Selasa, 31 Juli 2018

HIDUP : BUKANLAH MENGHITUNG HARI, NAMUN MENGHITUNG MAKNA


Kokok ayam,  lama tak kudengar.  Pengawal subuh,  harusnya kokok itu selalu ada,  meski kampung kini kian tergerus nyata, bermetamorfosis menjadi kota setengah jiwa. 

Mars, ia kini juga sudah di penghujung bara, merahnya kian meredup di ufuk barat, tinggalkan bulan yang beriring bersama selepas gerhana memerahkan dirinya. 

Hanyalah pekik azan,  berteriak laksana pemecah syak wasangka.  Kami bukan berteriak, namun mengagungkanNya,  juga membangunkan selimut di penghujung malam. 

Setengah abad,  hampir berjejak, meski tidak hari ini.  Tahun depan,  ia jelas akan menapak sempurna,  walau baru rencana.  Sang Maha Pemilik Nyawa,  Ialah keabadian abadi,  tak terbantahkan! 

Tapak kecil, setengah berlari kini,  walau langkah kian tertatih dan nafas kian letih.  Usia tak mampu dipungkiri,  meski "selfi"  kian banyak kulihat kini. 

Adakah tanya pada dirimu pada sang fajar?  Adakah tanya dirimu pada sang azan?  Adakah tanya dirimu pada sang embun?  Juga adakah tanya dirimu pada sang waktu? 

Tanya itu,  tak kujawab kini. Bukan karena telah kutemukan jawabnya,  namun karena Almarhum Bapak pernah berkata, " Dirimu pertama berteriak bertemankan fajar yang segera menjelang,  berdampingan dengan azan yang sedang memecah awan,  dan berlumurkan embun di daun pisang yang menetes tenang". 

Di jalan berbatu ini,  ribuan orang sudah berlalu,  dirikupun begitu.  Namun tanyaku kini,  tak lagi perlu kusimpan dalam diri. Bukan karena tanya sudah berjawab nyata,  namun karena hidup bukanlah melebar kata,  namun menebar makna. 

Senyum,  jauh dari puas,  walau ribuan hingga jutaan kata telah bertebar di sepembuluh langit karya.  Ada diri karena ada mereka,  ada makna karena tabur bertuai,  dan ada rasa karena makna mengurai. 

"Selamat menandai hari ini Pak,  tetaplah menjadi kebanggaan kami, " sederet kalimat kubaca pagi ini.  
Diam,  hening,  namun helaan nafas dalam kian mengena. 
" Terima kasih anak-anakku,  tetaplah jadi kebanggaan Kami jua". 

*CeritaPinggir49

Minggu, 24 April 2016

KANIA

"Ahhhh... Mengapa dirimu kembali lewat di hadapan kami? Tidakkah kau tahu bahwa rambutmu yang sebahu itu, sisiranmu yang setengah semu itu, dan sebongkah antingan merah di kedua sisi telingamu itu kian merujuk pada kelembutan dan keindahan dirimu?".

Wawan, lelaki dari kampong Semar itu kini ikut tersenyum.  Kuyakin iapun sangat jarang melihat wanita seindah mawar di kampungnya.  Selama ini kami tentu sama, lebih banyak melihat wanita berbaju biasa dengan tampilan nan biasa pula. Maklum, kami tetaplah lelaki kampung.

"Dasar kau sandauan, kampungan  Wan," terkekeh Sono melihat ketakjuban wawan pada wanita itu. Bau wc yang sedari tadi menyengat nyata, tak dihiraukannya. Limabelas menit yang berarti, begitulah istirahat yang kini ia miliki. Tak kan dibiarkan waktu berlalu tanpa arti, menatapnya cukuplah lebih dari cukup untuk menikmati kebahagiaan siang ini.

Sedikit berbisik Sono berkata, "Di kampung Lirangan dayang secantik ini pasti akan jadi misteri seumur masa. Hanya satu dayang yang kuperkirakan menjadi saingannya, Kania".

"Owww...., Kania! Kukenal dayang itu. Rambutnya panjang sebahu, rumahnya persis di persimpangan Gunung Lumut," kali ini Elfan ikut berteriak takjub.

"Kania memang cantik, namun dayang di kelas kita jauh lebih cantik. Kurasa tuturannyalah yang akan menentukan siap dayang terbaik di hatimu Fan," terkekeh Wawan melihat Elfan yang kini mulai menggoreskan sebongkah kalimat penuh rasa.

Dilihatnya kertas itu, kini terselip kuat di kantong belakang sebelah kanan. Dentingan mainan resleting berbentuk setir kapal, kini menguatkan kantong yang penuh rahasia. Entah apa yang telah dituliskannya, tak ada yang tahu.

Elfan,  lelaki penuh rasa itu kini berlalu.  Namun sederet kalimat di sebongkah kertas yang tadi dikantonginya, kian menasbihkannya menjadi Bujang Rasa Penjejak Negeri.

Mungkin hanya bu Rusila atau pak Rofe'i yang kan mampu menerjemahkan rangkaian kata yang telah menggubahnya penuh cerita.

