Rabu, 31 Desember 2014

Langkah Baru (3)



Sebuah tas hijau berukuran tigapuluh kalo limapuluh sentimeter, sebuah ransel hijau model tentara, topi biru berlogo segitiga warna kuning di depannya, dan sebuah sandal cokhai berbahan dasar karet ban bekas mobil melekat erat di kaki. Tas hijau penuh sesak dengan tiga stel pakaian dan sepasang sepatu kets yang sudah lebih dari dua tahun membalut kaki dengan setia. Saking lamanya, kini usus sepati itu mulai terburai dan menari kesana kemari. Tas ransel yang seumur lamanya saat di SMA, berisi sebuah map lengkap dengan ijazah, raport, dan akta kelahiran, surat keterangan pindah tempat, dan satu stel pakaian untuk berganti di perjalanan.
"Matang persiapan, maka perjalananmu akan matang. Simpan beberapa fotokopi ijazah dan surat penting lainnya di tas hijaumu. Untuk berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang tidak diharapkan terjadi di perjalanan," ingat bapak semalam saat sedang kususun semua barang ke dalam tas itu.
"Kalau mau berjalan jauh, jangan sampai bawaan kita berlebih. Cukup satu tas dipegang, dan satu tas disandang. Satu tangan lainnya harus bebas melimbai, bergerak sebebas-bebasnya, agar perjalanan terasa lebih aman dan siaga. Simpan barang ini di dompetmu, jangan dibuka bila tak perlu, ini titipan dari kakekmu," lanjutnya sambil menyodorkan secarik kertas berlapis bungkus rokok kansas.
Entah apa isinya, tak perlu kutahu karena ini tentu saja jelas sebuah bekal berharga untuk perjalanan hidup. Bukan sebuah surat wasiat, bukan pula sederet rangkaian puisi memikat, juga gumpalan kertas rokok untuk menangkap toket di plafon rumah, namun tentu hanyalah beberapa rangkaian tulisan penuh makna dalam karomah jampian sepenuh jiwa : kemat, begitulah kami sering menyebutnya. Rangkaian kalimat yang pada akhirnya menjadi semacam hypnosis bagi sang empunya jiwa agar lebih mantap melangkahkan kaki ke negeri seberang, merantau di negeri antah berantah, namun tetap dalam kepercayaan diri yang tinggi.
"Kita ke rumah Faridz saja". 
"Jadi mak, lebih dekat".
Bapak hanya diam, tak keluar sepatah katapun darinya. Tak tahulah, sejak tiga minggu yang lalu ia lebih banyak berdiam diri. Tak sedikitpun kulihat kegembiraan melekat padanya setelah kuputuskan hidup merantau saja. Hanya ucapan dan bekal batin semalamlah yang akhirnya menguatkanku bahwa memang beliau sudah menyetujui keputusanku.
Setahun yang lalu memang pernah kudengar dari bang Anto, katanya bapak tak mau melepaskan anaknya merantau lagi. Ia ingin anaknya tetap di kampung saja, cukuplah contoh kegagalan beberapa orang di kampung saat ini. Ia ingin, apalagi anak bungsunya yang apit bangkai tetap berada di dekatnya, menjaganya, menemaninya, menghiburnya dan memastikan hari-hari akhir kematiannya. Namun kala bang Anto mengatakan bahwa anak apit bangkai biasanya akan jauh lebih baik bila merantau dan jauh dari kedua orang, barulah bapak berusaha memahami keinginanku. Kakekpun semalam kudengar mengatakan pada bapak bahwa Tuhan tentu saja sudah punya rencana indah untuk anak-anakmu dan cucu-cucuku, kita tak perlu khawatir berlebihan. Biarlah alam yang merawatnya, menghidupinya, dan merestuinya. Kita cukup berdoa dan mengiringinya, dan mengaminkannya.
 Sejak saat itu kulihat bapak semakin sering termenung, entah apa yang dipikirkannya. Ketakutan, kekhawatiran, atau perasaan lain. Satu hal yang pasti, sejak ia memutuskan pensiun dari PT. Timah dua tahun yang lalu, tak pernah cukup uangnya untuk biaya hidup kami. Jangankan untuk kuliah, untuk makanpun umak harus melanjutkan profesinya sejak masih dayang dulu : menjadi pembuat dan penjual kue. Mengajar anak-anak mengaji, tak kan pernah cukup lagi. Lakonan itu kian awet meski duapuluh delapan tahun telah dilalui.
