Pernak-pernik, tentu sesuai namanya dapat berisi apapun yang dipikirkan oleh sang Penulis. Bisa berupa tips, cukilan artikel, debat publik, persepsi pembaca, atau apapun juga yang semuanya masih mengacu kepada sebuah tulisan yang akan menambah wawasan, cara pandang, pemikiran, dan perasaan kita terhadap sesuatu.
Pada kesempatan ini ingin kuceritakan tentang sebuah pertemuan yang sangat berarti kemaren sore dengan seorang Penyair yang sangat luar biasa. Ia benar-benar Penyair yang sesungguhnya, luas pemahamannya, dalam analisanya, kuat perasaannya, tinggi kepeduliannya, dan sangat tak terbatas antusiasmenya. Kalimat ini sesungguhnya muncul dari dalam hati ini, tanpa rekayasa samasekali. Tidak ada sedikitpun tulisan ini dihubungkan dengan diberikannya 2 buku gratis olehnya lengkap dengan tandatangan, yaitu "Stanza Lara" karyanya sendiri dan novel "Angin" karya Toton Dai Permana.
Mengutip apa yang dituliskannya pada Kata Pengantar Penyair dalam buku "Stanza Lara" ia menuliskan :
"Sebenarnya selalu ada pertanyaan sejak dulu : Untuk apa kita menerbitkan buku puisi? Apa beda puisi yang kita bacakan pada acara-acara sastra, yang kita berikan untuk antologi bersama, atau yang kita bagikan melalui jejaring sosial? Bukankah puisi-puisi itu juga sudah disosialisasikan, disampaikan kepada publik pembacanya?"
Menerjemahkan apa yang ia sampaikan ini, diriku merasa bahwa sangat besar dampak dari jejaring sosial saat ini dalam perkembangan sastra. Sering kulihat, kubaca dan kusimak begitu banyaknya kata-kata indah yang dihadirkan oleh banyak sahabat di banyak jejaring sosial. Motivasinya beragam, namun benarlah kemudian pemahamanku bahwa puisi saat ini telah menjadi sebuah cara berkomunikasi yang sangat indah, dalam maknanya, dan mengundang banyak persepsi dan terkadang misteri di balik proses penulisannya.
Benarlah kiranya bila kemudian sang Penyair Stanza Lara ini menuliskan lebih lanjut di Kata Pengantarnya :
"Puisi adalah komunikasi purba yang statis, yang monologis, sehingga bila kita menulis sebuah puisi, lalu tak seorangpun yang memahami apa yang diinginkan dalam puisi tersebut, maka karya sastra itu gagal. Puisi itu cuma cocok untuk penulisnya sendiri, atau orang-orang yang dianggap mampu memahami makna yang ada dalam puisi tersebut".
Bila berbicara tentang motivasi seseorang menulis puisi, jelas akan sangat beragam. Beberapa mengatakan karena panggilan jiwa, ada yang mengatakan karena dengan puisilah ia mampu menikmati dunia, bahkan ada yang menciptakan puisi demi memikat sesama. Banyak juga yang beralasan melampiaskan suka dan cita akan dunia, mengingat sebuah momen berharga dalam hidupnya, atau juga karena melampiaskan emosi sesaat secara positif.
Cukupkah ini alasannya? Jelas tidak! Dari ujaran sahabatku sang Penyair ini ternyata ada seorang Penulis yang mengatakan bahwa "menulis ini kutukan buatku!". Kalimat yang awalnya kuterjemahkan sangat radikal, namun setelah kurunut ulang penulisan bukuku "Syair Keranjang Pempang" ternyata memang sering muncul kalimat seperti ini secara tidak kusadari. Tidak akan tuntas kutukan itu sebelum Syair Keranjang Pempang selesai kutuliskan. Bang Ian sang Penulis "Yin Galema" dan Nurhayat Arif Permana sang Penulis "Stanza Lara" ini sangat memahami proses penulisan bukuku tadi.
Seperti yang kemudian dituliskan oleh sang Penyair "Stanza Lara" pada lanjutan Kata Pengantarnya :

Sampai sekarang, aku masih sering mengenang Ibu. Perempuan perkasa yang memiliki keteguhan, ketabahan, dan keberanian luar biasa. Emak adalah superwoman. Sebenarnya aku ingin menulis puisi tentang ibu banyak-banyak, kalau perlu sampai 1000 halaman. Tapi kata-kataku kehilangan daya. Dia mandek sampai tujuh puisi. Inilah bakti kecilku untuk Ibu, sedikit puisi yang mungkin tidak laku bagi Tuhan. Tuhan tidak butuh puisi, dan mungkin Ibupun akan bertanya-tanya: Untuk apa anaknya menuliskan puisi.
