Sebuah tas hijau berukuran tigapuluh kalo limapuluh sentimeter, sebuah ransel hijau model tentara, topi biru berlogo segitiga warna kuning di depannya, dan sebuah sandal cokhai berbahan dasar karet ban bekas mobil melekat erat di kaki. Tas hijau penuh sesak dengan tiga stel pakaian dan sepasang sepatu kets yang sudah lebih dari dua tahun membalut kaki dengan setia. Saking lamanya, kini usus sepati itu mulai terburai dan menari kesana kemari. Tas ransel yang seumur lamanya saat di SMA, berisi sebuah map lengkap dengan ijazah, raport, dan akta kelahiran, surat keterangan pindah tempat, dan satu stel pakaian untuk berganti di perjalanan.
"Matang persiapan, maka perjalananmu akan matang. Simpan beberapa fotokopi ijazah dan surat penting lainnya di tas hijaumu. Untuk berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang tidak diharapkan terjadi di perjalanan," ingat bapak semalam saat sedang kususun semua barang ke dalam tas itu.
"Kalau mau berjalan jauh, jangan sampai bawaan kita berlebih. Cukup satu tas dipegang, dan satu tas disandang. Satu tangan lainnya harus bebas melimbai, bergerak sebebas-bebasnya, agar perjalanan terasa lebih aman dan siaga. Simpan barang ini di dompetmu, jangan dibuka bila tak perlu, ini titipan dari kakekmu," lanjutnya sambil menyodorkan secarik kertas berlapis bungkus rokok kansas.
Entah apa isinya, tak perlu kutahu karena ini tentu saja jelas sebuah bekal berharga untuk perjalanan hidup. Bukan sebuah surat wasiat, bukan pula sederet rangkaian puisi memikat, juga gumpalan kertas rokok untuk menangkap toket di plafon rumah, namun tentu hanyalah beberapa rangkaian tulisan penuh makna dalam karomah jampian sepenuh jiwa : kemat, begitulah kami sering menyebutnya. Rangkaian kalimat yang pada akhirnya menjadi semacam hypnosis bagi sang empunya jiwa agar lebih mantap melangkahkan kaki ke negeri seberang, merantau di negeri antah berantah, namun tetap dalam kepercayaan diri yang tinggi.
"Kita ke rumah Faridz saja".
"Jadi mak, lebih dekat".
Bapak hanya diam, tak keluar sepatah katapun darinya. Tak tahulah, sejak tiga minggu yang lalu ia lebih banyak berdiam diri. Tak sedikitpun kulihat kegembiraan melekat padanya setelah kuputuskan hidup merantau saja. Hanya ucapan dan bekal batin semalamlah yang akhirnya menguatkanku bahwa memang beliau sudah menyetujui keputusanku.
Setahun yang lalu memang pernah kudengar dari bang Anto, katanya bapak tak mau melepaskan anaknya merantau lagi. Ia ingin anaknya tetap di kampung saja, cukuplah contoh kegagalan beberapa orang di kampung saat ini. Ia ingin, apalagi anak bungsunya yang apit bangkai tetap berada di dekatnya, menjaganya, menemaninya, menghiburnya dan memastikan hari-hari akhir kematiannya. Namun kala bang Anto mengatakan bahwa anak apit bangkai biasanya akan jauh lebih baik bila merantau dan jauh dari kedua orang, barulah bapak berusaha memahami keinginanku. Kakekpun semalam kudengar mengatakan pada bapak bahwa Tuhan tentu saja sudah punya rencana indah untuk anak-anakmu dan cucu-cucuku, kita tak perlu khawatir berlebihan. Biarlah alam yang merawatnya, menghidupinya, dan merestuinya. Kita cukup berdoa dan mengiringinya, dan mengaminkannya.
Sejak saat itu kulihat bapak semakin sering termenung, entah apa yang dipikirkannya. Ketakutan, kekhawatiran, atau perasaan lain. Satu hal yang pasti, sejak ia memutuskan pensiun dari PT. Timah dua tahun yang lalu, tak pernah cukup uangnya untuk biaya hidup kami. Jangankan untuk kuliah, untuk makanpun umak harus melanjutkan profesinya sejak masih dayang dulu : menjadi pembuat dan penjual kue. Mengajar anak-anak mengaji, tak kan pernah cukup lagi. Lakonan itu kian awet meski duapuluh delapan tahun telah dilalui.
"Mak ai.... sepi benar rumah ini, tak ada orangnya samasekali," kudengar sedikit berat ucapan umak saat ia tiba di pintu samping rumah bang Faridz.
"Oi mak cik .....orangnya sedang mencuci di aik arongan belakang," seorang wanita paruh baya berteriak dari arah belakang rumah. Kulihat ia sedang menjemur pakaian yang baru dicucinya di atas sepotong ambu sebesar pergelangan tangah anak usia 10 tahun. Salah satu ujungnya diikatkan di pohon rambutan, dan ujung lainnya di pohon kedondong.
"Rumahnya tak dikunci, buka saja," lanjutnya.
Bapak yang tak betah berdiam diri, sudah sejak sepuluh menit lalu kembali ke terminal untuk nongkrong di warung kopi. Meskipun umak sudah membuatkan kopi, tetap saja ia pergi mencari secangkir kopi ke terminal.
"Sekalian melihat-lihat siapa tahu ada teman semasa masih kerja di Timah dulu," ucapnya sebelum berangkat tadi.
Entahlah, minum kopi di warung sepertinya telah menjadi trend hebat bagi banyak orang. Dulu diriku pernah merasa ini salah satu prilaku yang kurang pantas dilakukan di saat negeri ini tengah sibuk membangun moral bangsa. Bagiku kala itu, mereka yang bercerita tak mengenal lidah waktu tentulah para pemalas, para pemimpi, para pengeritik, bahkan para pengangguran yang kerjanya tak mengenal aturan. Pemikiran yang beberapa tahun kemudian kusangsikan karena ternyata banyak juga pembicaraan produktif yang menghasilkan konsep bagus demi membangun negeri, meski kadang hanya banyak dibumbui opini para pemimpi.
Mungkin inilah salah satu kelebihan Melayu Belitong, minum kopi menjadi ajang paling berharga untuk berkelakar, bercerita tak tentu arah, dan berpolitik praktis. Mengkritisi para pemimpin negeri, mengumbar janji penuh ilusi, menghabiskan energi berjam-jam tanpa henti, demi sebuah acara nyaris tanpa batasan diri. Menghajar banyak kebijakan, meski kadang mereka sendri kadang hampir tidak bereaksi, kecuali hanya menghabiskan secangkir kopi demi luapan emosi, sungguh!
"Tak perlu kritis apa yang terjadi Fath, inilah kisah anak negeri. Selalu ada kontroversi dari setiap peristiwa kehidupan di tempat ini," ujar bang Fani beberapa bulan lalu saat kutanya alasannya menghabiskan waktu di warung kopi Manggar persis di depan pasar Lipat Kajang.
"Ah.....masa bodohlah! Memang lebih mudah mencari pembenaran diri daripiada kebenaran hakiki".
"Gangan banyer, panggang kerisi, sambal belacan, rebus menggale, dan beberapa butir rebus terong pukak, laukmu hari ini Fath. Gawai gede rupe e.....," kulihat umak tersenyum berucap dengan bahasa Belitong yang kental.
"Makanlah yang kenyang, kalau perut kenyang maka mabuk tak akan datang. Nikmati makanannya, kemudian cukup kau rindukan lidahmu dengan makanan Belitong ini. Tak perlu kau cari karena tak akan pernah ada masakan yang sama di negeri sana. Bahkan mungkin puluhan tahun nanti, lidahmu tak akan pernah kenal lagi rasa khas Belitong yang kau sukai ini".
![]() |
sumber : gentaquran.com |
Pukul dua siang, mantap langkah kuayunkan. Prosesi demi bumi kembali kulakukan. Keluar rumah dari pintu depan, berjongkok diri mengambil sejumput tanah dan mengusapkannya di kedua telapak tangan. Kemudian berputar ke arah kanan, mengelilingi rumah. Mengambil sejumput tanah di depan tiap pintu, lalu diusapkan lagi. Akhirnya ditutup doa sambil mengusapkan tangan yang sudah diusapkan ke tanah tadi.
"Prosesi demi bumi kelahiran telah kutunaikan. Untuk menguatkan rasa, untuk menegakkan jiwa, dan demi langkap hidup penuh cita-cita. Restu bumi dan seisinya kuharapkan," ucapku dalam hati.
"Bismillah.........," mantap langkah kuayunkan.
******
catatan :
- sandai cokhai : sandal karet berbahan dasar bekas ban mobil
- gangan : makanan khas Belitong berbahan dasar rempah-rempah dan banyak kunyit, sehingga berwarna kuning
- banyer : ikan hapau
- belacan : terasi
- menggale : ubi kayu, singkong
- terong pukak : terong kecil, lucah