"Mak ai.... sepi benar rumah ini, tak ada orangnya samasekali," kudengar sedikit berat ucapan umak saat ia tiba di pintu samping rumah bang Faridz. 
"Oi mak cik .....orangnya sedang mencuci di aik arongan belakang," seorang wanita paruh baya berteriak dari arah belakang rumah. Kulihat ia sedang  menjemur pakaian yang baru dicucinya di atas sepotong ambu sebesar pergelangan tangah anak usia 10 tahun. Salah satu ujungnya diikatkan di pohon rambutan, dan ujung lainnya di pohon kedondong.
"Rumahnya tak dikunci, buka saja," lanjutnya.
Bapak yang tak betah berdiam diri, sudah sejak sepuluh menit lalu kembali ke terminal untuk  nongkrong di warung kopi. Meskipun umak sudah membuatkan kopi, tetap saja ia pergi mencari secangkir kopi ke terminal. 
"Sekalian melihat-lihat siapa tahu ada teman semasa masih kerja di Timah dulu," ucapnya sebelum berangkat tadi.
Entahlah, minum kopi di warung sepertinya telah menjadi trend hebat bagi banyak orang. Dulu diriku pernah merasa ini salah satu prilaku yang kurang pantas dilakukan di saat negeri ini tengah sibuk membangun moral bangsa. Bagiku kala itu, mereka yang bercerita tak mengenal lidah waktu tentulah para pemalas, para pemimpi, para pengeritik, bahkan para pengangguran yang kerjanya tak mengenal aturan. Pemikiran yang beberapa tahun kemudian kusangsikan karena ternyata banyak juga pembicaraan produktif yang menghasilkan konsep bagus demi membangun negeri, meski kadang hanya banyak dibumbui opini para pemimpi.
Mungkin inilah salah satu kelebihan Melayu Belitong, minum kopi menjadi ajang paling berharga untuk berkelakar, bercerita tak tentu arah, dan berpolitik praktis. Mengkritisi para pemimpin negeri, mengumbar janji penuh ilusi, menghabiskan energi berjam-jam tanpa henti, demi sebuah acara nyaris tanpa batasan diri. Menghajar banyak kebijakan, meski kadang mereka sendri kadang hampir tidak bereaksi, kecuali hanya menghabiskan secangkir kopi demi luapan emosi, sungguh!
"Tak perlu kritis apa yang terjadi Fath, inilah kisah anak negeri. Selalu ada kontroversi dari setiap peristiwa kehidupan di tempat ini," ujar bang Fani beberapa bulan lalu saat kutanya alasannya menghabiskan waktu  di warung kopi Manggar persis di depan pasar Lipat Kajang.
"Ah.....masa bodohlah! Memang lebih mudah mencari pembenaran diri daripiada kebenaran hakiki".
"Gangan banyer, panggang kerisi, sambal belacan, rebus menggale, dan beberapa butir rebus terong pukak, laukmu hari ini Fath. Gawai gede rupe e.....," kulihat umak tersenyum berucap dengan bahasa Belitong yang kental.
"Makanlah yang kenyang, kalau perut kenyang maka mabuk tak akan datang. Nikmati makanannya, kemudian cukup kau rindukan lidahmu dengan makanan Belitong ini. Tak perlu kau cari karena tak akan pernah ada masakan yang sama di negeri sana. Bahkan mungkin puluhan tahun nanti, lidahmu tak akan pernah kenal lagi rasa khas Belitong yang kau sukai ini".
sumber : gentaquran.com
Pukul dua siang, mantap langkah kuayunkan. Prosesi demi bumi kembali kulakukan. Keluar rumah dari pintu depan, berjongkok diri mengambil sejumput tanah dan mengusapkannya di kedua telapak tangan. Kemudian berputar ke arah kanan, mengelilingi rumah. Mengambil sejumput tanah di depan tiap pintu, lalu diusapkan lagi. Akhirnya ditutup doa sambil mengusapkan tangan yang sudah diusapkan ke tanah tadi.


