Rabu, 09 Mei 2012

Air Ajaib

“Mengapa harus sedekah pak? Bukankah kalau mengajak banyak orang maka kakik harus keluar uang banyak untuk memberi mereka makan? Apa kakik tidak takut bangkrut?” tanya bang Faridz.

Tatap matanya tajam, dada burungnya kempang kempis, turun naik laksana burung yang siap terbang. Keingintahuannya tinggi, cocoklah ia bercita-cita ingin menjadi ahli hukum karena senang mendengar argumen-argumen hidup yang sering tak terpikirkan oleh anak berusia delapan tahun.

Bapak yang faham akan keingintahuan anaknya hanya berkata,”Milik kita sesungguhnya adalah apa yang kita berikan pada orang lain, itu saja jawabannya”.

Manggut-manggut kulihat ia, dadanyapun makin kempang kempis, diurutnya kening selebar setengah jengkal. Tetap tak bisa disembunyikannya wajah ketidakfahamannya itu.
“Ah, abang saja tak mengerti maksud bapak, apalagi aku yang baru empat tahun ini. Kalau belum sekolah, boleh belum faham apa yang dikatakan orang dewasa”.

***

”Jangan membantah, kau kan belum bisa berenang. Ini duit untuk beli es bang Syariful,” disodorkan sekeping uang lima rupiah dari dalam kantong celana drill pendek berwarna krem yang telah bercampur getah karet dan sedikit kotoran aspal hitam di pantatnya.

Celana berbahan sama dengan seragam karyawan Timah milik bapak. Bahan celana dan baju yang berlebih dari sisa potongan celana dan baju yang tak terpakai. Bukan hanya ia yang bercelana drill krem, akupun demikian. Kuca, Tulet, dan Caus juga sama. Hanya Irun yang tidak, karena orang tuanya partikuler, hanya pekerja serabutan.

Bahkan karena kesamaan warna celana itulah, mereka sering tertukar karena buru-buru mengambil celana saat sedang mandi di aik arongan kik Canan karena mendengar teriakan temannya kalau Cik Wandi akan segera lewat. Cik Wandi yang sangat mereka takuti, bahkan saking takutnya sampai ada yang menamakannya Sisingamangaraja dari Belitong. Benar-benar berambut panjang dan kulitnya hitam. Namun sesungguhnya ia sungguh abang yang paling penyayang pada sembilan adik-adiknya. Rasa sayangnya inipun telah dibuktikannya dengan ikhlas tidak bersekolah agar bisa menggembala kerbau, bertani, dan menggiling karet di belakang rumahnya.

Rasa sayang antar saudara tak kan luntur oleh waktu, pertalian darah tak kan runtuh oleh ambisi demi ambisi penuh nafsu.” ucapan inilah yang pernah kudengar dari kik Canan orang tuanya saat berkelakar dengan kik Syamsu beberapa waktu lalu.

Uang lima rupiah digenggaman segera berganti es lilin Bang Syariful yang manis menenangkan. Butiran rebus kacang hijau di dalamnya seolah menegaskan inilah es lilin terbaik sekecamatan Gantong yang membentang dari Selinsing di timur hingga Lilangan di barat, dari Aik Ruak di utara hingga pulau Long di selatan. Benar-benar es lilin yang mampu membujuk tangis hebat meski dari seorang anak kecil berusia kurang dari dua tahun!

Siang berganti malam. Hidangan sekampong telah dituntaskan tadi sore. Tak kurang empat puluh dulang diangkat, diantarkan, dan dibagi ke rumah pak long Nunok, cik Rahimin, bahkan sampai ke rumah kik Harun dan kik Repan. Bila setiap dulang untuk lima orang, tak kurang dari duaratus orang sudah menikmati gawai gede sore tadi. Sungguh wujud rasa syukur yang tak terkira, berharap keberkahan hidup dunia dan akhirat kelak.

Hidangan sore telah berganti dengan jejeran kacang miniria•, kacang kulit, berpuluh pak rokok kansas, Ardath, Commodore, dan Bentoel. Tak ada satupun yang menarik hati, karena semuanya sudah sering kulihat di meja rumah kakik, kecuali satu: air kuning yang berbuih saat dituangkan ke dalam gelas!

2 komentar:

  1. aku tidak tahu bagaimana perasaan pembaca yang bukan berasal dari Belitong saat imajinasinya mengembara menikmati rangkaian kata2 yang terangkai dlm Syair Keranjang Pempang..apakah sama seperti yng aku rasakan saat membaca potongan cerita ini...semua tergambar jelas..terlempar ke masa kanak2..potret nyata..tidak kurang dan juga tidak lebih..
    Masa kanak2 awal perjalanan sebuah kehidupan sebisanya harus dijaga dan diarahkan bukan hanya oleh keluarga,tapi juga oleh lingkungan sekitar...yaah..keluarga adalah dasar dari pembelajaran..rasa sayang yang tak akan pernah putus sampai kapanpun meskipun kadang ada amarah yang menggoda..aku sering dengar kelakar dari orang tua,apapun yang terjadi dia tetap saudara ibarat netak aik dak putus..pertalian darah yang tak akan putus...hhmm...
    *Milik kita sesungguhnya adalah apa yang kita berikan pada orang lain..disaat syukur tak pernah lepas dan ketika berbagi dengan ikhlas disitu ada kebahagiaan...mungkin itu yang ingin diartikan dengan kata sedekah...
    waah...sepertinya akan semakin banyak yang akan dapat diambil dari Syair Keranjang Pempang....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semakin banyak kita berujar ttg negeri Belitong, akan makin banyak tokoh-tokoh inspiratif pembawa kearifan lokal itu sendiri. Kearifan yang makin hari menjadi makin langka, hingga sering lebih mahal dari sebongkah emas yang hanya bisa menjadi hiasan atas kesombongan manusia.

      Kehidupan itu sendiri sesungguhnya adalah repetisi perjalanan pendek yang selalu berulang. Penangkapan maknalah yang membedakannya. Tak ada sebuah rekayasa kehidupan pada seorang anak kecil yang sedang berlari di dalam keheningan kampung yang di kelilingi banyak hutan dan binatang liar. Ide yang tuturan yang disampaikan sesungguhnya adalah nyawa itu sendiri, semua tak akan pernah putus hingga kehidupan itu sendiri yang memutuskan.

      Diriku sangat berbangga hati dilahirkan sebagai orang Belitong dengan segala ke-Belitong-annya.
      Semoga kak, tks

      Hapus