapi tidak sampai
Berharap, tetapi tidak tahu apa yang dikerjakan
Menghakimi, tetapi tidak memberi keadilan.
(sumber : Zikir Membangkitkan Kekuatan Bashirah, hal 14)
Terhenyak
Terkejut
Tertampar
Tersentak
Remuk
Hancur
Jatuh bertaburan memenuhi semesta alam
Begitulah yang kurasakan saat membaca rangkaian kalimat tersebut. Sungguh!
Lebih terhambur lagi diriku karena baru saja beberapa hari yang lalu
mengaktifkan (lagi) chatting online yang sesungguhnya sudah kuputuskan sejak
beberapa bulan lalu tak kan kujamah lagi. Namun dengan alasan silaturahmi
selama Idul Fitri, akhirnya kuaktifkan meskipun saat itu sudah kubuat komitmen
untuk tidak terbawa diri dalam riak rasa yang makin dalam.
Sayang, pikiran tetaplah kebebasan yang tak mampu kukekang. Rasa juga
tetaplah keindahan yang harus kuperjuangkan. Apalagi hati, ia tetap akan
menuntut diri untuk dituntaskan. Meski dalam proses dan cara yang kadang tak
mampu kuperkirakan dan kuanalisa sedikitpun. Pikiran, rasa, dan hati itu
akhirnya sempat menjadi liar hingga mulai mengganggu keheningan untuk memaknai
kehidupan. Aku kalah, telak!
Malu? Jelas!
Bila masih ada rasa malu, maka itu berarti kehidupan kita di kemudian hari
akan makin indah dan makin bermakna. Diri kita akan makin berharga, bukan oleh penghargaan orang lain, namun
oleh diri kita sendiri!
Kembali ke kutipan dari buku tadi, satupun kalimat tersebut tak mampu
kumaknai dalam beberapa hari terakhir ini. Keheningan yang mampu kuciptakan
sepanjang Ramadhan, ternyata tak mampu kupertahankan persis sehari setelah Idul
Fitri. Jelaslah, tak akan mampu kumaknai dengan cara yang benar karena bukankah
dalam kutipan itu menyebutkan ”Sibuk, tapi tidak mendapat apa-apa”.
![]() |
sumber : rinduku.wordpress.com |
Perjuangan dan ibadah sebulan, sepertinya belumlah cukup bagiku untuk mampu
menaklukkan diri. Persis seperti yang sering kukatakan selama ini ”Butuh energi
yang sangat besar untuk menaklukkan diri sendiri”. Godaan demi godaan, baik itu
berupa pikiran, tuturan, maupun hati selalu datang bergantian dalam kehidupan.
Bisa oleh diri kita sendiri, namun sering dipicu dan dipacu oleh orang di
sekeliling. Kenikmatan demi kenikmatan memang sungguh indah, sebulan diriku
menahan banyak hal utamanya di waktu siang, alhasil di Idul Fitri semuanya
kembali ke titik nol. Nafsu itu makin menggila, cinta dunia, cinta keindahan
berwujud wanita, cinta tuturan, hingga posting banyak orang di banyak media
sosial. Salahkah? Tak akan kujawab, karena cukuplah kalimat selanjutnya dalam
buku itu menamparku : ”Beribadah, tetapi tidak berubah”.
Ulasan buku? Jelas ini bukan resensi, yang kututurkan hanyalah apa yang
kurasakan malam ini. Tetesan rasa dalam gelisah yang kemudian bermetamorfosis
menjadi tetesan airmata yang bersaksi atas banyak rasa segenap jiwa.
Hening, hanya heninglah yang kubutuhkan untuk melanjutkan kehidupan penuh
makna ini. Tak kan mampu kucerna banyak hal di dunia ini bila diriku masih
sibuk dengan banyak urusan kehidupan tanpa keheningan. Keheningan yang selalu
bermakna sangat luar biasa, keheningan yang sangat berarti, hingga di dalam
buku ”Syair Keranjang Pempang” keheningan ini kutulis menjadi satu judul cerita
”Heninglah, maka akan kau temukan esensi diri”.
Sedikit kukutip apa yang kutuliskan dalam buku itu di halaman 565 :
”Keheningan itu telah bersalut dalam ketidakteraturan emosi diri, selimut
tipis itu kini tak cukup lagi menghangatkannya, bahkan tubuh kurus itu mulai
tak kuat mehan dinginnya malam penuh bintang. Purnama itu tak mampu menuntaskan
pikirannya, kunang-kunang yang menari riang di pucuk pisang itu baginya
hanyalah kerlip keindahan yang tak mampu dinikmatinya samasekali, bahkan kepak
kalong di pohon kapuk persis di sudut halaman itu yang mulai asyik berpesta
pora menikmati bunganya yang mulai mekar, masih tetap tak mampu menggugah
rasanya.
Ia yang selama ini menjadi penikmat alam, bersenandung penuh kegembiraan,
menerjemahkan dengan filosofi kehidupan, nyaris malam ini tak kutemukan. Entah
apa yang dipikirkannya, hanya
terawanglah yang kulihat membayang.
..................
..................
.................
Secarik kertas kulihat terhampar di atas meja panjang di pinggir pintu
tengah rumah, sederet kalimat telah dituliskannya malam ini. Puisi itu menjawab
keingintahuanku :
Suatu ketika Aku pernah bermimpi
Mimpi indah tentang kehidupan
Mimpi bahagia tentang persahabatan
Mimpi menyenangkan melihat senyuman
Banyak keinginan untuk menggoreskan kehidupan
Mencercah semangat mencipta harapan
Menggali kehidupan dalam kebersamaan
Memberi dan berbagi bersama
Mencerahkan dalam temaram kehidupan
Namun...
Kehidupan memang harus diperjuangkan
Kebersamaan tetap harus digairahkan
Keinginan membangkitkan diri tetaplah impian
Meski kegagalan sering kudapatkan
Meski kadang harus berhadapan dengan batu karang
Meski kadang harus bertemu dengan banyak teori kehidupan
Meski kadang harus menyingkirkan ego dan perasaan
Meski kadang sulit memaknai perbedaan
Hening....
Hanya inilah yang harus kulakukan
Hening dalam kehidupan
Hening dalam perasaan
Hening dalam kesendirian
ESENSI DIRI HANYA KUDAPATKAN DALAM HENING ! ”
----------
Keheningan memang kubutuhkan saat ini karena banyak hal yang harus
kulakukan dalam kehidupan ini. ”Syair Keranjang Pempang” mampu kutuntaskan
dalam hening, "Tapak Jiwa" juga kutuliskan dalam hening, dan kini ”Biduk Senja”
juga nyaris kutuntaskan dalam hening.
Banyak buku yang kubaca juga mampu kumaknai dalam hening. Hening yang
selama ini sering kita kondisikan di tengah malam buta, meskipun sesungguhnya
bukan itu makna hening yang sesungguhnya kumaknai.
Bagiku :
Hening adalah tenangnya pikiran, rasa dan hati dalam memaknai
kehidupan yang terhampar dan tersebar di muka bumi. Hening yang sesungguhnya
berupa proses pengkondisian diri, tidak jangka pendek, namun jangka panjang. Hening
yang akan membuat diri kita semua menjadi makin tajam dalam berpikir, merasakan,
dan memaknai dengan hati yang benar. Banyak yang terhampar, kita hanya mampu
memaknainya secara total dengan hening!
Pelan namun pasti, airmata itu kini menetes juga.
Diriku memang butuh hening ini !