Sabtu, 13 Februari 2016

HAPPY PROUD, Kehidupan yang Membanggakan

Adalah kebahagiaan esok hari, saat kita bangun pagi, masih bisa mendengar sapaan hangat dari orang-orang kita cintai. Menikmati adzan subuh yang mendayu penuh semangat, bersujud meratakan wajah sejajar tanah, kehakikian manusia kepada asalnya, tanah!

Juga kebahagiaan kala esok pagi, segelas air putih, atau beberapa teguk susu atau teh, lengkap dengan menu sederhana, sepiring ubi goreng renyah menarikan lidah di cerahnya mentari beriring nyanyian riang burung gereja di pohon jambu depan rumah. 

Menyapa banyak orang yang lewat ; mbok jamu yang sudah sejak subuh tadi menghitung langkah demi beberapa lembar uang ribuan pengganti beras kencur dan jahe yang diolahnya sejak semalam, tukang roti keliling yang entah sudah beberapa kali lewat di depan rumah berharap kami kembali membeli. Juga tukang ojek yang bolak balik membunyikan klakson menanti tumpangan melambaikan tangan.

Ahhh.....
Kata banyak orang "Bahagia itu sederhana".
Bagiku, bahagia itu selalu sederhana.
Cukup berbagi,  selanjutnya kita akan memiliki. 
Milik kita adalah apa yang kita berikan pada orang lain. Makin banyak memberi, makin banyak kita miliki. Sesederhana itu saja!

Itulah sebabnya,  dulu almarhum Bapak pernah kutanya alasan beliau tetap membeli beberapa kue putu mayang dari pedagang keliling, meski di meja sudah ada sepiring kecil ubi rebus berkuah madu hutan. Beliau tetap membeli kacang mini ria (kacang atom) satu pack, meski yang kubutuhkan hanya sebungkus kecil saja. Juga beliau tetap meminta umak (ibu) membeli anyaman rotan buatan orang Belitung Barat, meski harus mengurangi jatah beras di dalam kaleng yang sering tak cukup untuk makan kami sebulan.

Jawab Beliau,"Suatu saat akan kau fahami jawabannya,  tidak di dalam otakmu, namun di dalam hatimu."

Ternyata,  bahagia itu memang sangat sederhana.  
Semua ada disini, di dalam hati kita. Sekeliling kitalah yang kian memperkaya maknanya. 
Semoga.....!

--pd KakekGuru, tks utk inspirasinya--

Kamis, 11 Februari 2016

Cerita Sejengkal Tanah

Kala anak-anak
Kita berkata," Orang kaya itu punya uang semilyar, tumpukannya setinggi rumah, ditutupi terpal tebal agar tak basah kala hujan, dan berkerut kala panas".

Di jelang remaja
Diriku berkata," Orang kaya itu bisa berganti baju sesuka hati, seragam sekolahnya penuh selemari, berangkat sekolah naik motor atau diantar mobil jemputan, dan tiap kali jajan tak perlu menunggu lapar".

Di saat remaja
Diriku berkata,"Orang kaya itu baunya wangi, dikerubungi banyak kawan nan cantik, berjaket kulit hitam dengan rambut bergaya tokoh idola, dan di waktu libur berplesiran ke luar kota, hingga kadang saat pulang nyaris seminggu tak kudengar ia berbahasa kampung".

Di jelang dewasa
Diriku mendengar beberapa orang berkata," Orang kaya itu sedikit bermimpi namun mewujudkan mimpi, menjelajahi banyak negeri, menikmati banyak cita rasa berlidah kata, dan taburkan cerita yang kadang membuat kami bermuram durja".

Di saat dewasa
Pernah kudengar seseorang berkata,"Orang kaya itu melambat dewasa karena berendam dalam kemanjaan dan kenikmatan dunia, melambat mandiri karena orang tua yang mengeloni, dan kadang ber-ego sendiri meski tak lagi sendiri".

Di jelang lansia
Baru tadi kudengar," Orang kaya itu tak melewati hak orang lain, meski hanya sejengkal tanah. Tak mendahului maksud orang lain, meski ia sendiri kian memahami akhir tuturan. Tak menganggap kekurangan adalah kemiskinan, karena kelimpahruahan jiwa banyak mereka miliki. Juga tak menunda memberi, karena milik mereka adalah apa yang mereka milki, bukan yang ada di dalam pundi-pundi berbalut pualam bermutu manikam".

Di radio ini
Kudengar nyanyian : "Orang kaya mati, orang miskin juga mati. Raja-raja mati, rakyat biasa juga mati Semua mati, menghadap Illahi.......

Rabu, 10 Februari 2016

RAUT

Limaratus tigapuluh tujuh hari
Rangkaian waktu
Tanpa rangkaian kata
Hanya curi kata
Untuk wajah temaram di jelang senja

Senyum
Raut menggelar
Taut menalar
Rajut membuyar
Alun rasa bersapu debu

Diam
Hening
Dalam kelam
Diriku memandang
Raut ratusan hari di relung dalam

Tak kan tertuntaskan
Karena nalar adalah batas keindahan rupa
Karena hati adalah batas jelas tanpa tanya
Karena senja berbiduk adalah cerita angkara rasa
Dalam bias cahaya berelung makna