"Prosesi demi bumi kelahiran telah kutunaikan. Untuk menguatkan rasa, untuk menegakkan jiwa, dan demi langkap hidup penuh cita-cita. Restu bumi dan seisinya kuharapkan," ucapku dalam hati.
"Bismillah.........," mantap langkah kuayunkan.

******

catatan :
- sandai cokhai : sandal karet berbahan dasar bekas ban mobil
- gangan : makanan khas Belitong berbahan dasar rempah-rempah dan banyak kunyit, sehingga berwarna kuning
- banyer : ikan hapau
- belacan : terasi
- menggale : ubi kayu, singkong
- terong pukak : terong kecil, lucah

Jumat, 26 Desember 2014

Langkah Baru (1)

Matahari belumlah tersenyum, embun pagi masih menempel erat memeluk daun pisang, jari jemari laba-laba masih setia melantunkan lagu-lagu kehidupan, dan kunang-kunangpun terus bersenda gurau dalam kegelapan. Subuh belumlah menjelang, kepak sayap kalong tetap asyik bergemuruh pesta pora di pohon rambutan. Gedebuk buah kemang berdentam riang menghajar dedaunan kering, membangunkan insan yang asyik memeluk guling. Guling kapas yang cari, namun guling kaki yang ditemui. Kehangatan pagi yang diingini, dinginnya kulit menyenyakkan mimpi.
sumber: tutiklenje.blogspot.com
"Brrrrrr.........dingin benar oi," gemeretuk gigi bersahutan, bergetar, bergoyang, dan bernyanyi menyambut pagi.
"Memang lebih dingin nak, semalam kan sempat hujan selepas tengah malam. Sekarang menjelang awal musim panas, hujan mulai berkurang, kondensasi meningkat, embun turun lebih pekat, hingga untuk cuci mukapun akan berlimpah". 
 "Wawwww, keren juga umak, pakai kata kondensasi. Hebat!" , tersenyum kubayangkan entah darimana beliau mendapatkan kata keramat itu. Kurasa masa ssat ia sekolah dulu di tahun limapuluh tahunan belumlah ada kata itu. Jangankan kondensasi, ramalan cuacapun masih sebatas tebakan berhadiah kala melihat bentuk awan dan arah angin saja. Tebakan yang lebih banyak tak tepat, karena hujan tetaplah rahasia sang Maha Pencipta. Manusia meramal, tuhanlah yang menentukan. Semakin tinggi ilmu, tentu harus semakin bijaksana dan memahami makna penciptaan diri. 
"Benar-benar berat mak”.
"Ah, tak perlulah kau berpikir macam itu. Patok-patok hidupmu baru saja dimulai."
"Memang berat mak, tapi harus dilawan. Bukankah hampir tiga tahun selalu ada fajar  yang indah seperti ini?" gumamku.
"Nah, mobil Kulin sudah lewat ke Lidun. Cepat sholat, lalu bawa barang bawaanmu ke dekat pagar depan. Biar Kulin tak lupa pesanan kita semalam".
"Baik mak".
Jarum panjang jam di tanganku barulah sedikit bergeser dua garis kecil dari angka duabelas,dan jarum pendeknya masih mantap di angka empat. Jam terbaik yang kumiliki saat ini, jam pertama yang telah diberikan Bapak hampir tiga tahun yang lalu sejak enampuluh empat kilometer lebih setiap harinya harus kutapak untuk meraih mimpi pertama kehidupan : tamat SMA degan penuh harapan!
"Kayuhanmu harus lebih cepat bila hampir terlambat masuk  sekolah, " begitulah ucapan bapak saat ia memberikan jam tangan itu padaku. 
Benarlah kiranya, sejak itu tak pernah perlu sedikitpun kekhawatiran itu timbul karena takut terlambat sekolah. Jam setengah lima lewat lima menit, selalu setiap hari jerit rantai sepeda mulai terdengar. Masih sangat pagi untuk terlambat sekolah, tapi tigapuluh dua kilometer lebih harus ditempuh paling cepat dua jam sepuluh menit.
Kurang dari lima belas menit, mobil Kulin sudah terdengar menderu dari ujung simpang Sabong. Jarak hampir tujuhratus meter dari tempatku berdiri, rumah yang selama belasan tahun menjadi tempat terbaik dalam kehidupan, canda gurau yang kian lama tinggal kenangan karena para penghuninya semakin bertebaran menjemput impian di banyak titian kehidupan. Deru itu kian mendekat, empatbelas tiang telepon tepatnya, namun suaranya sudah terdengar keras di keheningan pagi yang penuh selimut embun. Sesekali terdengar klaksonnya menyalak, bukan pertanda agar setiap orang yang ditemuinya menepi, namun itulah ajakan untuk ikut pergi ke Tanjongpandan, kota kabupaten yang bagi banyak orang di kampungku hanya sebuah nama, namun nyaris seumur hidupnya tak pernah menginjakkan kakinya.
"Ayo naik mak cik. Oh, kau Fath, nak ke Tanjongpandan juak?" tanya sang sopir.
"Ya bang, mau melihat negeri seberang. Belajar mencari hidup”.
”Mengapa tak ke Batam saja, kan banyak  orang  Belitong mencari kerja ke Batam?” 
"Ndaklah bang. Kalau mungkin mau bekerja sambil sekolah”.
"Oh, mau kuliah rupanya. Kuliah dimana?"
"Belum tahu bang, yang penting bisa melihat negeri seberang dulu. Selama ini baru kulihat Belitong, tak lengkaplah kalau hanya mendengar namanya saja negeri lain. Kalau ada biaya baru kuliah, baru itupun belum tentu bang," diam sesaat, berat tarikan nafas ini!
"Jadi mau ke Jakarta, Bandung atau Jogja?"
"Tidaklah, tempat itu hanya untuk orang Staf Timah dan yang berduit saja. Aku mau melihat negeri-negeri di Sumatera, mungkin Palembang atau Padang saja. Daerahnya masih luas, bumi masih terbentang, semoga rezekipun masih membumbung".
Entah sejak kapan orang Belitong lebih kenal dan lebih yakin menyekolahkan anak-anaknya ke Jakarta, Bandung, atau Jogja. Namun mereka semua selalu bangga bila ada diantara anak-anaknya yang kuliah di salah satu kota itu. Kualitas, mungkin begitu alasannya, pendidikan di Jawa memang jauh lebih di depan dibandingkan di luar Jawa. Namun hal itu tak selalu benar, juga tak selalu salah. Namun sedikit yang kutahu, banyak juga orang di kampungku yang gagal meski sudah ke Jawa. Kegagalan demi kegagalan sering menghantam perjalanannya, bukan ijazah yang dibawa, namun anaklah yang kadang pulang bermuram durja. Gagal di tengah jalan, predikat mahasiwa abadi banyak yang menyandangnya hingga kini.
"Aku tak mau merantau ke Jawa, bukan karena takut pulang bermurah durja, namun tak ingin bila duka menghantam dan ceritanya sampai ke telinga keluarga," jelasku saat Yayan bertanya mengapa diriku tak ke Jawa saja bersama dengannya tiga hari lalu sebelum perpisahan itu.
"Ayo, lanjut. Singgah sebentar di rumah Kik Canan. Anaknya mau pulang ke Tanjongpandan," lelaki sipit yang tadi duduk di pinggir pintu berteriak pada sang sopir. 
Tak pernah kuingat siapa nama sang kernet ini, tapi yang kuingat ia adalah lelaki kecil bermata sipit, berkulit putih dan dari ras Tionghoa. Hidupnya selalu cerita, meski kartu penduduk Indonesia kurasa ia tak punya meski lahir di kampong penuh kebun sayur. Tak pernah ia mau dikatakan bukan orang Indonesia, meski ia berdarah Tionghoa. Cina kebun, Cina Singkek, begitulah orang-orang pribumi sering menyebutnya. Panggilan yang kadang bagi banyak orang tidak mulia, kurang tata krama, jauh dari budaya lokal yang arif dan bijaksana. Namun tetap saja ucapan itu melekat hingga waktu tak terencana, turun temurun laskana tuturan lidah tiada bertulang. Kemuliaan yang pada akhirnya hanya wacana dari gambaran otak manusia yang kurang memahami makna, bahwa kemuliaan itu selalu milik Sang Pencipta, manusialah salah satu gambaran ciptaan paling sempurna, meski ia lahir dari seorang Tionghoa.

------bersambung...............