Buku ini kalaulah layak--ingin kupersembahkan kepada Ibu dengan segenap jiwa raga. Selain Ibu, perempuan lain yang sepanjang detik ini mengisi hari-hari adalah kekasihku: Titik. Hari-hari kami menempuh sepuluh tahun lebih usia perkawinan adalah puisi panjang yang tak akan pernah selesai ditulis. Juga anak-anak kami yang manis adalah puisi indah sepanjang hidup. Puisiku mungkin tak akan mampu menjelaskan semuanya".
Dalam perasaanku saat membaca apa yang ia tuliskan ini, lirih.............
Tanpa terasa tetesan airmata ikut bergulir mengikuti tombol-tombol qwerty yang menari deras di tengah keheningan malam ini. Melihat Nurhayat Arif Permana, seperti melihat diriku juga dengan segala motivasi yang berlimpah saat mencipta "Syair Keranjang Pempang".
Tidak cukup sampai disini, makin lirih kubaca rangkaian kata pada puisi "Cerita Tentang Ibu 2" halaman 33 ia menuliskan :
Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Tak ada lagi yang perlu kau sesali dan sesaki
Semua memang harus terjadi, semua sudah harus terjadi
Kata ajaran yang kau yakini, kematian hanyalah awal keabadian
Jika jiwa sudah lepas dari raga, maka selesailah urusan dunia
Selanjutnya bagaimana caramu mendoakannya
Agar dia tetap tenang dan sabar sebagaimana saat dia menemanimu
Kau masih harus menyelesaikan urusan dunia yang padat dan tak menentu
Diantara waktu itu, kau mengenang ibu yang tak pernah keluh
Mesti sangat letih, bertahun tertatih-tatih memperjuangkan dirimu
Agar kau, kelak menjadi manusia bermartabat dan tak bertipu daya
Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Kau harus terus mendaraskan doa, dalam ramai dan sunyi
Tak ada lagi yang mesti kau perjuangkan, selain doa
Selama bertahun-tahun dan tertatih-tatih
Hening, kembali hening saat rangkaian kata itu kubaca dengan penuh makna. Makin deras bulir itu, Ia menjadi nyata. Sangat lirih kuucapkan ,"Sudah kutuliskan apa yang harus dituliskan Pak. Dirimu adalah motivasi terbesar kehidupanku untuk menuliskan dan menyelesaikan buku Syair Keranjang Pempang ini. El Kalami itu kini telah menemukan wujudnya. Semoga dirimu mendapat kemudahan dalam perjalananmu di alam barzakh dan akhirat kelak, amien......"
Membaca puisi bagiku adalah menikmati kejujuran penyajinya. Dan, selalu indah untuk diendapkan.
BalasHapusKejujuran menggoreskan kata dalam rangkaian tuturan yang bernyawa, sungguh indah menikmati dunia penuh ekspresi. tks pak atas kunjungannya
Hapusada pepatah mengatakan, dari nobody menjadi somebody, atau from zero to hero, atau dari tiada kemudian menjadi ada dan kembali menjadi tiada. Nilai-nilai filosofis yang menyertai perikehidupan kita sehari-hari secara sadar ataupun tidak merupakan skenario kecil menjadi 'human being' menjadi manusia: rahmatan lil 'alamin.
BalasHapusjika hari ini kau bermanfaat untuk SELURUH makhluk bumi, mengapa harus menunggu esok?
Aswin, pada dasarnya, meski sendiri, kita adalah berdua. sebaliknya meski berdua, kadangkala kita merasa sendiri. aku kutip puisi abangku Toton Da'i Permana:
dalam kegelapan, sesungguhnya ada sinar
dalam kesendirian, sesungguhnya ada sahabat
walau kita dibekali nasib yg tak sama...
proficiat...
Selalu sangat luar biasa moment bertutur dgnmu...
HapusAlmarhum Bapakku pernah bertutur :
Kesendirian itu tetaplah kenikmatan
Keramaian itu bukanlah kesengsaraan
Kenikmatan dan kesengsaraan hanyalah persepsi diri
Tak kan menunda sedikitpun untuk menggoreskan dunia penuh warna...
Tks sobat, senang mendapat kunjungan darimu di blog ini.