Minggu, 24 April 2016

KANIA

"Ahhhh... Mengapa dirimu kembali lewat di hadapan kami? Tidakkah kau tahu bahwa rambutmu yang sebahu itu, sisiranmu yang setengah semu itu, dan sebongkah antingan merah di kedua sisi telingamu itu kian merujuk pada kelembutan dan keindahan dirimu?".

Wawan, lelaki dari kampong Semar itu kini ikut tersenyum.  Kuyakin iapun sangat jarang melihat wanita seindah mawar di kampungnya.  Selama ini kami tentu sama, lebih banyak melihat wanita berbaju biasa dengan tampilan nan biasa pula. Maklum, kami tetaplah lelaki kampung.

"Dasar kau sandauan, kampungan  Wan," terkekeh Sono melihat ketakjuban wawan pada wanita itu. Bau wc yang sedari tadi menyengat nyata, tak dihiraukannya. Limabelas menit yang berarti, begitulah istirahat yang kini ia miliki. Tak kan dibiarkan waktu berlalu tanpa arti, menatapnya cukuplah lebih dari cukup untuk menikmati kebahagiaan siang ini.

Sedikit berbisik Sono berkata, "Di kampung Lirangan dayang secantik ini pasti akan jadi misteri seumur masa. Hanya satu dayang yang kuperkirakan menjadi saingannya, Kania".

"Owww...., Kania! Kukenal dayang itu. Rambutnya panjang sebahu, rumahnya persis di persimpangan Gunung Lumut," kali ini Elfan ikut berteriak takjub.

"Kania memang cantik, namun dayang di kelas kita jauh lebih cantik. Kurasa tuturannyalah yang akan menentukan siap dayang terbaik di hatimu Fan," terkekeh Wawan melihat Elfan yang kini mulai menggoreskan sebongkah kalimat penuh rasa.

Dilihatnya kertas itu, kini terselip kuat di kantong belakang sebelah kanan. Dentingan mainan resleting berbentuk setir kapal, kini menguatkan kantong yang penuh rahasia. Entah apa yang telah dituliskannya, tak ada yang tahu.

Elfan,  lelaki penuh rasa itu kini berlalu.  Namun sederet kalimat di sebongkah kertas yang tadi dikantonginya, kian menasbihkannya menjadi Bujang Rasa Penjejak Negeri.

Mungkin hanya bu Rusila atau pak Rofe'i yang kan mampu menerjemahkan rangkaian kata yang telah menggubahnya penuh cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar