Duapuluh dua menit ke pukul duabelas malam.
Nek Acon sang Pengguling• kelas wahid dijemput seorang lelaki kumuh berbaju drill warna krem. Gelapnya malam tak menjadi halangan bagi sang lelaki kekar untuk menembusnya, nyanyian burung hantu di Aik Kundor• tak menyusutkan keberaniannya mengayuh sepeda mister secepat deru angin malam yang mampu ditebarnya, dan riuh rendahnya bunyi keriut rantai sepeda menambah semangatnya melesat tajam, meski hanya ditemani lampu senter berbatu lima di tangannya. Tajam cahaya senternya, lebih dari empat tiang telepon ditembusnya. Jangankan anjing yang siap berpesta pora menebarkan kotoran di jalanan beraspal itu, trenggiling dan musangpun mampu dikenalinya dengan seksama bila bertebaran dan menyeberang di jalanan nan gelap gulita.
”Assalamualaikum....” ujarnya saat tiba di depan sebuah rumah panggung berdinding papan bercat kapur. Dinaikinya empat anak tangga batu yang menjadi satu-satunya tangga batu melengkapi empat kaki batu di setiap sudut rumah itu.
”Wah, belum dijawabnya juga salamku.” gumamnya.
”Jangan-jangan nek pengguling sudah nyenyak tidur.”
Dikitarinya rumah itu dengan penuh kehati-hatian. Dua jendela di kanan kiri tak satupun menampakkan diri akan dibuka, jendela sampingpun juga demikian, apalagi pintu dan jendela belakang yang berbahan kulit kayu tak sedikitpun menampakkan gerak sesosok tubuhpun. Hanya ada sebuah lampu pelita dari kaleng susu terlihat dari celah lobang di antara kulit kayu yang tak sempurna menutup. Selebihnya hanyalah sebuah obor yang dinyalakan tepat di dekat tangga depan rumah tadi sebagai pertanda inilah rumah pengguling.
Obor memang sering dipasang di depan rumah para punggawa kampung, mulai dari Kepala Kampung, Dukun Kampung, hingga Pengguling Kampung. Selain mereka itu, hampir tak ada yang memasangnya. Merekalah orang-orang penting di kampung, yang senantiasa menerima dengan terbuka setiap warga yang berkepentingan meski sudah sangat larut malam. Pemimpin-pemimpin yang melayani, bukan pemimpin-pemimpin yang minta dilayani.
”Assalamualaikum.....” kembali diberanikannya mengucap salam.
”Waalaikum salam....” seorang nenek membuka pintu.
”Sudah mau beranak binimu. Sudah kudapat tanda selepas sholat isya tadi.” lanjutnya.
Tak sedikitpun lelaki tadi bertanya apa maksud tanda yang telah dilihat nek pengguling tadi, karena ia sendiri sudah tahu bahwa setiap pengguling diberkahi keistimewaan melihat tanda kelahiran. Bukan hanya pengguling, setiap pengurus jenazah juga sudah diberkahi keistimewaan melihat tanda kematian. Berkah yang sering sudah turun temurun, entah karena sudah ditakdirkan atau memang karena sengaja diajarkan.
Mereka yang menyambut kelahiran harus berbeda dengan yang menyambut kematian, karena hidup dan mati adalah dua proses perjalanan hidup manusia yang saling melengkapi. Itulah sebabnya nek pengguling tak pernah jadi pengurus jenazah meskipun ia mampu melakukannya. Dukun Kampung tak pernah menjadi Dukun Air meskipun ia mampu melakukannya. Kepala Kampung juga tak pernah menjadi Kepala Desa meskipun ia juga mampu melakukannya. Inilah wujud sinkronisasi kehidupan Melayu Belitong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar